Kenaikan Tarif KRL Jabodetabek Masih Tunggu Keputusan Kemenhub
KAI Commuter belum bisa memastikan kapan kenaikan tarif KRL Jabodetabek akan direalisasikan.
JAKARTA, KOMPAS — KAI Commuter masih menunggu keputusan dari Kementerian Perhubungan terkait usulan rencana kenaikan tarif KRL Jabodetabek yang belum berubah sejak 2016. Di sisi lain, pengamat transportasi mengingatkan kenaikan tarif harus melihat momen yang pas.
Direktur Operasi dan Pemasaran KAI Commuter Broer Rizal mengatakan, rencana kenaikan tarif KRL Jabodetabek masih terus dibahas. Pihaknya masih menunggu keputusan dari pemerintah untuk kenaikan tarif KRL Jabodetabek. Sebab, ketentuan tarif KRL Jabodetabek merupakan kewenangan Kementerian Pehubungan selaku regulator.
”Itu merupakan kebijakan dari pemerintah. Kami hanya eksekutor yang melaksanakan keputusan pemerintah. Usulan dan pembahasannya sudah dilakukan di Kementerian Perhubungan,” ujarnya saat dikonfirmasi, Rabu (24/4/2024).
Baca juga: Pro-Kontra Warga jika Tarif KRL Jabodetabek Dinaikkan
Sementara itu, hingga kini Kemenhub belum juga memutuskan usulan tersebut. Oleh sebab itu, Broer tidak dapat memastikan kapan usulan kenaikan tarif KRL Jabodetabek ini akan direalisasikan. Namun, pihaknya siap melaksanakan kenaikan tarif KRL Jabodetabek jika Kemenhub sudah memberikan komando.
Seperti diketahui, KRL Jabodetabek merupakan angkutan antarkota yang mendapat subsidi tarif berupa public service obligation (PSO) dari pemerintah. Artinya, pemerintah menanggung biaya operasional KRL, mulai dari perawatan sarana dan prasarana, gaji pegawai, bahan bakar, hingga keuntungan perusahaan.
Saat ini, tarif KRL Jabodetabek masih mengikuti aturan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 354 Tahun 2020 tentang Tarif Angkutan Orang dengan Kereta Api Pelayanan Kelas Ekonomi untuk Melaksanakan Kewajiban Pelayanan Publik. Dalam aturan tersebut, tarif KRL Jabodetabek diatur sebesar Rp 3.000 untuk 25 kilometer pertama dan Rp 1.000 untuk 10 kilometer berikutnya.
Isu kenaikan tarif KRL Jabodetabek sudah terdengar sejak tahun 2022. Dalam paparan Ditjen Perkeretaapian pada Januari 2022, usulan kenaikan dilakukan pada tarif dasar 25 kilometer pertama.
Tarif dasar diusulkan naik Rp 2.000 sehingga tarif dasar akan ditetapkan menjadi Rp 5.000 untuk 25 kilometer pertama. Sementara tarif lanjutan 10 kilometer berikutnya tidak naik, tetap Rp 1.000.
Baca juga: Mencari Solusi Bijak Terkait Tarif KRL
Adapun tarif asli KRL Jabodetabek antara Rp 10.000 sampai dengan Rp 15.000. Dengan tarif Rp 3.000 per 25 kilometer pertama, selama ini menutup biaya operasional KRL disokong oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jika masyarakat dikenai sedikit lebih tinggi, yakni Rp 5.000 per 25 kilometer pertama, tentunya subsidi negara bisa dikurangi.
Sebelumnya, Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati mengonfirmasi penyesuaian tarif ini tengah dibicarakan bersama pemangku kepentingan terkait. Meski demikian, ia belum dapat memastikan kapan penyesuaian tarif ini akan diberlakukan. ”Masih kami bahas bersama para stakeholders. Belum kami pastikan soal realisasi pemberlakuannya,” kata Adita (Kompas.id, 29/2/2024).
Menanggapi isu kenaikan tarif KRL Jabodetabek, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi Deddy Herlambang berpendapat, jika tarif KRL komuter hendak disesuaikan dengan kenaikan tarif tertentu, pasti akan naik. Meski demikian, ia mengingatkan, kenaikan harus melihat momen yang pas.
”Harus memilih waktu yang pas. Menurut saya, waktu saat ini kurang pas karena suhu politik masih memanas akibat pemilu. Sebaiknya dilakukan setelah pelantikan presiden baru RI. Di sisi lain, harga sebagian sembako masih naik. Jangan sampai kenaikan tarif ini akan menambah beban hidup masyarakat,” katanya.
