Kasus Bunuh Diri Sekeluarga, Apa Kata Ahli tentang Penggunaan Tali?
Kasus bunuh diri satu keluarga di Penjaringan diliputi misteri. Penggunaan tali diduga menjadi simbol ikatan keluarga.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus bunuh diri sekeluarga di Penjaringan, Jakarta Utara, masih menyisakan misteri. Polisi terus menyelidikinya. Dalam kasus bunuh diri sekeluarga ini, korban masing-masing menggunakan tali untuk saling mengikatkan diri.
Kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Eliasta Sembiring Meliala, Senin (11/3/2024), mengatakan, penggunaan tali sangat menarik perhatian. Menurut dia, tali yang diikatkan di tangan para korban merupakan simbol ikatan yang kuat sebagai keluarga. ”Sampai mati pun mereka harus bersatu,” ucapnya.
Meski demikian, ia melihat ada alasan lain penggunaan tali. Kemungkinan sang anak masih ragu untuk melakukan bunuh diri sehingga memerlukan dorongan dari orangtua. Anak diikutkan untuk melakukan aksi bunuh diri agar mereka tidak harus menanggung beban yang diwariskan oleh orangtua.
Pada Sabtu (9/3/2024), satu keluarga yang terdiri atas empat orang melakukan bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 21 gedung apartemen dan jatuh di depan lobi Apartemen Teluk Intan, di Penjaringan, Jakarta Utara. Mereka adalah EA (50), AEL (52), JWA (13), dan JL (15).
Polisi masih menyelidiki kasus yang mengejutkan tersebut. Sejumlah keterangan dan rekaman CCTV telah dihimpun oleh aparat hukum.
Tak mampu membendung
Adrianus menilai, ketika seseorang telah merencanakan untuk bunuh diri, sekuat apa pun iman yang mereka anut selama hidup tidak akan mampu membendung niat tersebut. ”Karena mereka menganggap masalah tidak akan selesai dengan hanya menjalankan agama. Perlu dicari cara di luar itu,” ujar Adrianus.
Karena itu, sangat sulit bagi pihak lain untuk membendung seseorang untuk bunuh diri. Ia mencontohkan cara Pemerintah Jepang untuk mencegah banyaknya tingkat bunuh diri, yakni memasang jeruji di jendela apartemen atau di selasar. Tujuannya, mencegah penghuni melompat.
Sampai mati pun mereka harus bersatu.
Akan tetapi, cara itu tak mampu menekan angka bunuh diri. ”Pada dasarnya, kalau seseorang sudah ada niat untuk bunuh diri, ada banyak cara yang bisa dilakukan,” ucapnya.
Menurut dia, peristiwa bunuh diri di Apartemen Teluk Intan, Penjaringan, Jakarta Utara, harus dilihat secara menyeluruh. Kasus ini tidak bisa dibandingkan dengan kasus bunuh diri sekeluarga yang pernah terjadi sebelumnya.
”Setiap kasus bunuh diri memiliki alasan subyektif yang berbeda-beda sehingga tidak bisa dibandingkan,” kata Adrianus.
Ia menilai ada banyak hal yang dapat memicu munculnya keputusan untuk bunuh diri sekeluarga. Salah satunya masalah ekonomi. Alasan memilih apartemen itu sebagai lokasi bunuh diri, Adrianus menduga karena mereka sudah terbiasa dengan lokasinya. Mereka sudah pernah tinggal lama di sana.
Arif (48), tetangga korban, mengatakan, keluarga korban tidak pernah bercerita jika mereka mengalami kesulitan ekonomi. Namun, dari cara hidup mereka sehari-hari menunjukkan keluarga ini sedang mengalami kesulitan itu. ”Mulai dari menjual telur dan mengganti mobil dengan yang lebih sederhana,” ujarnya.
Namun, keputusan untuk bunuh diri sangat tidak ia sangka. Pasalnya, keluarga ini dikenal sangat religius, terutama AEL yang sangat agamis. ”Mungkin beban hidup yang sudah sangat berat sehingga mereka nekat melakukan tindakan ini,” kata Arif.
Hingga kini, pihak kepolisian terus melakukan penyelidikan untuk mengungkap motif di balik peristiwa bunuh diri ini. Kepala Polsek Penjaringan Komisaris Agus Ady Wijaya mengatakan, pihaknya terus menggali motif dari peristiwa bunuh diri ini dengan meminta keterangan para saksi dan mencari keterangan dari telepon genggam para korban.
*****Artikel ini tidak dimaksudkan untuk menginspirasi Anda melakukan tindakan serupa. Jika Anda mengalami depresi atau bermasalah dengan kesehatan jiwa, segera hubungi psikolog atau layanan kesehatan mental terdekat.