Beban Hidup di Perkotaan Kian Mengimpit, Bisa Picu Niat Bunuh Diri
Kasus bunuh diri sekeluarga di Penjaringan menunjukkan anak sangat mudah menjadi korban.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Beban hidup yang kian mengimpit masyarakat perkotaan modern bisa memicu peluang meningkatnya depresi. Kemungkinan tekanan itu yang berujung pada bunuh diri perlu diantisipasi sedini mungkin.
Sebelumnya, EA (50), AEL (52), JWA (13), dan JL (15) ditemukan tewas di Penjaringan, Jakarta, Utara, Sabtu (9/3/2024). Keluarga asal Rokan Hilir, Sumatera Selatan, itu melompat dari apartemen dengan dugaan berlatar kesulitan ekonomi.
Antropolog perkotaan Universitas Padjadjaran, Budi Rajab, di Bandung, Jawa Barat, Senin (11/3/2023), mengatakan, baru kali ini ia mendapati keluarga utuh di Indonesia yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Kebanyakan bunuh diri disulut masalah finansial.
”Banyak motif ekonomi yang mendorong orang bunuh diri karena begitu besarnya tuntutan hidup, tapi sangat ganjil kalau sampai dilakukan keluarga lengkap,” ujarnya. Gaya hidup di kota-kota besar bisa menimbulkan beban psikologis jika kemampuan keuangan tak mampu mengimbanginya.
Karena itu, setiap individu hendaknya tak menetapkan ekspektasi terlampau tinggi dan memberikan ruang toleransi lebih lapang untuk diri sendiri saat kenyataan yang dihadapi belum sesuai harapan.
Kasus dugaan bunuh diri beberapa anggota keluarga di apartemen, umpamanya dilakukan kakak beradik yang melompat dari lantai 5A di Bandung, Jawa Barat, tahun 2017. Keterangan keluarga korban menyebutkan, dua perempuan berusia 34 tahun dan 28 tahun itu mengalami gangguan jiwa.
Pada akhir Desember 2023, suami istri berumur 44 tahun dan 40 tahun tewas bersama salah satu anak kembarnya yang masih berusia 12 tahun. Keluarga di Malang, Jawa Timur, itu diduga mengakhiri hidup karena terlilit utang puluhan juta rupiah.
Sepasang kekasih, Reynaldi (25) dan Putri (23), juga bunuh diri di apartemen di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, pada awal Januari 2023. Mereka ditemukan meninggal dalam keadaan tidur dan saling menggenggam tangan.
”Jika sudah putus asa, lalu bunuh diri, tetapi pelaku tak selalu mengajak orang lain juga. Kalaupun iya, kerabat tak lantas memenuhinya,” ujar Budi.
Budi pun menekankan pentingnya menjaga kesehatan mental di tengah impitan beban hidup. Ia memandang mereka yang terlihat religius, murah hati, dan bersahabat bukan jaminan tak terbelit depresi, bahkan sampai tega mengajak sanak saudaranya untuk ikut bunuh diri.
Anak jadi korban
Psikolog Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Febdi Hermawan berpendapat, gaya hidup urban dan orangtua yang stres menghadapinya bisa membuat anak menjadi korban. ”Di perkotaan, sangat kompetitif. Tetangga atau keluarga terdekat punya apa, ditambah beban kerja, akhirnya bikin tidak kuat,” ujarnya.
Orangtua yang pikirannya terganggu hingga tak mampu bertahan kemudian mengajak buah hatinya bunuh diri. Ia memandang dua remaja yang menjadi korban di Penjaringan belum memasuki usia matang untuk berpikir masak-masak meski mengetahui bahwa kematian sangat menyakitkan.
”Orangtua berpikir tak mau susah lalu mengajak bunuh diri. Mereka enggan anaknya sengsara karena tak ada yang mengurus,” ujarnya.
Remaja yang belum bisa mengambil keputusan dengan matang kemudian mudah dipengaruhi. Lebih-lebih, mereka diikat dengan orangtuanya saat melompat dari gedung.