Anak sangat rentan menjadi korban perdagangan orang via media sosial. Di Jabodetabek, setidaknya tiga kasus terkuak.
Oleh
RHAMA PURNA JATI, AGUIDO ADRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tindak pidana perdagangan orang melalui media daring rentan menjerat anak. Dalam empat tahun terakhir, setidaknya sudah ada tiga kasus perdagangan anak yang terkuak di wilayah Jabodetabek. Gencarnya media sosial dan sikap cuek dari keluarga serta masyarakat sekitar membuat praktik ini tumbuh subur di sejumlah wilayah.
Penjabat Sementara Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Lia Latifah, Sabtu (13/1/2024), menuturkan, dalam 4 tahun terakhir setidaknya sudah ada tiga kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan korban anak di wilayah Jabodetabek. Kasus itu tersebar di Kalibata (Jakarta Selatan), Kelapa Gading (Jakarta Utara), dan yang terbaru adalah anak yang menjadi korban TPPO di Pondok Gede (Kota Bekasi).
Lia menjabarkan, kejadian di Bekasi terkuak setelah orangtua korban melaporkan telah kehilangan anaknya berinisial A yang sudah dua minggu tidak pulang pada Oktober 2023. Dua hari setelah laporan dilontarkan, A akhirnya pulang ke rumah.
Setelah diperiksa lebih lanjut, A mengaku telah menjadi korban rudapaksa di salah satu kontrakan yang terletak di kawasan Pondok Gede, Kota Bekasi. Ia tidak sendiri, di kontrakan yang sama, ada lima anak yang bernasib serupa. ”Bahkan, salah satu korbannya yang masih kelas VI, sekolah dasar,” kata Lia.
Dari laporan tersebut, pihaknya segera berkoordinasi dengan pihak kepolisian untuk mengusut kasus ini. Hasilnya, pada Jumat (11/1/2024), Polres Metro Bekasi Kota menangkap D (17) satu dari tiga mucikari yang terlibat dalam praktik TPPO itu.
Lia menduga sindikat ini sudah sangat terorganisasi karena proses penjaringan korban tampak begitu sangat sistematis. Dimulai dari berkenalan dengan korban melalui media sosial lalu membawa mereka jalan-jalan, dan misi terakhir menawari korban pekerjaan dengan upah yang menggiurkan.
Berdasarkan pengakuan A, ia mulai terjerumus kala berkenalan dengan salah satu pria yang ternyata adalah salah satu mucikari. Melalui perkenalan itu, ia kemudian ditawari pekerjaan dengan gaji yang cukup menggiurkan, yakni Rp 1 juta-Rp 2 juta per bulan. A pun menyetujuinya tanpa tahu bahwa pekerjaan yang dimaksud adalah menjadi pekerja seks komersial (PSK).
Di awal pekerjaannya, A diminta berfoto dengan pakaian seksi di salah satu kamar di kontrakan tersebut. Hasil dari fotonya itu kemudian disebarkan melalui aplikasi Mi chat. Dua hari berselang, ada pelanggan yang datang untuk bisa ”berkencan” dengan A.
”Tarif yang ditetapkan sekitar Rp 150.000-Rp 300.000, tergantung dari lamanya korban anak melayani para pelanggan," kata Lia. Untuk setiap pelanggan, para korban anak hanya diberi upah Rp 50.000 per pelanggan.
Dalam dua minggu, A harus melayani lima pria hidung belang. Merasa sudah dimanfaatkan, A pun melarikan diri dengan alasan ingin mengambil baju di rumahnya. Dari hasil penelusuran di telepon genggam milik A, diketahui setidaknya ada tiga mucikari dan satu bos besar yang dipanggil Mami.
”Namun, kami tidak bisa menelusuri lebih jauh karena setelah berhasil melarikan diri, A segera didepak dari grup WA tersebut,” kata Lia.
Praktik ini tidak hanya terjadi di wilayah Jabodetabek, di sejumlah daerah praktik serupa pernah terendus, seperti Medan, Belitung Timur. Melihat praktik ini, Lia menilai anak sangat rentan menjadi korban TPPO.
Sikap cuek dari orangtua dan masyarakat sekitar menambah subur praktik tersebut. ”Kebanyakan korban yang terjerumus dalam praktik tersebut adalah anak yang kurang mendapatkan perhatian dari keluarganya, terjebak dalam gaya hidup dan ketidakpedulian warga sekitar,” kata Lia.
Karena itu, edukasi dan sosialisasi baik kepada anak dan keluarga harus terus disuarakan agar mereka bisa membentengi diri dari risiko TPPO. Di sisi lain, Lia berharap kepolisian dapat segera mengusut tuntas kasus ini agar tidak ada lagi anak yang menjadi korban TPPO.
Setelah bertemu dengan OM di salon A justru langsung ditawari pekerjaan open BO. Korban menolak, tetapi tetap dipaksa.
Kepala satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Metro Bekasi Kota Ajun Komisaris Besar Muhammad Firdaus mengatakan, pihaknya menangkap D di Pondok Gede, Kota Bekasi, karena terlibat menjual seorang anak perempuan berinisial A (15) kepada pria hidung belang lewat aplikasi MiChat.
”Kami tangkap dini hari tadi (Jumat) sekitar pukul 00.30. Kami masih dalami selidiki keterlibatan OMA seorang mucikari yang bekerja sama dengan tersangka. (Selain A), ada dua korban remaja lainnya,” kata Firdaus.
Terungkapnya kasus TPPO itu berawal dari laporan orangtua korban yang berhasil kabur dari lokasi rumah prostitusi di Pondok Gede. A berhasil kabur karena berpura-pura ingin mengambil pakaian dan berjanji akan kembali lagi. Namun, A tidak pernah kembali dan langsung menceritakan kejadian buruk yang ia alami kepada orangtuanya.
Adapun korban bisa berkenalan dengan tersangka dari sebuah aplikasi kencan daring pada Juni 2023 lalu. Setelah beberapa bulan perkenalan tersangka D menjanjikan A pekerjaan dan jalan-jalan ke Bali pada Oktober 2023. Sebelum berangkat, A diminta bertemu dulu dengan OM yang diakui sebagai nenek D.
”Setelah bertemu dengan OM di salon A justru langsung ditawari pekerjaan open BO (pekerja seks). Korban menolak, tetapi tetap dipaksa. (Tersangka D), kami sangkakan dengan pasal berlapis, Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak dan UU TPPO,” ujar Firdaus.
Berdasarkan pemeriksaan, lanjutnya, korban sama sekali tidak mengetahui jika tawaran pekerjaan dari tersangka D adalah sebagai pelayan pria hidung belang. Korban diimingi penghasilan besar, tempat tinggal, dan bisa mengirim uang ke orangtua.