Kartini dan kebaya punya kesamaan, yakni mempersatukan serta mengusung kemandirian dan kebebasan ekspresi perempuan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
Jalan cantik dengan mengenakan kebaya menjadi cara jitu untuk menggaungkan kembali wastra nusantara ini kepada kaum muda. Kebaya mengandung nilai filosofi yang luhur, yakni mempersatukan, mengedepankan kesopanan perilaku, dan kebebasan berekspresi bagi para pemakainya.
Aurora Raisa (25) meluncur mengelilingi Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat, dengan menggunakan sepatu roda, Minggu (21/4/2024). Yang unik, saat itu dia tidak menggunakan baju olahraga, tetapi mengenakan kebaya dengan kain batik sebagai bawahannya.
”Kebaya bisa digunakan kapan pun. Tidak hanya untuk acara resmi, untuk berolahraga sampai dengan bekerja pun kebaya juga nyaman digunakan,” kata lulusan dari Jurusan Teknik Industri Universitas Indonesia ini.
Tidak hanya bersepatu roda, Aurora bahkan juga pernah mengenakan kebaya saat berolahraga paralayang.
Aurora mulai gemar menggunakan kebaya sejak tahun 2014. Sang ibulah yang pertama kali mengenalkannya pada kebaya. Virus berkebaya itulah yang kemudian memengaruhinya hingga saat ini. Ia tetap bisa bebas berekspresi dan beraktivitas menggunakan kebaya di tengah kecenderungan generasi sebayanya yang kurang nyaman menggunakannya dalam aktivitas sehari-hari.
”Masih banyak anak muda yang menganggap kebaya hanya pantas digunakan saat acara resmi saja,” katanya.
Masih teringat betul reaksi temannya saat ia datang ke kampus mengenakan kebaya. Banyak temannya yang mengira Aurora baru saja menghadiri acara pernikahan. ”Padahal, saat itu, saya sedang ingin saja mengenakan kebaya,” kata Aurora.
Pada peringatan Hari Kartini, Aurora bergabung dengan puluhan perempuan dari enam komunitas pegiat kebaya. Mereka mengenakan kebaya bernuansa putih dipadukan dengan kain bercorak batik di bagian bawah. Dengan mengusung tema ”Jalan Cantik Berkebaya”, mereka melenggang cantik dari Gedung Sarinah menuju Bundaran Hotel Indonesia dan kembali lagi ke Gedung Sarinah.
Jenis kebaya yang digunakan pun beragam. Mulai dari kutubaru, kebaya kartini, hingga kebaya encim betawi. Sesekali mereka pun menari dengan mengenakan kebaya diiringi tembang Lenggang Puspita.
Kekompakan para srikandi Nusantara itu mampu menyedot perhatian ribuan warga yang sedang berolahraga pada saat hari bebas kendaraan bermotor (HBKB). Tak jarang, beberapa dari mereka diminta berfoto bersama.
Kebaya adalah produk budaya yang berkembang dinamis, hidup dan tumbuh seiring dengan kehidupan masyarakatnya.
Hingga kini, setidaknya ada 50 anggota Komunitas Kebaya Menari secara rutin melakukan kegiatan di Sarinah, Jakarta. Dengan menari, Yanti berharap akan lebih banyak lagi perempuan Indonesia, terutama generasi muda, yang tertarik mengenakan kebaya.
”Melalui tarian, saya harap tradisi berkebaya akan kembali terangkat, tidak hanya di ranah domestik, tapi juga merambah ke kancah dunia,” katanya.
Menurut Yanti, tradisi berkebaya penting dilestarikan untuk mempertahankan jati diri perempuan Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur. Salah satu tokoh yang menjadi inspirasi wanita Indonesia dalam berkebaya adalah Kartini. Sejak kecil hingga akhir hidupnya, ia selalu mengenakan kebaya. Bahkan, salah satu ragam kebaya di Indonesia diberi nama kebaya kartini.
Dengan mengenakan kebaya diharapkan wanita Indonesia pun turut mengingat perjuangan Kartini dalam mengusung kesetaraan dan kemandirian perempuan dalam hidup berbangsa dan bernegara. ”Ingat Kartini, ingat Kebaya,” katanya.
Kebaya mendunia
Kolaborasi juga terus diterapkan untuk mendaftarkan budaya berkebaya dalam daftar warisan budaya tak benda ke Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Dalam usaha ini, Indonesia menggandeng empat negara serumpun, yakni Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand.
Menurut Rahmi, dengan pendaftaran ini diharapkan pegiat kebaya semakin menjamur. Tidak hanya di Asia Tenggara, tetapi juga di dunia. ”Bahkan saat ini sudah ada pegiat kebaya di 12 negara di Eropa. Semoga fenomena ini pertanda baik,” katanya.
Pengajuan kebaya sebagai warisan budaya tak benda dilakukan sejak Maret 2023. Pada Desember 2024 diharapkan kebaya bisa masuk dalam daftar kebudayaan yang akan disidangkan di UNESCO.
Indiah Marsaban, anggota Tim Nasional Kebaya Indonesia, berpendapat, kebaya adalah wastra nusantara yang mengandung nilai luhur yang sangat berharga. Dengan berkebaya, perempuan Indonesia diajak untuk lebih menahan diri dalam berperilaku.
Di sisi lain, kebaya juga menyimbolkan adanya kebebasan berekspresi. Ada ratusan ragam kebaya yang berasal dari beberapa daerah dan memiliki ciri khasnya sendiri. Di sinilah tergambar betapa kebaya menjadi wadah kebebasan berekspresi bagi kaum perempuan.
”Kebaya adalah produk budaya yang berkembang dinamis, hidup dan tumbuh seiring dengan kehidupan masyarakatnya,” ujar Indiah.
Karena itulah, ujar Indiah, saat ini kebaya dikelompokkan dalam dua bagian, yakni kebaya tradisional dan kebaya kontemporer. Kebaya tradisional adalah berkebaya dengan tetap mempertahankan pakem adat-istiadat. Misalnya dalam acara adat, kebaya biasanya dipadukan dengan tatanan rambut yang disanggul serta mengenakan sandal selop.
Sementara kebaya kontemporer bisa dipadupadankan dengan jenis busana lainnya. Misalnya, kebaya bisa dipadukan dengan rok, kain, bahkan jins. Bahkan tidak sedikin yang mengenakan sepatu olahraga. Dengan demikian, penggunaan busana kebaya lebih fleksibel.
Selain itu, kebaya juga menjadi simbol pupusnya sekat sosial. Itu karena kebaya bisa digunakan untuk semua kalangan. Mulai dari penjual jamu, petani, menteri, hingga ibu negara.
Sebab, pada dasarnya kebaya itu mempersatukan. Sama seperti Kartini yang mempersatukan perempuan Indonesia untuk mampu hidup berdikari dengan menjunjung emansipasi. Karena itu, generasi muda Indonesia tidak perlu ragu untuk berkebaya.