Arti Bahagia bagi Warga Kampung Ibu Kota
Kebahagiaan warga di kampung-kampung Jakarta berupa semangat gotong royong, kebersamaan, dan kekeluargaan yang tak pernah hilang atau mengendur.
Warga di kampung-kampung Ibu Kota memiliki cara tersendiri untuk mengelola keterbatasan. Kebersamaan dengan keluarga, tetangga, hingga bantuan yang kerap datang tak terduga sudah cukup untuk membuat mereka bahagia.
Jumat (17/3/2023) sore, Sukira (60) duduk mengobrol bersama sejumlah tetangga di gang kecil Kampung Tanah Merah, wilayah RT 004 RW 009, Kelurahan Rawa Badak Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Perempuan paruh baya itu akhirnya ke luar dari rumah setelah hampir dua pekan mengurung diri di kamar.
”Saya sudah satu minggu sakit. Penyakit jantung dan gula saya kambuh,” kata warga asal Wonosobo, Jawa Tengah, itu.
Penyakit Sukira kambuh karena trauma saat terjadi ledakan Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara, 3 Maret 2023. Lokasi ledakan dengan rumah tempat tinggalnya sebenarnya cukup jauh, lebih dari 1 kilometer.
Baca juga: Laporan Tematik Kebahagiaan
Namun, dahsyatnya ledakan malam itu, menyusul lalu lalang ambulans membawa korban kebakaran, hingga kabar kematian korban yang tersebar, membuatnya waswas dan trauma. Apalagi, rumah tempatnya tinggal saat ini juga langsung berbatasan dengan depo Plumpang.
”Sampai sekarang, badan saya masih bergetar. Ada pengurus lingkungan sudah ke sini, minta mengungsi dulu. Namun, saya pilih di rumah saja. Saya lebih nyaman tidur di rumah sendiri,” kata perempuan yang memiliki delapan anak tersebut.
Sukira sudah tinggal di Kampung Tanah Merah lebih dari 30 tahun. Rumahnya yang berlantai dua memang tak luas dan berada di permukiman padat yang hanya bisa dilintasi sepeda motor.
Di tempat yang sempit dan kerap sulit ditembus mentari itu, Sukira selama bertahun-tahun berjuang seorang diri membesarkan delapan anaknya. Anak bungsu Sukira yang kini berusia 18 tahun bahkan sudah ditinggal ayahnya sejak masih di kandungan.
Baca juga: Menghargai Sesama, Bahagianya Orang Kota
Suami Sukira meninggal akibat kecelakaan kerja saat bekerja sebagai buruh pikul di Pelabuhan Tanjung Priok. Saat musibah itu merenggut nyawa suami, usia kandungan Sukira masih tiga bulan.
”Anak-anak terpaksa saya kirim ke kampung. Saya putuskan bekerja sebagai pekerja rumah tangga,” katanya.
Mengelola penderitaan
Sukira mengirim anak-anaknya ke kampung agar tidak terbebani biaya sewa kontrakan. Dia kemudian tinggal di rumah majikannya. Selama bekerja sebagai PRT, upah yang diperoleh setiap bulan, jumlahnya masih sangat kecil. Saat itu, jasanya sebagai PRT dihargai Rp 7.500 per bulan.
”Uangnya saat itu sebagian saya kirim ke ibu di kampung untuk kebutuhan anak-anak. Selebihnya saya sisihkan sebagai tabungan,” katanya.
Dari dulu, kebahagiaan saya itu, berjuang sampai di titik ini. Berjuang besarkan anak-anak dan masih bisa berkumpul dengan mereka, itu sudah lebih dari cukup.
Uang yang disisihkan setiap bulan itu, tanpa disadari, saat dibongkar, jumlahnya mencapai Rp 3 juta. Uang itu kemudian dia gunakan membeli sepetak lahan atau empang di Kampung Tanah Merah.
Di empang itu, Sukira membangun rumah petak yang luasnya sekitar 12 meter persegi. Setelah rumah tersebut terbangun, dia memboyong delapan anaknya dari kampung dan tinggal bersamanya.
”Kami tidurnya berdesak-desakan. Tempat tidur waktu itu, saya sampai bikin tingkat tiga supaya muat,” katanya.
Selama tinggal di rumah petak, Sukira kerap hanya makan sekali sehari demi memastikan anak-anaknya tak kelaparan. Penderitaan itu dia jalani bertahun-tahun hingga anak-anaknya tumbuh dewasa. Saat ini masih ada empat anak yang tinggal bersama Sukira. Sementara empat anaknya yang lain sudah berkeluarga dan tinggal mengontrak di tempat lain.
Sukira pada 2020 memutuskan berhenti bekerja sebagai PRT. Saban hari, dia banyak menghabiskan waktu di rumah, mengobrol bersama anak-anak atau bermain bersama cucu-cucu.
”Dari dulu, kebahagiaan saya itu, berjuang sampai di titik ini. Berjuang besarkan anak-anak dan masih bisa berkumpul dengan mereka, itu sudah lebih dari cukup,” kata perempuan yang kini memiliki 12 cucu itu.
