Jakarta Kota Global, antara Kepastian Mesin Ekonomi dan Isu Aglomerasi
Kota yang gagal mempersiapkan mesin ekonomi, infrastruktur, dan teknologi untuk masa depan akan rapuh pertumbuhannya.
Permasalahan perkotaan yang dialami Jakarta tidak terbatas pada lingkup daerah. Mengubah Jakarta menjadi kota global membutuhkan komitmen kuat dan kerja sama dari semua pihak, termasuk kolaborasi dengan kawasan aglomerasi.
Peneliti senior Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah IPB University, Ernan Rustiadi, mengatakan, secara de facto, antara Jakarta dengan kota/kabupaten sekitar, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek), memiliki ketergantungan yang tinggi.
Hal itu karena Jakarta menyediakan berbagai lapangan usaha atau pekerjaan dan fasilitas layanan bagi masyarakat sekitar Jakarta. Di sisi lain, Jakarta mendapat dukungan sumber daya alam (air bersih), bahan pangan, lahan untuk perumahan dengan harga terjangkau, dan lain-lain dari daerah sekitarnya.
”Singkatnya, pertumbuhan ekonomi wilayah-wilayah sekitar Jakarta sangat tergantung dari Jakarta. Sekarang kalau bicara Jakarta sudah sulit memisahkan Jakarta yang sudah beraglomerasi dengan kawasan perkotaan di sekitarnya karena sudah terintegrasi. Namun, koordinasi Jakarta dengan kota lain masih relatif lemah,” tutur Ernan, Rabu (24/4/2024).
Menurut Ernan, dalam kenyataannya, sejak era otonomi daerah, kerja sama antardaerah umumnya sangat sulit terwujud, termasuk di Jabodetabek. Contohnya, forum BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Jabodetabek yang sudah lama terbentuk, tetapi kerja samanya sangat terbatas dan tidak mendasar.
”Di era pascapemindahan ibu kota, tidak akan ada perubahan dalam hal kerja sama antardaerah kecuali ada peraturan selevel undang-undang dan bersifat lex-specialis yang bisa memaksa dan memudahkan kerja sama, disertai adanya lembaga koordinasi dengan kepasitas kewenangan yang kuat,” ujarnya.
Sebagai kota global, Jakarta, dinilai Ernan, masih kurang bisa bersaing dengan kota global di negara lain, seperti di Bangkok dan Kuala Lumpur yang dekat dari Indonesia.
Baca juga: Tak Lagi Ibu Kota, Jakarta Tetap Menarik bagi Investor
Transformasi Jakarta ke arah kota global tidak hanya bergantung pada sektor ekonomi, tetapi juga pada infrastruktur yang mendukung. Pembangunan infrastruktur kelas dunia, seperti transportasi yang efisien, telekomunikasi yang canggih, dan energi yang berkelanjutan, perlu menjadi prioritas.
”Akan tetapi, dengan berkurangnya fungsi Jakarta karena tidak lagi jadi ibu kota, seharusnya ini menjadi momen Jakarta untuk lebih fokus dan bisa bersaing dengan global city di negara lain,” katanya.
Namun, perpindahan ibu kota dinilai tidak akan mengurangi secara signifikan kemacetan di Jakarta dan sekitarnya karena potensi pertumbuhan pengguna kendaraan masih tinggi. Penurunan kemacetan hanya akan berkurang jika ada perubahan pola penggunaan transportasi dari penggunaan kendaraan pribadi ke kendaraan umum massal secara signifikan.
Mesin ekonomi
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menyampaikan bahwa mesin penggerak ekonomi di Jakarta saat ini masih bergantung pada perdagangan besar dan eceran serta reparasi mobil dan sepeda motor yang merupakan sektor usaha tersier. Untuk itu, kemacetan tidak akan bisa dihentikan karena banyaknya permintaan kendaraan.
Hal ini selaras dengan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jakarta tahun 2021-2023 yang menyebutkan bahwa bisnis terbesar di Jakarta masih digerakkan oleh sektor transportasi dengan total 29 juta kendaraan di Jakarta dan 19 juta di antaranya ialah sepeda motor.
”Jakarta saat ini dan ke depan didominasi oleh sektor usaha tersier sebagai basis perekonomian. Sejauh mana kekuatan sektor ini mampu memberikan kesejahteraan dan perubahan? Mengapa sektor usaha sekunder (manufaktur) tidak menjadi prioritas?” ujarnya.
Jakarta saat ini dan ke depan didominasi oleh sektor usaha tersier sebagai basis perekonomian. Sejauh mana kekuatan sektor ini mampu memberikan kesejahteraan dan perubahan?
Menurut Yayat, sektor usaha tersier berpotensi menjebak penduduknya pada tingkat pendapatan yang rendah dengan kualitas layanan infrastruktur yang memburuk. Sementara saat ini Jakarta dan kota/kabupaten sekitarnya mesin ekonominya semakin mengarah ke sektor usaha tersier.
