Polusi dan Birokrasi Tantangan Besar Tahun Kedua Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono
Belum ada program pengendalian polusi yang solid dan terobosan birokrasi dalam pelayanan publik selama setahun kepemimpinan Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono kembali menjabat sebagai Penjabat Gubernur DKI Jakarta. Masih ada sederet tantangan besar, seperti mengendalikan polusi udara dan adanya terobosan birokrasi dalam pelayanan publik.
Heru dilantik Menteri Dalam Negeri M Tito Karnavian pada Senin (17/10/2022) pukul 08.30 di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta. Setahun berselang, dia kembali diperpanjang sebagai Pj Gubernur DKI Jakarta setelah terlebih dulu dievaluasi setiap tiga bulan.
Evaluasi terakhir berlangsung Jumat (29/9/2023). Heru memaparkan capaian kinerjanya, seperti penanganan kemiskinan dan tengkes, inflasi yang tetap stabil, dan penanggulangan sampah ataupun polusi udara.
Senin (16/10/2023), Heru menerima surat keputusan perpanjangan sebagai Pj Gubernur DKI Jakarta di Kementerian Dalam Negeri. Secara singkat dia menyebut diminta untuk bekerja dengan baik oleh Mendagri.
Ketua Forum Warga Kota Jakarta Ari Subagyo Wibowo mengapresiasi kinerja Heru sebagai jembatan pemerintah pusat dan DKI Jakarta sehingga proyek seperti sodetan Ciliwung dapat berlanjut. Nantinya keberadaan sodetan ini akan diuji ketika tiba musim hujan.
”Kepentingan pusat dan daerah bisa jadi satu sehingga program kerja berjalan lancar. Kelancaran ini harus menular dalam program transportasi umum dan polusi udara,” ujarnya.
Menurut Ari, birokrasi DKI Jakarta sangat bergantung pada Heru. Alhasi, aparatur sipil negara (ASN) tidak menghasilkan terobosan dalam pelayanan publik sesuai tugas, pokok, dan fungsinya.
Contohnya, perihal subsidi transportasi umum. Subsidi bagi semua warga seharusnya ditambah alih-alih adanya isu kenaikan tarif dan uji coba sistem tiket berbasis akun untuk pemetaan pengguna transportasi.
Masalah lain terkait buruknya kualitas udara akhir-akhir ini. Forum Warga Kota Jakarta melihat kelambanan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta dalam program-program pengendalian polusi udara. ”Jangan tunggu pimpinan. Kan, sudah ada program, anggarannya ada, tinggal jalankan di lapangan. Seharusnya tidak ada alasan,” katanya.
DPRD DKI Jakarta juga dinilai minim kontrol kepada eksekutif. Tak pelak kebijakan lebih dominan hanya soal menyetujui anggaran.
Ari mengatakan, seharusnya partisipasi publik ditingkatkan dalam pengambilan keputusan. Mengapa? Karena publik merupakan sasaran atau tujuan dari suatu keputusan.
”Birokrat harusnya tahu kebutuhan warga. Kebutuhan ini prioritas. Legislatif kontrol untuk kepentingan rakyat,” ucapnya.
Kepentingan pusat dan daerah bisa jadi satu sehingga program kerja berjalan lancar. Kelancaran ini harus menular dalam program transportasi umum dan polusi udara.
Kebijakan
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Herman Suparman menyampaikan hal serupa. Setahun memimpin, Heru berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga angka kemiskinan dan pengangguran turun. Dia juga mewujudkan komitmen penanganan banjir sebagai salah satu masalah klasik Jakarta.
”Persoalan polusi udara akhir-akhir ini belum ada kebijakan yang cukup solid. Masih parsial, seperti uji emisi. Bahkan, siram air di jalan seperti orang panik," ujarnya.
Heru disarankan duduk bersama pemerintah pusat dan wilayah Jabodetabek untuk sinkronisasi program pengendalian polusi.
Masalah lain, kata Herman, ialah reformasi birokrasi. Jakarta dengan sumber daya manusia, anggaran, dan fasilitas memadai semestinya lebih responsif ketimbang daerah lain. ”Daya dukung Jakarta luar biasa, tapi tampaknya belum sampai di hasil dari kebijakan atau layanan,” ujarnya.