Berlomba Berburu Takjil, Sinyal Positif Geliat Ekonomi Mikro
Sebagian warga Ibu Kota merayakan hari pertama berpuasa dengan berburu takjil di sudut-sudut kota. Hal ini menandai geliat ekonomi yang sempat lesu imbas pandemi Covid-19.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·4 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Transaksi warga membeli makanan untuk berbuka puasa di Bazar Pasar Takjil Benhil di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta, Kamis (23/3/2023). Pasar Takjil Benhil merupakan lapak pedagang makanan yang digelar setahun sekali di kawasan ini dan selalu ramai dikunjungi warga ataupun pekerja perkantoran sekitar kawasan tersebut. Aneka makanan untuk berbuka puasa ditawarkan para pedagang. Keberadaan pasar takjil ini menjadi salah satu tradisi urban di kawasan Ibu Kota setiap bulan puasa tiba.
JAKARTA, KOMPAS — Banyaknya pedagang makanan pada awal Ramadhan di sejumlah titik di Ibu Kota menjadi sinyal positif ekonomi mikro. Mulai menggeliatnya aktivitas ekonomi warga ini, antara lain, karena pembatasan kegiatan akibat pandemi telah ditiadakan. Momen ini pun dijadikan kesempatan warga untuk memperoleh penghasilan lebih baik bagi perekonomian keluarga.
Setelah sempat vakum karena pandemi Covid-19, pasar Ramadhan kembali meramaikan sudut-sudut Ibu Kota. Hal itu seperti terpantau di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Sejak pukul 13.30, sejumlah pedagang mulai membuka lapaknya di Balai Warga RW 001, Bendungan Hilir. Ada yang berjualan lauk-pauk, gorengan, jajanan pasar, dan es campur di bawah tenda-tenda yang telah disiapkan.
Meski panas terik, beberapa pelanggan mulai berburu takjil. Mereka pulang dengan menggenggam beberapa kantong plastik berisi makanan dan minuman.
Kondisi ini memberi harapan baru bagi para pedagang setelah tak berjualan pada 2020-2021. Tahun lalu, mereka mulai berdagang, tetapi situasinya tak seramai saat ini, seperti yang dikatakan pedagang lauk-pauk, Sri Nur Aini (57).
Sri mengatakan, jumlah pedagang yang berjualan pada tahun lalu tak seramai saat ini. Sri yang berdagang menu makanan rumah, seperti gudeg, rendang, dan opor ayam, mampu mengantongi pendapatan bersih hingga Rp 20 juta. Ia hanya mengeluarkan modal sekitar Rp 6 juta.
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
Pedagang makanan, Sri Nur Aini (57), menjajakan lauk-pauk dan sayur-mayur di Pasar Ramadhan, Bendungan Hilir, Jakarta, Kamis (23/3/2023).
Tahun ini, ia menjual sekitar 26 menu lauk-pauk dengan harga Rp 15.000 hingga Rp 40.000 per porsi. Dengan modal yang sama, Sri berkomitmen tak mengubah harga jual dan ukuran porsi makan dari tahun lalu.
”Untuk sekarang belum tahu (prediksi keuntungan) karena ada juga yang berjualan seperti saya. Kalau tahun lalu, cuma saya yang jualan ini,” ujar Sri sembari menanti konsumen, Kamis (23/3/2023).
Tahun ini, Sri memprediksi situasi lebih ramai, apalagi sekitar 50 pedagang lain juga membuka lapak di lokasi yang sama. Ia yakin langganan-langganannya juga akan membeli lauk-pauk yang dijualnya. Sebab, selama ini, Sri menjual menu serupa di kantin karyawan Plaza Semanggi.
Makin sore sekitar pukul 16.15, jalanan di sekitar Pasar Ramadhan Bendungan Hilir makin padat hingga macet sesekali. Kantong-kantong parkir dipenuhi sepeda motor dan mobil.
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
Ketua RW 001 Bendungan Hilir Prety Abas menjelaskan teknis pelaksanaan Pasar Ramadhan Bendungan Hilir, Jakarta, Kamis (23/3/2023).
