36.000 Anak Balita Rawan Gizi Buruk, Jakarta Intervensi Tengkes Sedini Mungkin
Jakarta kota yang heterogen sehingga komitmen dan kolaborasi menjadi penting dalam mengatasi tengkes. Jauh lebih baik memantau tumbuh kembang sejak lahir agar bayi tidak tengkes.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Terdata 36.000 anak balita rawan gizi dan stunting atau tengkes di Jakarta. Data itu berdasarkan pengukuran berat dan tinggi badan terhadap 250.000 anak balita dari 457.000 anak balita sasaran. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun mengupayakan intervensi sedini mungkin agar anak balita rawan gizi segera tertangani dan tidak sampai tengkes.
Intervensi lain yang digulirkan ialah pemberian bantuan vitamin tambahan, gizi tambahan melalui posyandu, dan pangan murah bagi pemegang Kartu Jakarta Pintar. Upaya-upaya tersebut agar prevalensi tengkes Jakarta sebesar 14,8 persen (Survei Status Gizi Indonesia 2022) bisa turun ke 13,5 persen pada 2024.
Saat ini, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 798.107 anak balita di Jakarta. Seluruh anak balita itu nantinya jadi sasaran pengukuran berat dan tinggi badan untuk pemutakhiran data tengkes.
”Jakarta mencari anak balita rawan gizi dan tentunya tengkes. Dari yang sudah ditimbang ada 36.000 yang bermasalah dengan gizi. Kemungkinan bisa naik, bisa turun karena mobilitas penduduk sangat tinggi,” kata Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono seusai pembahasan program tengkes dengan Kementerian Kesehatan di Balai Kota Jakarta, Senin (24/7/2023).
Selain intervensi yang sudah bergulir, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggandeng pemangku kepentingan terkait dan swasta untuk mengatasi tengkes. Salah satu program yang sedang disusun ialah pelibatan kader dasawisma Jakarta yang berjumlah 76.000 dan sukarelawan untuk memastikan program tepat sasaran.
”Kami harus pastikan orangtua harus memberikan gizi kepada anaknya. Makanan yang diberikan memang benar-benar dimakan oleh anak. Ditangani agar gizi terpenuhi, tinggi naik, berat bertambah, tidak tengkes,” kata Heru.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga meminta kerja sama orangtua ataupun keluarga dekat untuk membantu jalannya intervensi tengkes.
Anak balita bebas stunting atau tengkes seusai program Semper Barat Cegah Stunting Balita (Sebar Cinta) di RPTRA Triputra Persada Hijau Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara, Selasa (31/1/2023).
Anak sehat
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pihaknya akan melaksanakan program gerakan anak sehat di 50 kabupaten/kota yang membutuhkan perhatian khusus terkait tengkes. Salah satunya Jakarta lantaran pemerintah daerahnya dinilai terbuka, progresif, dan berkomitmen mengatasi tengkes.
Budi menginginkan data yang transparan melalui penimbangan dan pengukuran tinggi anak balita, seperti di Jakarta. Dari upaya itu akan diketahui kategori anak anak balita yang cukup gizi ataupun anak balita yang belum cukup gizi sehingga intervensi tepat sasaran.
”Kalau sudah tengkes sulit sembuh. Jadi, anak balita dijaga gizinya supaya tidak kurang dan tidak berlebihan,” kata Budi.
Salah satu yang paling sulit dalam intervensi tengkes adalah memastikan gizi tersalurkan kepada anak balita. Budi pun berharap partisipasi warga dalam gerakan anak sehat supaya jadi modal sosial dalam memastikan anak balita rawan gizi mendapatkan asupan yang cukup.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono setelah rapat membahas upaya pengentasan anak balita dari tengkes di Balai Kota, Jakarta Pusat, Rabu (1/2/2023).
Kolaborasi
Tantangan mengatasi tengkes di Jakarta, menurut Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Jakarta, antara lain, ialah karakteristik kota yang heterogen. Dalam karakteristik kota yang demikian, komitmen dan kolaborasi menjadi penting, yakni melibatkan semua unsur kesehatan dan non-kesehatan termasuk swasta.
Sementara bagi kelompok rentan, seperti kelompok sosial ekonomi ke bawah, ada tambahan kondisi lingkungan dan sanitasi. Asupan gizi akan percuma jika anak balita terkena infeksi penyakit imbas dari lingkungan yang kotor atau tidak layak.
Ketua Pengurus Daerah IAKMI Jakarta sekaligus Dosen Kesehatan Masyarakat, Narila Mutia Nasir, menyebutkan, prevalensi tengkes Jakarta sebesar 14,8 persen tergolong tinggi untuk kota dengan pelayanan kesehatan yang lebih memadai dibandingkan daerah lain. Akan tetapi, tengkes bukan hanya soal pelayanan kesehatan karena pemerintah daerah melaksanakan intervensi spesifik dan intervensi sensitif tengkes.
”Memang masih perlu upaya lebih kuat lagi untuk mengatasi tengkes. Salah satunya harus fokus pada upaya promotif dan preventif karena kalau sudah tengkes akan sulit untuk kembali normal,” kata Narila.
Dosen Kesehatan Masyarakat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini melihat intervensi sensitif sudah berkontribusi 70 persen untuk menurunkan tengkes, dan intervensi sensitif membutuhkan kerja sama lintas sektor. Bukan hanya spesifik dalam perbaikan gizi, tetapi hal di luar gizi juga perlu diperbaiki, misalnya, wilayah dengan tengkes paling banyak dan kelompok sosial ekonominya.
Narila mengatakan, peran warga sendiri tak bisa dikesampingkan. Warga harus diberdayakan agar berkomitmen kuat untuk bersama mengatasi tengkes. Hal ini berkaca dari masih ada warga yang menolak anaknya disebut berpotensi tengkes.
Penolakan tersebut justru menghambat intervensi tengkes. Tak pelak kesadaran warga juga penting dalam mengatasi tengkes.
”Jakarta sangat memahami hal itu sehingga punya komitmen kuat untuk mengatasi tengkes. Edukasi ke warga juga tidak boleh berhenti. Jauh lebih baik memantau tumbuh kembang sejak lahir agar bayi tidak tengkes,” kata Narila.