Pemerintah Kaji Tarif KRL bagi Kelompok Masyarakat Mampu
Alih-alih menaikkan tarif KRL, pemerintah pusat akan mengkaji pembedaan tarif berdasarkan golongan ekonomi masyarakat.
Oleh
ERIKA KURNIA, Axel Joshua Halomoan Raja Harianja
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tarif kereta rel listrik yang dikelola PT Kereta Commuter Indonesia, khususnya di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi atau Jabodetabek, dipastikan tidak akan naik tahun depan. Namun, Kementerian Perhubungan memikirkan cara lain untuk menyesuaikan tarif angkutan massal ini.
”Sejauh ini masih pakai tarif PSO (public service obligation/tarif penugasan),” kata Manager External Relations & Corporate Image Care Kereta Commuter Indonesia (KCI) Leza Arlan saat dihubungi pada Rabu (28/12/2022).
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menepis wacana yang sudah digaungkan sejak awal tahun ini. Ia memastikan, ongkos kereta rel listrik atau KRL tidak akan naik sampai 2023. Sebagai gantinya, mereka akan mengkaji kebijakan penyesuaian tarif sesuai dengan sasaran subsidi.
”Dalam diskusi kemarin dengan Pak Presiden, kita akan pilah-pilah. Mereka yang berhaklah yang mendapatkan subsidi. Jadi, mereka yang tidak berhak harus membayar lebih besar, dengan membuat kartu,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (27/12).
Budi mengatakan, tarif asli KRL bernilai sekitar Rp 10.000 sampai Rp 15.000 sekali perjalanan. Selama ini, pemerintah pusat mengalokasikan subsidi kepada KRL.
Dengan subsidi, pengguna KRL di Jabodetabek hanya perlu membayar Rp 3.000 untuk 25 kilometer pertama dan Rp 1.000 untuk setiap 10 kilometer berikutnya. Kebijakan tarif itu sudah berlaku sekurangnya 5 tahun terakhir.
Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan M Risal Wasal menambahkan, mereka akan memanfaatkan data yang dimiliki pemerintah daerah untuk memetakan berapa banyak pengguna yang mampu dan harus membayar tarif KRL sesuai dengan harga asli.
”Secepatnya (urus) masalah sistem, kartu dan pembayarannya. Kita pakai data dari pemda. Kami harapkan enggak ada yang ribet, deh,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Masyarakat Transportasi Indonesia Deddy Herlambang menilai, rencana kebijakan pembedaan tarif tersebut menyulitkan. Baginya, tidak ada keadilan dalam pembedaan tarif tersebut. ”Namanya tarif angkutan publik harus sama, di mana pun,” katanya yang dihubungi terpisah.
Setuju dinaikkan
Ia justru setuju jika tarif KRL di Jabodetabek dinaikkan. Tidak hanya karena tarif KRL belum diubah sejak 2016, upah minimum provinsi (UMP) penduduk di Jabodetabek di atas Rp 4 juta per bulan dinilai layak membayar lebih layanan KRL yang infrastruktur, serta sarana dan prasaranya semakin membaik.
”Mengapa harus dipolitisasi? Kita bandingkan tarif KRL Jogja-Solo dengan UMP di bawah Rp 2 juta mampu bayar Rp 8.000 per perjalanan, jauh lebih mahal dari Jabodetabek, padahal operatornya sama,” ujarnya.
Berdasarkan berbagai kajian mengenai kemampuan membayar (ability to pay/ATP) dan kesediaan membayar (willingness to pay/WTP) pengguna terhadap tarif KRL Jabodetabek, yang dilakukan beberapa lembaga, pengguna tidak keberatan dengan kenaikan tarif.
Survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada Oktober 2021 terhadap 2.000 responden di Jabodetabek dan Rangkasbitung, misalnya, menemukan bahwa ada ruang bagi pemerintah untuk menaikkan tarif KRL menjadi Rp 5.000 pada 25 kilometer pertama.
Sedangkan untuk tarif 10 kilometer pertama direkomendasikan agar tidak naik tarifnya (Kompas.com, 17/1/2022). ”Karena, aspek ATP lebih rendah daripada tarif eksisting,” kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam keterangannya.
Deddy pun setuju jika kenaikan tarif sekitar Rp 2.000. Kenaikan harga tersebut, menurut dia, tidak akan membuat masyarakat Jabodetabek beralih menggunakan kendaraan pribadi yang belum tentu senyaman menggunakan transportasi massal.
Alih-alih membedakan tarif pada yang berhak dan tidak berhak mendapatkan subsidi, pemerintah pusat atau daerah bisa mulai memikirkan subsidi ongkos transportasi melalui mekanisme bantuan langsung.
”Misalnya, buat Kartu Jakarta Transportasi untuk benar-benar membantu mereka yang tidak mampu. Daripada membagi antara orang yang mampu dan enggak mampu. Itu aneh, menurut saya,” ucapnya.