”Pak Ogah” yang Dibenci dan Dicari
Kehadiran ”pak ogah” menyerap tenaga kerja dari sektor ”shadow economic”. Modalnya asal terorganisasi dan memiliki keberanian. Mereka ini punya budaya sendiri yang khas, bukan masuk sektor informal dan formal.
Dalam kurun sekitar dua pekan, Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat menangkap tiga ”pak ogah” yang memaksa meminta uang kepada pengendara. Tindakan yang mengarah para pemalakan itu pun meresahkan warga, pengendara, dan sejumlah pak ogah lainnya.
Lalu lintas kendaraan di Jalan Pesanggrahan, Meruya Utara, Kembangan, Jakarta Barat, pada siang itu kembali ramai setelah hujan deras dan angin kencang. Ilham (27) kembali turun ke salah satu putaran jalan itu. Tangan kanan diangkatnya sebagai tanda meminta pengendara mobil dan motor untuk memperlambat laju dan memberikan ruang kepada kendaraan lain yang ingin putar balik.
Ilham terus menempel kendaraan dan menatap pengendara mobil sembari mengoyangkan tangan kirinya yang mengenggam koin rupiah. Tidak semua kendaraan yang putar balik memberikan uang kecil kepada Ilham.
”Memang enggak semua kasih. Enggak masalah. Ya sudah, kendaraannya tetap jalan aja. Ngapain dipaksa. Kami bukan preman. Dikasih syukur meski cuma Rp 500,” ujar Ilham.
Baca juga: Memerdekakan Jakarta dari Jerat Kemacetan
Berprofesi sebagai pak ogah, Ilham bekerja sama dengan tiga temannya yang juga warga sekitar Pesanggrahan. Mereka bergantian menjaga jalur putaran kendaraan. Seperti kebanyakan pak ogah lainnya, mereka membuat kesepakatan saat ada pengendara yang memberikan uang atau bahkan tidak memberi.
”Lihat ada yang mau puter nih, kasih muka ramah biar dikasih uang. Kalau dikasih 500 perak, kasih muka asem dan serius. 1.000 perak kasih senyum, kalau 2.000 perak senyum dan terima kasih. Kalau enggak dikasih, liatin dan muka asem,” tutur Ilham tertawa yang sehari bisa mendapatkan pundi Rp 150.000 hingga mencapai Rp 350.000 bahkan lebih jika pada akhir pekan.
Ilham bersama teman-temannya sadar bahwa ada warga yang memandang rendah pekerjaan pak ogah. Namun, mereka melakukan pekerjaan itu bukan karena iseng, melainkan ada keluarga dan kebutuhan harian yang harus mereka penuhi.
Pundi rupiah dari pagi dan malam begitu berarti buat mereka agar tetap bertahan hidup. Oleh karena itu, mereka juga sadar jika berbuat tindak kriminal seperti pemalakan atau mengancam pengendara mengeluarkan uang lebih justru merugikan mereka. Bukan pundi rupiah, melainkan penjara yang mereka dapatkan.
”Kami enggak begitu. Lihat, emang saya maksa-maksa tadi. Kami tetap memberikan kendaraan yang memutar tetap jalan. Kami justru akan kehilangan pendapatan jika berbuat aneh. Yang rugi bukan kami saja, tapi keluarga juga. Kami juga tidak setuju jika ada yang sampai maksa dan malakin gitu. Enggak benar itu,” tuturnya.
Restu Deni (43), warga Pesanggrahan, menilai, keberadaan para pak ogah tidak bisa dipandang rendah dan remeh. Kehadiran mereka justru membuat kawasan di Meruya Utara aman.
”Jarang loh ada kasus pencurian, kekerasan, perkelahian warga atau tawuran. Di sini, kan, ada permukiman warga, perumahan, kafe resto, dan lainnya. Keberadaan mereka itu membantu jadi aman,” ujar Deni.
Lokasi lainnya di perempatan Jalan Jembatan Besi Raya, Tambora, kerap terjadi kemacetan akibat kendaraan yang tidak mau mengalah. Di saat kemacetan itu, warga justru sangat berharap pak ogah bisa mengurai dan memperlancar arus lalu lintas.
Itu pak ogah membantu banget karena bisa ngatur. Kalau enggak ada dia, kendaraan padat numpuk di tengah perempatan.
Tio Gunadi (36), warga Krendang, yang setiap hari melewati Jalan Jembatan Besi Raya, merasa kesal jika tidak ada pak ogah di perempatan jalan itu untuk memperlancar arus kendaraan.
”Itu, pak ogah, membantu banget karena bisa ngatur. Kalau enggak ada dia, kendaraan padat numpuk di tengah perempatan. Nah, jadi macet panjang. Saya malah senang ada pak ogah di situ. Sesekali kasih gopek-seceng (Rp 500-Rp 1.000) ke dia,” ujar Deni.
Berbeda dengan warga lainnya, Aryo Winarto (28) dan Fauzan (36), yang menganggap keberadaan pak ogah tidak memiliki fungsi dan peran apa pun di jalan raya. Menurut mereka, pak ogah kerap menganggu keyamanan dan kelancaran lalu lintas.
Seperti di Jalan Palmerah, pada Jumat (10/2/2023) pagi, kendaraan dari arah Semanggi/Cawang dan Jalan Tentara Pelajar/Jalan Nasional yang ingin belok menuju Jalan Palmerah Utara atau putar balik ke arah Jati Baru/Tanah Abang dan ke Jalan Gatot Subroto/Jalan Pejompongan Raya kerap macet.