Menurut Deddy, subsidi BBM senilai Rp 300 triliun per tahun juga dinilai sangat tidak tepat sasaran, sedangkan subsidi dengan skema PSO Kereta Api hanya Rp 4 triliun per tahun. Ia berpendapat, sebaiknya subdisi BBM dikurangi, lalu dipindahkan ke subsidi angkutan umum massal, seperti BRT/MRT/LRT/KRL.
Jangan sampai kenaikan tarif ini akan menambah beban hidup masyarakat.
”Apalagi dengan masih seringnya eskalator yang rusak seperti di Stasiun Manggarai, Jatinegara, Klender, dan Bekasi. Mungkin bisa dibenahi dulu kelayakannya, setelah itu bisa bicara kenaikan tarif,” lanjutnya.
Selain itu, Deddy berpendapat, kenaikan tarif seharusnya untuk perjalanan di atas 25 kilometer. Sementara untuk perjalanan di bawah 25 kilometer, sebaiknya tetap membayar Rp 3.000 sehingga tidak semua penumpang merasakan kenaikan tarif.
Tarif Transjakarta
Tak hanya KRL Jabodetabek, isu kenaikan tarif juga tengah dibicarakan untuk moda transportasi bus Transjakarta. Sebab, tarif senilai Rp 3.500 sudah berlaku sejak tahun 2007 dan belum ada perubahan hingga saat ini.
Saat ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih mengkaji rencana kenaikan tarif Transjakarta. Ada usulan penyesuaian tarif dari Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) sejak setahun lalu. Tarif Transjakarta diusulkan menjadi Rp 4.000. Sementara pada jam sibuk (pukul 07.01-10.00 WIB dan pukul 16.01-21.00 WIB) diusulkan menjadi Rp 5.000.
Alih-alih harus membayar lebih, menurut Deddy, pengguna Transjakarta pada jam sibuk seharusnya berhak mendapatkan tarif yang lebih murah karena standar pelayanan minimal (SPM) transportasi akan menurun saat itu.
Baca juga: Kenaikan Tarif Transjakarta Jangan Bebankan Masyarakat Lemah
”Seharusnya malah kebalikannya. Jika menggunakan angkutan umum di rush hour, sebaiknya tarifnya malah menurun, bahkan bisa gratis. Sebab, kenyamanan penumpang akan menurun karena transportasi penuh dan sesak,” kata Deddy.
Sebagai seorang karyawan yang setiap hari menggunakan Transjakarta, Vivin Handayani (29) mengaku keberatan jika tarif baru diberlakukan lebih besar saat jam sibuk yang merupakan jam para karyawan berangkat dan pulang kerja. ”Seharusnya pemerintah bersyukur para pekerja memilih transportasi publik dalam kesehariannya. Bukan diberi subsidi lebih, malah harus bayar lebih,” kata warga Jakarta Barat ini.
Sebab, pada jam sibuk itu, ia kerap harus berdiri dan berdesakan di dalam bus. Ia khawatir jika tarif dinaikkan pada jam sibuk, para pekerja akan beralih menggunakan kendaraan pribadi.
”Jika mau menaikkan tarif, lebih baik dinaikkan dengan adil. Misal kalau naik Rp 1.000, ya, naik semua di seluruh jam, baik jam sibuk maupun tidak, tidak usah dibedakan,” ujar Vivin.
Pengamat transportasi dan Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menawarkan solusi agar masyarakat lemah tidak terbebani dengan kenaikan tarif Transjakarta. Ia berpendapat, Pemprov DKI bisa menerapkan cara yang diberlakukan Pemprov Jawa Tengah dalam menyubsidi penumpang bus.
Saat ini, tarif bus Trans-Jateng untuk umum Rp 4.000, sedangkan untuk pelajar, mahasiswa, buruh, dan veteran hanya Rp 2.000.
Tarif separuh harga ini berlaku dengan syarat penumpangnya memakai seragam (pelajar dan buruh), pakaian rapi (mahasiswa), dan menunjukkan kartu pelajar, kartu mahasiswa, atau kartu identitas asli atau bukti kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan/Jamsostek (bagi buruh). Adapun syarat bagi veteran adalah menunjukkan tanda anggota veteran.
Menurut Djoko, pihak Transjakarta bisa membuka pendaftaran bagi warga yang mau mendapatkan tarif khusus. Jika buruh, selain menunjukkan KTP, mereka juga bisa menunjukkan surat keterangan dari tempat bekerja atau RT setempat.
”Jika ketahuan berbohong (mungkin ada yang melapor atau ada petugas yang bisa memverifikasi), bisa dicabut dan bisa juga untuk sementara waktu tidak boleh menggunakan bus Transjakarta,” kata Djoko.