Perundungan Picu Anak Habisi Orang dengan Gangguan Jiwa di Lebak
Dari pendampingan awal diketahui dua anak mengalami perundungan sebelum putus sekolah. Perundungan ini menyisakan luka batin atau dendam yang meluap saat mereka membunuh orang dengan gangguan jiwa.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Perundungan atau bullying yang terjadi pada masa lalu jadi salah satu pemicu anak di bawah umur membunuh orang dengan gangguan jiwa di Kabupaten Lebak, Banten. Dua dari empat anak yang berstatus tersangka itu mengalami perundungan semasa sekolah oleh teman sebayanya hingga timbul luka batin atau dendam.
MA (15), AD (14), MI (16), dan HB (13) merupakan tersangka pembunuhan orang dengan gangguan jiwa di Kampung Bayah Tugu, Desa Bayah Barat, Kecamatan Bayah. AD dan HB berstatus pelajar, sedangkan MI dan MA sudah putus sekolah.
Mereka tega menghabisi orang dengan gangguan jiwa itu karena kesal. Apalagi korban pernah melempar batu yang mengenai punggung dan sepeda motor milik MA.
Sebagai anak berhadapan dengan hukum, keempatnya mendapatkan layanan dukungan psikososial dari Provinsi Banten dan pendampingan dari Komnas Perlindungan Anak Banten.
Ketua Komnas Perlindungan Anak Provinsi Banten Hendry Gunawan menuturkan, dari pendampingan awal, dua anak menceritakan perundungan yang dialami sebelum putus sekolah. Perundungan ini menyisakan luka batin atau dendam.
”Nama mereka dipelesetkan atau dibuat jelek. Jadi bahan tertawaan teman lainnya. Momen itu buat mereka terintimidasi dan dendam. Pelampiasannya ketika ada salah satu terganggu orang dengan gangguan jiwa,” ujar Hendry, Jumat (23/6/2023).
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak atau Unicef dalam laman resminya mengartikan, perundungan sebagai pola perilaku, bukan insiden yang terjadi sekali-kali. Anak-anak yang merundung biasanya berasal dari status sosial atau posisi kekuasaan yang lebih tinggi, seperti anak-anak yang lebih besar, lebih kuat, atau dianggap populer sehingga dapat menyalahgunakan posisinya.
Anak-anak yang paling rentan atau sering kali dirundung berasal dari masyarakat terpinggirkan, keluarga berpenghasilan rendah, anak-anak dengan penampilan atau ukuran tubuh yang berbeda, penyandang disabilitas, atau anak-anak migran dan pengungsi.
Perundungan dapat terjadi secara langsung atau daring. Kita dapat mengidentifikasi perundungan dalam tiga karakteristik. Disengaja (untuk menyakiti), terjadi secara berulang-ulang, dan ada perbedaan kekuasaan.
Perundung memang bermaksud menyebabkan rasa sakit kepada korbannya, baik menyakiti fisik atau kata-kata maupun perilaku yang menyakitkan, dan melakukannya berulang kali. Anak laki-laki lebih mungkin mengalami perundungan fisik, sedangkan anak perempuan lebih mungkin mengalami perundungan psikologis meskipun keduanya tentu cenderung saling berhubungan.
Pemicu lain
Keempat tersangka berbagi peran dari rencana hingga membunuh korban. Mereka beraksi pada Selasa hingga Jumat (6-9/6/2023). MA jadi penyusun rencana serta mengikat dan memukul korban dengan kayu.
AD menghantam korban dengan kayu dan batu, serta membakar wajah dan tangan. MI juga menghantam korban sebanyak dua kali dengan kayu, mengucurkan bensin, dan mengikatnya di pohon dekat pantai. Lalu HB turut serta menganiaya korban.
Hendry merujuk hasil pendampingan menyebut MI sebagai pemimpin kelompok karena usianya paling dewasa di antara mereka. Kemudian mereka saling kenal karena kerap membantu orangtua masing-masing yang bekerja sebagai nelayan.
Dari perkenalan tersebut, keempatnya sering kongko di rumah kerabat salah satu tersangka. Saat itu mereka kerap berbicara atau melakukan sesuatu di luar usia semestinya.
Yang salah orang gila. Bukan kami.
Menurut Hendry, ada kelemahan pola pengasuhan dari orangtua masing-masing anak berhadapan dengan hukum. Bahkan, selama pendampingan ada salah satu anak yang kukuh menyalahkan orang dengan gangguan jiwa.
”Yang salah orang gila. Bukan kami,” ujar Hendry menirukan perkataan salah satu anak. Anak-anak itu menyebut orang gila untuk orang dengan gangguan jiwa.
Komnas Perlindungan Anak Banten masih mendalami pemicu lain dari perbuatan sadis empat anak ini. Salah satunya penggunaan gawai. Akan tetapi, berdasarkan penggalian informasi diketahui anak-anak itu tak terlalu sering bermain gim, menonton, dan sebagainya dari gawainya.
Polres Lebak menahan MA, AD, dan MI karena sudah berusia minimal 14 tahun, sedangkan HB dikenai wajib lapor. Ketentuan itu merujuk sistem peradilan pidana anak.
Kepala Satuan Reskrim Polres Lebak Inspektur Satu Andi Kurniady Eka Setyabudi menyebutkan, pemberkasan berjalan sambil adanya pendampingan dan pemeriksaan psikologis. Atas kejahatan tersebut, keempatnya dijerat Pasal 170 Ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang melakukan kekerasan terhadap orang atau barang hingga meninggal dunia dengan hukuman 12 tahun penjara dan Pasal 351 Ayat 3 KUHP tentang penganiayaan hingga korban tewas dengan hukuman penjara maksimal 7 tahun.