Menurut Ketua RW 001 Bendungan Hilir Prety Abas, jumlah pedagang meningkat dari tahun lalu. Animonya tergolong tinggi lantaran kuota pedagang untuk berjualan terpenuhi dalam dua hari dari jangka waktu seminggu.
”Kebanyakan (pedagang) warga sini, tetapi ada sebagian orang luar juga. Sebab, kami (menerapkan) subsidi untuk warga sekitar (guna biaya sewa tempat),” kata Prety.
Berbeda dengan Pasar Ramadhan Bendungan Hilir, hanya terdapat beberapa pedagang di area Masjid Agung Sunda Kelapa sekitar pukul 15.30. Kondisinya lengang sebab hanya pedagang gorengan, es buah, dan pernak-pernik shalat.
Pengurus kuliner Masjid Agung Sunda Kelapa, Priyono (63), mengatakan, jumlah pengunjung masjid terus meningkat sejak tahun lalu. Mereka juga yang biasanya jadi konsumen utama para pedagang makanan di depan masjid.
Pengurus kuliner Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta, Priyono (63), membantu pedagang mengaduk adonan, Kamis (23/3/2023).
Namun, jumlah pedagang makanan, khususnya takjil, justru tak sebanyak pada 2022. Tahun ini baru sekitar 10 pedagang yang mendaftar untuk berdagang takjil. Padahal, tahun lalu setidaknya ada 16 pedagang yang membuka lapak di hari pertama berpuasa.
”Tetapi, untuk nanti malam, saya belum tahu kira-kira apakah bertambah pedagangnya. Saya belum bisa prediksi. Untuk pengunjung, justru naik,” kata Priyono.
Pada Rabu malam, jumlah pengunjung yang menunaikan shalat Tarawih pertama pada 2023 di Masjid Agung Sunda Kelapa mencapai 500 orang, tetapi tak diimbangi dengan jumlah pedagangnya. Priyono menduga, belum banyak pedagang yang mengetahui bahwa kini regulasi sudah mendukung untuk berjualan, imbas tidak ada lagi pembatasan kegiatan akibat pandemi Covid-19.
Geliat ekonomi
Hidupnya suasana pasar Ramadhan memberi sinyal positif geliat ekonomi mikro. Hal ini sekaligus menunjukkan kepercayaan diri masyarakat untuk beraktivitas sekaligus bertransaksi di tempat umum.
Menurut Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah, kegiatan masyarakat menandakan perputaran ekonomi kembali normal. Masyarakat tak lagi terbatasi mobilitas, tak lagi khawatir akan pandemi Covid-19.
”Ekonomi (penjualan) takjil ini memang dilihat (secara skala) kecil, tetapi ini refleksi perekonomian yang lebih besar, yaitu perekonomian nasional,” ujar Piter.
Antrean warga yang ramai membeli makanan untuk berbuka puasa di Bazar Pasar Takjil Benhil di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta, Kamis (23/3/2023). Pasar Takjil Benhil merupakan lapak pedagang makanan yang digelar setahun sekali di kawasan ini. Aneka makanan untuk berbuka puasa ditawarkan para pedagang.
Piter menambahkan, dagangan-dagangan para penjual ini berdampak signifikan bagi mereka. Sebab, berapa pun nilainya tetap berkontribusi dalam penciptaan nilai tumbuh perekonomian. Hal ini mendorong konsumsi, produksi, perputaran uang, dan nilai tambah yang besar.
Kepercayaan konsumen juga terbukti dari pernyataan Oca Mugi (27), warga asal Kemanggisan, yang berbelanja ke Bendungan Hilir untuk mencari gorengan dan jajanan pasar. Ia bersama sanak saudaranya menempuh jarak sekitar 5 kilometer demi membeli aneka makanan.
”Lebih dapat serunya ketemu orang banyak. Kalau (belanja) di supermarket, enggak dapat suasana tradisi puasanya,” ujar Oca.