Hal lain yang disyukuri Sukira adalah bantuan sosial dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang biasanya rutin diterima setiap bulan. Bantuan berupa beras, daging ayam, ikan, hingga telur itu biasanya disambut bahagia anggota keluarga atau jadi pesta kecil bagi keluarga bersama kerabat sekitar.
”Kami masaknya bareng tetangga. Patungan bumbu, masak, sampai makan bareng. Pokoknya, itu sudah seperti hajatan,” ujarnya.
Baca juga: Pembangunan yang Membahagiakan
Kampung Muara Baru
Di Kampung Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, kehidupan warga pun tak jauh berbeda. Di gang-gang sempit wilayah RW 017, aktivitas warga pada Sabtu (18/3/2023) beragam. Ada warga yang mengobrol, berdagang, mereparasi kendaraan bermotor, hingga merenovasi atau membangun rumah baru.
Di saat bersamaan, anak-anak bermain hingga berlari di gang-gang sempit wilayah yang berada di tepi Teluk Jakarta itu. Di rumah-rumah warga yang tanpa sekat itu, kerap ada dua, tiga, sampai empat orang tidur berdempet-dempetan. Kondisi kamar rumah sebagian warga pun minim pencahayaan meski mentari pada Sabtu siang sedang terik.
Wajah RW 017, Muara Baru, pun di tiap gang berbeda-beda. Ada gang yang bersih, ada pula gang yang becek, berbau tak sedap, hingga jadi arena bermain tikus lantaran buruknya saluran air di kawasan permukiman kumuh itu.
Nova Amelia (30), warga wilayah RT 001 RW 017, misalnya, pada Sabtu siang sedang menikmati sepiring nasi di beranda kontrakannya. Kondisi depan kontrakan itu dilintasi saluran air yang tak tertutup dan berwarna hitam keputihan. Dia melahap nasi dengan lauk orek tempe dan tumisan buncis tanpa memedulikan kondisi sekitar.
”Sudah biasa kita. Awal-awal tinggal di sini memang agak susah. Tetapi lama-lama juga biasa,” kata warga asal Makassar, Sulawesi Selatan, itu.
Baca juga: Yang Senior, Yang Bahagia
Perempuan yang bekerja di salah satu pabrik udang, di wilayah Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman, Penjaringan, Jakarta Utara, itu sudah tinggal di Muara Baru sejak sepuluh tahun atau setelah menikah. Muara Baru dipilih sebagai tempat bermukim lantaran biaya sewa kontrakan tiap bulan dinilai lebih murah, yakni Rp 1,2 juta per bulan.
Rumah kontrakan itu pun tak hanya ditinggali Nova Amelia, suami, dan satu anaknya. Di rumahnya ada empat anggota keluarga atau sepupu dari kampung yang masih tinggal menumpang di rumah perempuan lulusan sekolah dasar tersebut.
Nova pun tak punya alasan lain dirinya nyaman tinggal di sana. Kondisi permukiman yang padat, aktivitas warga yang saling berdekatan, berhasil membangun ikatan kekeluargaan yang cukup dekat dan kuat. Mereka sering berbagi, saling membantu, dan jadi teman berkeluh kesah.
”Kalau libur begini, jarang cari hiburan. Di rumah saja, masak-masak. Terus ajak keluarga atau tetangga di sini makan sambil cerita banyak hal. Itu sudah bikin senang,” ujarnya.
Gotong royong
Koordinator Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) Jakarta, Minawati, dihubungi terpisah, mengatakan, kebahagiaan warga di kampung-kampung Jakarta berupa semangat gotong royong, kebersamaan, dan kekeluargaan yang tak pernah hilang atau mengendur. Kehidupan di lingkungan yang padat membuat warga satu dengan yang lain saling mengenal baik karena kehidupan tanpa sekat atau pembatas.
Baca juga: Menemukan Kebahagiaan dalam Batin
”Warga juga bertahun-tahun tinggal di situ, melahirkan anak, hingga cucu. Jadi, mereka nyaman tinggal di situ, rasa kekeluargaan, kebersamaan itu ada di situ,” kata Minawati.
Warga kampung-kampung padat di Jakarta justru bakal terusik rasa nyaman atau kebahagiaan mereka jika tempat yang mereka huni selama bertahun-tahun digusur. Penggusuran dan relokasi ke tempat lain atau rumah susun tak hanya mengubah kebiasaan warga, tetapi turut merusak jalinan kebersamaan yang telah lama terbentuk.
Upaya yang perlu dilakukan pemerintah tanpa mengusik kebahagiaan warga di kampung-kampung Jakarta yakni penataan kampung. Penataan itu bisa dilakukan dengan memperbaiki akses jalan ke gang-gang rumah warga hingga memperbaiki saluran air di kawasan permukiman.
”Selain itu, soal kepastian status soal tempat tinggal. Selama ini, warga waswas karena status tempat tinggal mereka masih belum jelas,” katanya.