”Ekonominya akan bergerak di situ. Akibatnya, Jakarta ke depan akan dipadati sepeda motor dengan pendapatan terbatas. Ini persoalan besar. Kemacetan juga tidak akan teratasi,” kata Yayat.
Sektor usaha lain yang saat ini menopang ekonomi Jakarta ialah industri pengolahan sebesar 11,87 persen, jasa keuangan dan asuransi sebesar 11,09 persen, konstruksi 10,82 persen, serta informasi dan komunikasi sebesar 9,32 persen.
Di sisi lain, sektor usaha berbasis manufaktur atau industri pengolahan, dinilai Yayat, akan membuat pendapatan lebih tinggi karena dibutuhkan keterampilan dan kualitas layanan yang membaik. Adanya sektor manufaktur juga akan berdampak pada pembangunan jalan, perumahan, pelabuhan, dan infrastruktur penunjang lain.
”Sektor usaha sekunder, khususnya manufaktur yang berbasis pada pengembangan industri teknologi dan informasi digital untuk pasar global seharusnya dapat menjadi andalan bagi peningkatan kesejahteraan dan pembangunan İayanan infrastruktur kota,” katanya.
Baca juga: Harapan dan Nasib Jakarta di Balik Pengesahan RUU DKJ
Adapun kekuatan ekonomi lain untuk Jakarta sebenarnya juga bisa pada jasa keuangan asuransi dan perusahaan. Namun, sektor ini tidak dimiliki oleh kota-kota penyangga, seperti Bekasi, Depok, Bogor, dan Tangerang.
Yayat menilai bahwa secara ekonomi dan infrastruktur, saat ini Jakarta sebenarnya masih mampu berdiri secara mandiri. Akan tetapi, wilayah kota dan kabupaten di sekitarnya sangat bergantung pada peran Jakarta sebagai kota utama.
Maka dari itu, untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota global setelah tidak lagi berstatus ibu kota, Jakarta harus memiliki mesin ekonomi untuk menghidupkan wilayahnya dan kota sekitarnya.
Saat ini, menurut Yayat, hal paling penting yang perlu dilakukan Jakarta ialah membangun kota sekitarnya menjadi satu kesatuan. Sebab, secara fungsional, Jakarta dengan kota tetangga telah menjadi satuan ekosistem wilayah dan ekonomi.
”Sebab, kota yang gagal mempersiapkan economic engine (mesin ekonomi), infrastruktur, serta teknologi untuk masa depan akan mengalami ’osteoporosis’ atau kerapuhan daya dukung untuk pertumbuhannya,” ujarnya.
Meningkatkan daya saing
Ketua Ikatan Ahli Perencana Wilayah dan Kota (IAP) Jakarta Adhamaski Pangeran menilai, untuk menjadi kota global, maka pembangunan Jakarta ke depan harus berfokus pada pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan daya saing sebagai pusat finansial dan investasi dunia. Oleh sebab itu, Jakarta perlu lebih banyak kawasan pusat bisnis (central business district/CBD) untuk kantor pusat bagi perusahaan-perusahaan multinasional yang berinvestasi di Indonesia.
Saar ini, daya saing Jakarta terus mengalami penurunan. Merujuk Global Financial Centres Index, peringkat Jakarta turun dari 69 pada tahun 2019 menjadi ke-102 pada 2023. Sementara Kearney Global City Index menyebutkan, peringkat Jakarta anjlok dari ke-59 pada 2019 menjadi peringkat ke-74 pada 2023. Sedangkan MORI Global Power City Index 2023 menempatkan posisi daya saing Jakarta berada di bawah Kuala Lumpur, Bangkok, dan Singapura.
Adhamaski berharap UU DKJ bisa membawa dampak positif terhadap peningkatan daya saing Jakarta. Salah satunya berkaitan dengan perluasan kewenangan Jakarta dalam pembiayaan dan penyediaan perumahan serta adanya perluasan kewenangan untuk pengembangan jaringan transportasi publik hingga ke daerah-daerah penyangga.
”Perluasan itu sangat bagus. Sebab, persoalan Jakarta selama ini sebenarnya juga banyak dipicu dari daerah-daerah penyangga yang terbatas kapasitas keuangan daerah,” ujar Adhamaski.
Namun, ia tidak setuju tentang kawasan aglomerasi yang masih mengandalkan anggaran Jakarta. Tidak terlihat adanya alokasi dana khusus dari pemerintah pusat untuk mendukung kawasan aglomerasi.
Baca juga: Menuju DKJ, Kawasan Aglomerasi Bodetabekjur Perlu Kepastian Hukum
Oleh karena itu, Adhamaski mendukung usulan pembentukan dana abadi perkotaan (urban fund) guna meningkatkan kapasitas keuangan kawasan Jakarta dan sekitarnya. Urban fund diyakini dapat menyelesaikan berbagai hambatan pembangunan, seperti mengatasi urban sprawl di perkotaan.
Adhamaski mengingatkan agar keberadaan kawasan aglomerasi di bawah Dewan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekpunjur dimanfaatkan secara optimal untuk memperbaiki koordinasi penataan ruang Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya.