Keluarga Korban Bunuh Diri Dikenal Ramah dan Religius
Keluarga korban yang melakukan bunuh diri di Penjaringan, Jakarta Utara, dikenal ramah dan religius.
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu korban yang diduga bunuh diri di Apartemen Teluk Intan, Penjaringan, Jakarta Utara, AEL, dikenal sebagai pribadi yang ramah dan religius. Semenjak suaminya mengalami pemutusan hubungan kerja dan keluarganya mengalami keterpurukan ekonomi. AEL pun turut bekerja mencari uang.
Sebelumnya, empat orang yang merupakan satu keluarga, yakni EA (50), AEL (52), JWA (13), dan JL (15), ditemukan meninggal setelah meloncat dari lantai 21 Apartemen Teluk Intan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Kesan terhadap keluarga ini membekas di benak tetangga korban, Arif (47), ketika masih tinggal di Apartemen Teluk Intan. Arif tinggal persis di sebelah unit yang dulu ditinggali keluarga korban. Keluarga EA menempati unit apartemen nomor 16A berukuran 75 meter persegi. Kondisi unit itu kini terlihat sepi dengan pintu tertutup terali besi.
Arif menuturkan, dia kenal dengan keluarga korban sejak 2017, ketika ia pertama kali membeli unit di apartemen tersebut. ”Keluarga ini lebih dulu tinggal di sini sebelum saya,” kata Arif, Minggu (10/3/2024) malam.
Dalam kesehariannya, Arif mengenal keluarga ini sebagai pribadi yang ramah. ”Setiap hari, kalau ketemu, pasti saya selalu menyapa, begitu pun dengan anak-anaknya. Tapi, terus terang saya jarang bertemu dengan EA,” katanya.
Arif telah menganggap AEL sebagai kerabat karena memang datang dari kampung yang sama, yakni dari Bagan Siapi-api, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
Arif bercerita, terakhir ia bertemu dengan keluarga ini pada tahun 2023. Kala itu, satu keluarga ini pindah ke Surakarta, Jawa Tengah, untuk memulai kehidupan yang baru. ”Katanya mereka mau memulai bisnis yang baru, tetapi saya tidak tahu bisnis apa yang ia kerjakan,” ujarnya.
Keterpurukan ekonomi
Arif melihat, mereka memutuskan pindah mengalami keterpurukan ekonomi saat pandemi melanda. ”Yang saya tahu, ketika pandemi, suaminya terkena pemutusan hubungan kerja. Mulai dari sana, kehidupan keluarga ini terlihat sangat merana,” katanya.
Keterpurukan itu terlihat ketika AEL beberapa kali menawari istri Arif telur ayam untuk penyambung hidup. Selain itu, kendaraan yang dipakai juga berubah. ”Dulu sempat pakai mobil Fortuner, terakhir yang saya dengar menggunakan mobil Gran Max,” lanjutnya.
Karena kondisi itulah, Arif berinisiatif untuk membantu keluarga ini ketika akan pindah ke Surakarta. ”Saya beberapa kali memberi keluarga ini uang sebagai bekal kehidupan di sana,” kata Arif.
Terhitung sudah tiga kali ia memberikan bantuan dana dengan total sekitar Rp 8 juta. Termasuk ketika keluarga ini sudah berada di Surakarta. ”Saya hanya merasa iba dengan keluarga ini. Jadi, saya berharap uang yang saya beri itu bisa sedikit membantu,” ujarnya.
Alangkah kagetnya ia ketika melihat semua anggota keluarga ini memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan cara melompat dari lantai 21 apartemen. Arif tidak menyangka mereka bisa melakukan tindakan senekat itu. Karena yang ia tahu, AEL merupakan orang yang sangat religius.
”Selama tinggal di apartemen ini, saya kerap melihat AEL berdoa di depan apartemen dalam waktu yang cukup lama,” ujar Arif.
Baca juga: Bunuh Diri Sekeluarga di Apartemen Penjaringan yang Mengusik Kemanusiaan
Kompas pun menyusuri apartemen, termasuk melihat kondisi di lantai paling atas. Dalam pantauan CCTV, keluarga korban menaiki lift dan keluar di lantai 21. Setelah itu, mereka menggunakan tangga darurat untuk mencapai lantai paling atas.
Di lantai paling atas itu terdapat sebuah wihara kecil. Di sanalah mereka melompat. Kini tempat kejadian ditutupi garis polisi.
Salah seorang petugas keamanan apartemen yang tidak mau disebutkan namanya berujar, tempat ibadah itu memang dikhususkan untuk penghuni. ”Kalau orang asing tentu akan kami tanya apa kepentingannya datang ke apartemen. Prosedur itu kami lakukan sebagai bentuk penjagaan keamanan,” ujarnya.
Termasuk ketika keluarga ini masuk ke apartemen, tidak ada kecurigaan sedikit pun karena ia tahu bahwa keluarga ini pernah tinggal di apartemen dalam waktu lama. ”Tapi, saya tidak menyangka mereka berbuat demikian (bunuh diri),” katanya.
Ignatius Alven (21), penghuni apartemen, menuturkan, kejadian bunuh diri di sekitar lokasi apartemen bukan pertama kali terjadi. Dalam 10 tahun terakhir, terhitung sudah tiga kali kejadian bunuh diri dengan cara melompat dari ketinggian. ”Motif bunuh diri pun berbeda. Mulai dari mendengar bisikan hingga terlilit utang,” katanya.
Karena itu, ketika ada peristiwa bunuh diri satu keluarga, baginya, hal itu tidak lagi mengagetkan. Kini, lokasi bunuh diri masih dipasangi garis polisi. Tempat jatuhnya korban pun ditutupi plastik.
Beberapa warga yang penasaran melewati lokasi kejadian untuk melihat kondisi terakhir. Tidak jarang ada warga dan penghuni yang menyempatkan singgah untuk berdoa dan memberi bunga.
”Saya berdoa semoga mereka tenang,” kata salah seorang penghuni yang turut mendoakan korban.
Baca juga: Deretan Kasus Bunuh Diri Sekeluarga, dari Depresi hingga Tekanan Ekonomi
Kepala Kepolisian Sektor Penjaringan Komisaris Agus Ady Wijaya menuturkan, dari hasil pengecekan kamera CCTV dan keterangan sejumlah saksi, dugaan sementara memang ada indikasi kuat keluarga ini bunuh diri. Namun, motif bunuh diri masih diselidiki.
Berdasarkan rekaman CCTV, keluarga ini datang ke apartemen pada pukul 16.04. Keempat korban mendatangi apartemen menggunakan mobil Gran Max warna perak dengan nomor pelat B 2972 BIQ.
Kemudian, para korban masuk ke lobi apartemen dan naik menggunakan lift. Sebelum memasuki lift, EA terlihat mencium kening ketiga korban yang lain. Sementara AEL mengumpulkan semua telepon genggam milik korban.
Beberapa warga yang penasaran melewati lokasi kejadian untuk melihat kondisi terakhir. Tidak jarang ada warga dan penghuni yang menyempatkan singgah untuk berdoa dan memberi bunga.
Pada pukul 16.05, para korban keluar dari lift, tepatnya di lantai 21, kemudian naik ke tangga darurat untuk ke bagian paling atas apartemen. Pada pukul 16.13, para korban jatuh bersamaan persis di depan lobi apartemen.
Dari keterangan para saksi, ungkap Agus, korban pernah tinggal di apartemen ini. Namun, sudah dua tahun mereka tidak lagi tinggal di sana. ”Ketika datang lagi ke apartemen, mereka langsung melakukan tindakan (bunuh diri) ini,” kata Agus.
Berdasarkan hasil identifikasi dari Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Inafis), korban terluka parah di sejumlah bagian tubuh. Sebelum menjatuhkan diri, tangan mereka terikat dengan tali. Tangan EA dan JL terikat dengan tali yang sama. Sementara AEL terikat tali yang sama dengan JWA.
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Koentjoro mengatakan, apa pun motif yang melatarbelakangi, penyelidikan terhadap kasus bunuh diri di Jakarta Utara perlu diperdalam untuk menyelidiki siapa inisiator bunuh diri tersebut.
”Upaya bunuh diri sangat jarang dilakukan berdasarkan keputusan lebih dari dua orang, apalagi dalam kasus ini sampai melibatkan empat orang sekaligus,” ujarnya.
Inisiator diduga kuat adalah ayah, ibu, atau bahkan kesepakatan ayah dan ibu sekaligus. Salah satu anak, JL (15), yang sudah berusia cukup dewasa dan bisa berpikir logis, menurut dia, semestinya bisa menolak. Oleh karena itu, perlu juga dilakukan penyelidikan apakah anak-anak ini sebelumnya menolak atau sengaja ditarik oleh orangtuanya.
”Bunuh diri biasanya dilakukan oleh mereka yang merasakan beban masalahnya terlalu berat dan tidak bisa diselesaikan,” katanya.
Kalaupun kemudian upaya bunuh diri gagal dan kebetulan yang bersangkutan selamat, selama masalah belum selesai, keinginan bunuh diri akan tetap muncul. Upaya bunuh diri pun akhirnya kerap dilakukan berulang kali.
*Artikel ini tidak dimaksudkan untuk menginspirasi Anda melakukan tindakan serupa. Jika Anda mengalami depresi atau bermasalah dengan kesehatan jiwa, segera hubungi psikolog atau layanan kesehatan mental terdekat.*