Seperti diberitakan sebelumnya, dalam peristiwa bunuh diri di Apartemen Teluk Intan menelan empat korban, dua di antaranya adalah anak-anak. Mereka yang tewas adalah EA (50), AEL (52), JWA (13), dan JL (15). Mereka ditemukan meninggal setelah terjun dari lantai 21 Apartemen Teluk Intan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, Senin (11/3/2024), berpendapat, empat orang yang terjun dari atap apartemen itu baru bisa dikatakan bunuh diri sekeluarga (bersama-sama) jika penyidik bisa memastikan bahwa pada setiap orang tersebut bersepakat untuk melakukan bunuh diri secara bersama-sama (konsensual).
Implikasinya, anggapan bahwa anak-anak berkehendak dan bersepakat untuk melakukan bunuh diri bersama-sama serta-merta gugur. ”Dalam situasi apa pun, anak-anak secara universal harus dipandang sebagai manusia yang tidak memberikan persetujuannya bagi aksi bunuh diri,” kata Reza.
Sama halnya dalam kasus kekerasan seksual, dari sudut pandang hukum, anak-anak yang terlibat dalam aktivitas seksual harus selalu diposisikan sebagai individu yang tidak ingin atau tidak bersepakat melakukan aktivitas seksual. ”Siapa pun orang yang melakukan aktivitas seksual dengan anak-anak secara universal selalu diposisikan sebagai pelaku kejahatan seksual. Sebaliknya, anak-anak secara otomatis berstatus sebagai korban,” ujarnya.
Begitu pun dengan kasus bunuh diri. Terlepas apakah dua anak pada peristiwa itu setuju atau tidak setuju melakukan aksi keji itu, sekali lagi, secara hukum anak harus diposisikan sebagai orang yang tidak mau dan tidak setuju.
”Dengan begitu, aksi terjun bebas itu mutlak harus disimpulkan sebagai tindakan yang tidak mengandung konsensual (persetujuan bersama),” ujar Reza.
Oleh karena tidak ada unsur konsensual, maka dalam kasus ini anak-anak itu telah dipaksa untuk melakukan aksi bunuh diri. Atas dasar itu, anak-anak itu sama sekali tidak bisa dinyatakan melakukan bunuh diri.
”Karena mereka dipaksa melompat, mereka justru korban pembunuhan,” kata Reza. Pelaku pembunuhannya adalah pihak telah memaksa anak-anak tersebut untuk melompat dari ketinggian.
Walau kejadian tersebut berubah tidak lagi semata-mata bunuh diri, tetapi menjadi kasus pembunuhan, polisi tidak bisa memprosesnya lebih lanjut karena terduga pelaku sudah tewas karena Indonesia tidak mengenal posthumous trial atau proses pidana terhadap pelaku yang sudah mati.
Namun, dalam pendataan polisi, peristiwa memilukan itu seharusnya dicatat sebagai kasus pembunuhan terhadap anak dengan modus memaksa mereka untuk melompat dari gedung tinggi.
Karena mereka dipaksa melompat, mereka justru korban pembunuhan.
Sebelumnya, Kepala Kepolisian Sektor Penjaringan Komisaris Agus Ady Wijaya menuturkan, sebelum melompat dari lantai 21 apartemen, keempat korban dalam kondisi terikat dengan tali. Tangan EA dan JL terikat dengan tali yang sama. Sementara AEL terikat tali yang sama dengan JWA.
Kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Eliasta Sembiring Meliala, mengatakan, penggunaan tali sangat menarik perhatian. Menurut dia, tali yang diikatkan di tangan para korban merupakan simbol ikatan yang kuat sebagai keluarga. ”Sampai mati pun mereka harus bersatu,” ucapnya.
Polisi masih terus menyelidiki kasus ini, termasuk kondisi yang melatarbelakangi tindakan keluarga itu.
Meski demikian, ia melihat ada alasan lain penggunaan tali. Kemungkinan sang anak masih ragu untuk melakukan bunuh diri sehingga memerlukan dorongan dari orangtua. Anak diikutkan untuk melakukan aksi bunuh diri agar mereka tidak harus menanggung beban yang diwariskan oleh orangtua.
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, menuturkan, praktik bunuh diri diterapkan misi niat kemuliaan, di mana orangtua tidak ingin anaknya menderita sepeninggal dirinya. Itulah alasan mengapa sang anak dipaksa untuk melakukan bunuh diri.
Peristiwa ini seharusnya menjadi momentum bagi warga sekitar untuk peka dalam melihat masalah sosial ini. ”Inilah saatnya untuk memperkuat perekat sosial sehingga tidak ada lagi orang yang merasa sendiri kala menghadapi masalahnya,” kata Devie.
***Artikel ini tidak dimaksudkan untuk menginspirasi Anda melakukan tindakan serupa. Jika Anda mengalami depresi atau bermasalah dengan kesehatan jiwa, segera hubungi psikolog atau layanan kesehatan mental terdekat.