Untuk menjaga keselamatan layanan dan operasi, pengamat meminta KAI/DJKA membuat jalur rel steril. Jalur rel dibuat steril dengan membangun pagar di kanan dan kiri rel.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belajar dari peristiwa truk menabrak tiang listrik aliran atas pada Selasa (25/7/2023) pagi, KAI Commuter seharusnya membuat semua jalur rel steril untuk menjaga keselamatan layanan dan operasional. Upaya menutup pelintasan sebidang sudah dilakukan, tetapi seharusnya jalur rel juga berpagar seluruhnya.
Ketua Forum Transportasi Jalan dan Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Aditya Dwi Laksana, Selasa, menegaskan, jalur rel harus steril. Hal itu merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Pasal 35 UU itu menyebutkan tentang prasarana perkeretaapian umum dan perkeretaapian khusus meliputi jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api.
Jalur kereta api meliputi ruang manfaat jalur kereta api (rumaja), ruang milik jalur kereta api (rumija), dan ruang pengawasan jalur kereta api (ruwasda). Setiap ruang itu sudah diatur letak dan fungsinya serta ada aturan juga terkait sanksi.
”Sudah ada aturan terkait rumaja, rumija, dan ruwasja. Artinya, rumaja harus steril dan juga sudah ada sanksi. Sterilnya itu mestinya bangun pagar, tembok. Untuk preventifnya, di antaranya memasang rambu peringatan, rambu dilarang ini-itu di sisi jalur KA,” kata Aditya.
Rambu larangan itu misalnya tidak boleh bermain layangan, tidak boleh mendirikan bangunan, ataupun tidak boleh melakukan aktivitas yang merusak prasarana KA.
Aditya berpandangan, sterilisasi dengan membangun pagar di sepanjang tepi jalur rel bisa dilakukan minimal di jalur rel yang bersisian dengan jalan raya. ”Di perkotaan harusnya steril, pagar itu krusial. Ini sama sekali tidak ada pagar, kendaraan apa pun nyelonong,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi Deddy Herlambang menilai, jalur KA selalu rawan karena tidak steril. Idealnya sepanjang trase rel, di kiri dan kanan rel, harus dipagari permanen.
Sesuai regulasi, jarak pemagaran dari sisi rel kiri 6 meter dan dari sisi rel kanan 6 meter atau total 12 meter steril. Dengan begitu, tidak ada orang atau binatang yang menyeberang.
Hanya, pemagaran yang dilakukan masih sebatas di kawasan emplasemen stasiun. Di sepanjang jalur KA belum ada. Masih banyak jalur yang belum berpagar sehingga orang bisa lewat kapan pun.
Deddy menuturkan, dirinya sudah mengecek lokasi truk menabrak tiang LAA, tepatnya di Km 17+5 lintas Pondok Ranji-Kebayoran. ”Saya cek ke Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA), jalan itu sebenarnya jalan lingkungan dan merupakan rumija KA. Jalan tersebut merupakan jalan inspeksi perawatan trek dan satu arah. Artinya, jalur itu harusnya bisa dibuat steril,” ujarnya.
Aditya menambahkan, gangguan layanan dan operasi KRL pada Selasa ini terjadi karena ada truk yang nyasar, kemudian berputar, mundur, dan malah menabrak tiang LAA. ”Apabila jalur steril, dengan dibuat pagar atau tembok, bisa lain psikologisnya. Kerusakan yang timbul bisa berbeda, sopir akan berpikir-pikir untuk bermanuver karena bisa merusak tembok,” katanya.
Momentum perbaikan
Insiden pada Selasa ini, menurut Deddy, bisa menjadi momentum KAI dan DJKA untuk menginventarisasi kembali aset-asetnya untuk keselamatan KA. ”Ini relnya lebih tinggi dari jalan. Kalau tinggi rel sama dengan jalan mobil/motor bisa terabas di rel itu,” katanya.
Agus Sujatno dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia juga mendukung sterilisasi jalur kereta. Sterilisasi jalur untuk menghindarkan jalur dari gangguan.
”Termasuk pelintasan sebidang yang masih cukup banyak. Selain berbahaya, tentu juga mengganggu headway dan kecepatan kereta,” imbuh Agus.
Terpisah, Vice President Public Relations KAI Joni Martinus menyampaikan, untuk meminimalkan kejadian seperti truk yang menabrak tiang LAA di Km 17+5, KAI secara rutin melakukan sosialisasi agar masyarakat tidak beraktivitas di jalur kereta api.
Berdasarkan Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian disebutkan, setiap orang dilarang memasuki atau berada di ruang manfaat jalur kereta api, kecuali petugas di bidang perkeretaapian yang mempunyai surat tugas dari penyelenggara prasarana perkeretaapian.
Adapun yang dimaksud dengan ruang manfaat jalur kereta api, menurut PP Nomor 56 Tahun 2009 Pasal 43 Ayat (1), adalah ruang manfaat jalur kereta api yang terdiri atas jalan rel dan bidang tanah di kiri dan kanan jalan rel beserta ruang di kiri, kanan, atas, dan bawah yang digunakan untuk konstruksi jalan rel dan penempatan fasilitas operasi kereta api serta bangunan pelengkap lainnya.
Dalam ruang manfaat jalur terdapat ruang bebas yang harus bebas dari segala rintangan dan benda penghalang di kiri, kanan, atas, dan bawah jalan rel. Ini sesuai PP Nomor 56 Tahun 2009 Pasal 43 Ayat (3).
Orang yang menempatkan barang pada jalur kereta api yang dapat membahayakan keselamatan perjalanan kereta api diancam dengan pidana penjara atau denda. Hal tersebut termuat dalam Pasal 192 UU Nomor 23 Tahun 2007.
”Di sana disebutkan, setiap orang yang membangun gedung, tembok, pagar, tanggul, dan bangunan lainnya, menanam jenis pohon yang tinggi, atau menempatkan barang pada jalur kereta api, yang dapat mengganggu pandangan bebas dan membahayakan keselamatan perjalanan kereta api, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak Rp 100 juta,” papar Joni.
Aturan sanksi juga ada pada Pasal 199. Pasal itu menyebutkan, setiap orang yang berada di ruang manfaat jalan kereta api, menyeret barang di atas atau melintasi jalur kereta api tanpa hak, dan menggunakan jalur kereta api untuk kepentingan lain selain untuk angkutan kereta api yang dapat mengganggu perjalanan kereta api, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp 15 juta.