Padahal di situ sudah terpasang tanda rambu dilarang belok dan putar balik, bahkan sudah terpasang barier. Namun, larangan itu tidak diindahkan oleh kendaraan dan pak ogah tetap memanfaatkan situasi tersebut.
Penangkapan
Belum lama ini, Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat menangkap pak ogah karena tindakan pemerasan atau pemalakan kepada pengendara. Lokasi pemalakan itu terjadi di simpang Jalan Kayu Besar, Cengkareng, dan di Jalan Daan Mogot, Kalideres.
Dari keluhan dan laporan korban serta sejumlah warga, Kepolisian Sektor Cengkareng menangkap dua pelaku berinisial S (33) dan I (31), beserta uang sebesar Rp 370.000.
”Kami tangkap dua pelaku. Masih ada dua yang kabur, masih kami cari. Peristiwa terjadi pada Rabu (25/1/2023). Mereka diduga kerap berpindah lokasi dan sering memaksa pengendara mengeluarkan uang,” kata Kepala Kepolisian Sektor Cengkareng Polres Metro Jakarta Barat Komisaris Ardhie Demastyo.
Dalam aksinya, mereka mengincar dan nekat menghentikan kendaraan bernomor polisi dari luar Jakarta. Pelaku juga tak segan mengancam pengendara. Rata-rata korbannya merupakan sopir truk yang dipaksa menyerahkan uang sebesar Rp 100.000-Rp 200.000. Hasil dari pemalakan itu diduga digunakan untuk membeli narkoba karena dari hasil pemeriksaan urine, kedua pelaku positif memakai barang haram itu.
Lokasi penangkapan pak ogah lainnya berada di Jalan Daan Mogot pada Senin (6/2/2023). Pelaku BS (42) bahkan memaksa meminta uang kepada pengendara sepeda motor yang sedang berhenti di tepi jalan untuk beristirahat.
”Pelaku seorang tunawisma. Dia melakukan itu karena terpaksa untuk makan. Dikasih uang kecil, tapi menolak dan meminta lebih banyak,” ujar Kepala Polsek Kalideres Ajun Komisaris Syafri Wasdar.
Potret urban
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Agus Suryana, mengatakan, pak ogah merupakan kelompok shadow economic atau ekonomi bayangan dari sektor formal dan informal. Salah satu faktor munculnya pak ogah bisa jadi karena mereka tidak terserap di sektor formal dan informal.
Di sektor formal, mereka kalah bersaing, minim keterampilan, dan jenjang pendidikan rendah. Sementara di sektor informal, seperti berdagang, mereka tidak memiliki tekad kuat dan modal. Hal ini membuat peyerapan tenaga kerja dari sektor ekonomi bayangan muncul dan menjadi pilihan bagi kaum yang tersisih secara sosial seperti pak ogah.
Mereka ini kaum subkultur atau punya budaya sendiri yang khas sehingga tidak mau ke sektor informal dan formal.
Profesi pak ogah ini lintas generasi dari kaum tua dan muda. Banyak munculnya kalangan pemuda menjadi potret fenomena urban di kota besar Jabodetabek. Selain karena tidak terserap di sektor formal dan informal, mereka juga korban dari penggusuran pembangunan dan kedatangan pendatang.
Selain itu, munculnya kaum shadow economic karena dampak dari tidak tercapainya pemenuhan hak pendidikan, orangtua yang bekerja serabutan, hingga tidak ada organisasi mapan di sekitar lingkungan mereka untuk merangkul dan memberdayakan anak-anak muda.
”Kehadiran pak ogah ini seperti penyerap tenaga kerja dari sektor shadow economic. Modalnya hanya asal mereka terorganisasi dan memiliki keberanian. Mereka ini kaum subkultur atau punya budaya sendiri yang khas sehingga tidak mau ke sektor informal dan formal,” kata Asep.
Kendati masuk dalam shadow economic, pak ogah yang terorganisasi akan berpikir panjang untuk tindak melakukan tindak kriminal seperti pemalakan. Profesi pak ogah seperti mewawarkan jasa, di putaran balik atau di persimpangan itu mereka mendapatkan pemasukan. Tindak kriminal malah akan mematikan pendapatan mereka.
Menurut Asep, pak ogah yang bertindak kriminal bukan bagian dari shadow economic. Mereka tidak melihat jalan putar balik dan persimpangan merupakan aset yang harus dijaga dan tidak berpikir panjang bahwa profesi pak ogah itu merupakan bisnis jasa.
Baca juga: Perangkap Maut di Jalanan Kota Kita
”Pak ogah ada yang individual dan terorganisasi. Kelompok terorganisasi oleh kalangan pemuda asli setempat yang sedang berkumpul, lalu melihat peluang itu. Kelompok terorganisasi lainnya melalui organisasi masyarakat. Pak ogah harus power full karena nanti bisa diambil orang lain. Ada persaingan. Oleh karena itu, mereka biasanya berkelompok,” ujarnya.
Di banyak jalan perempatan atau tempat putar balik, keberadaan pak ogah seperti dibenci karena membuat pengendara harus mengeluarkan uang kecil sebagai tanda jasa. Namun, sisi lainnya ternyata pak ogah membantu mengurai kemacetan, kehadiran mereka dicari. Susahnya berprofesi menjadi pak ogah, mereka dicari tetapi juga dibenci.