Pemilik perusahaan bus seharusnya dijerat hukum terhadap segala bentuk kecelakaan bus yang terjadi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemilik perusahaan bus seharusnya dijerat hukum terhadap segala bentuk kecelakaan yang terjadi pada armadanya. Hal ini sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kelalaian yang telah dibuat.
Hal ini disampaikan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setijowarno, Rabu (15/5/2024), terkait penetapan sopir bus Trans Putera Fajar sebagai tersangka dalam kecelakaan maut di Subang, Jawa Barat.
Diberitakan sebelumnya, Direktur Lalu Lintas Polda Jabar Komisaris Besar Wibowo di Subang pada Selasa (14/5/2024) baru menetapkan Sadira (51), sopir bus Trans Putera Fajar sebagai tersangka atas kecelakaan maut yang terjadi di Ciater, Subang, Jawa Barat. Dalam kecelakaan tersebut, 11 orang tewas.
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap 13 saksi dan kondisi fisik bus Trans Putera Fajar, Sadira dijerat dengan Pasal 311 Ayat 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Djoko menyayangkan polisi yang hanya menetapkan Sadira sebagai tersangka dalam kecelakaan itu. Menurut dia, pemilik Perusahaan Otobus Trans Putera Fajar juga harus menerima hukuman dari kelalaian yang dibuat.
Ada beragam kesalahan yang, menurut Djoko, dibuat pengusaha bus Trans Putera Fajar sehingga kecelakaan yang menewaskan 11 orang ini terjadi. Misalnya, izin kir yang sudah kedaluwarsa dan adanya dugaan modifikasi bus. Bahkan, bus tersebut juga tidak dilengkapi dengan izin angkutan pariwisata.
”Pengurusan administrasi bukanlah urusan sopir, melainkan perusahaan bus tersebut. Itulah sebabnya pemilik perusahaan bus harus dijerat hukum,” katanya.
Tidak hanya dijerat hukum, perusahaan juga harus menyantuni semua korban tewas atau luka. Mereka tidak pantas bersandar pada bantuan yang dikeluarkan PT Jasa Raharja atau Pemkab Depok.
”Karena bus yang mereka gunakan adalah modifikasi dan tidak berizin, PT Jasa Raharja tidak berkewajiban menyantuni korban. Pemilik buslah yang punya tanggung jawab itu,” ujar Djoko.
Menurut dia, pemilik perusahaan harus diberi hukuman berat sebagai pembelajaran agar tidak mengulangi kesalahannya lagi. Hukuman berat untuk pemilik perusahaan diharapkan menjadi pelajaran bagi pemilik bus agar patuh pada aturan administrasi.
Dalam beberapa kecelakaan besar yang menelan korban, seperti di Balikpapan, Mojokerto, dan Ciamis, hukum tidak menyentuh pemilik bus. Jerat hukum hanya berhenti pada sopir. Bahkan, kasus bisa saja hilang seiring dengan pergantian pimpinan di jajaran kepolisian.
”Sekarang masyarakat menantikan apakah polisi bisa menuntaskan kasus kecelakaan di Subang,” ucap Djoko.
Aji, salah satu pengurus perusahaan bus di Tangerang, membeberkan jika terjadi kecelakaan yang menelan korban, biasanya perusahaan melakukan pendekatan kepada keluarga korban. Dengan cara ini, diharapkan sopir bisa diberi keringanan.
Seperti yang dia alami kala menabrak pengendara motor. Saat itu, dia dipenjara. Lalu perusahaan mendatangi keluarga untuk meminta maaf atas kejadian yang terjadi dan memberikan santunan. Kemudian, dibuatlah surat kesepakatan bahwa keluarga sudah ikhlas atas kehilangan anggota keluarganya.
Mengacu pada perjanjian itu, dirinya pun dapat keringanan dan bisa bebas dari penjara kurang dari 6 bulan. ”Istilahnya saya ditebus oleh perusahaan,” katanya.
Aji yang pernah menjadi pengemudi bus menuturkan, dilihat dari kasus kecelakaan di Subang, baik pengemudi maupun perusahaan harus bertanggung jawab. Pengemudi dinilai lalai karena terus menjalankan busnya walau ditemukan masalah pada mesinnya.
Perusahaan pun lalai karena ketika armadanya bermasalah tidak disiapkan bus pengganti. Akibat kesalahan prosedur ini, terjadilah kecelakaan yang menelan korban.
Harapan keluarga korban
”Kenapa bus yang tidak laik jalan masih dioperasikan,” katanya.
Dirinya pun mengakui, sebelum bertolak ke Bandung, kakaknya merasa ada yang tidak beres dari bus yang ditumpanginya. ”Perasaan busnya gini-gini amat,” ujar Karnaen menirukan ucapan kakaknya. Namun, bus tetap saja berangkat dengan kondisi yang tidak prima.
Ketua Bidang Angkutan Orang Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda) Kurnia Lesani Adnan bahkan beranggapan pemerintah hanya bisa membuat aturan, tetapi lalai dalam mengawasi dan menegakkan aturan tersebut. Dari kasus kecelakaan di Subang, sebenarnya sudah terlihat adanya malaadministrasi pada bus Trans Putera Fajar. Izin kir dan angkutan sudah kedaluwarsa.
Sekarang masyarakat menantikan apakah polisi bisa menuntaskan kasus kecelakaan di Subang.
Selain itu, bus Trans Putera Fajar juga diduga mengalami modifikasi struktur dari bentuk aslinya. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab kecelakaan.
Karena itu, menurut dia, masalah ini harus dituntaskan lintas instansi. Mulai dari Kementerian Perhubungan, Kementerian Dalam Negeri, dan Polri harus bersinergi dalam menyelesaikan masalah ini.