Selain sebagai tempat berlindung, pos pengungsian juga menjadi sumber mereka untuk mengakses bantuan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
CIANJUR, KOMPAS — Warga korban gempa Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, masih mengandalkan pos pengungsian di hari ketujuh pascagempa berkekuatan M 5,6. Selain sebagai tempat berlindung, pos pengungsian juga menjadi sumber mereka untuk mengakses bantuan.
Tenda-tenda darurat pos pengungsian masih terlihat di sepanjang Jalan Raya Cipanas-Cianjur, Desa Ciputri, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Tenda tidak hanya diisi satu dua keluarga. Sejumlah tenda besar dengan luas sekitar 100 meter persegi bisa diisi 10 hingga 15 keluarga.
Aem Muhaimin (41), warga RW 001 Desa Ciputri, mensyukuri keberadaannya di posko itu karena bantuan yang lebih mudah didapat. Sebelumnya, di hari sesudah kejadian gempa, keluarganya dan puluhan warga yang tinggal di sekitar perkebunan sayur hanya mendirikan tempat berlindung seadanya di lahan perkebunan.
”Habis kejadian, Senin malam pada ngungsi di sini. Tadinya di kebun-kebun, di sana bikin tenda darurat dari plastik. Pas ada bantuan, pindah ke mari,” ucap Aem saat ditemui, Minggu (27/11/2022).
Enggak ada, kan, saudara di Cianjur yang bisa ditumpangin. Sama aja (kondisinya). Jadi, enggak bisa ke mana-mana. Sudah ajadiem di sini.
Lokasi pengungsian di pinggir jalan memang strategis. Bantuan masih terus berdatangan setiap hari dari relawan atau warga yang membawa bantuan melalui Jalan Cipanas-Cianjur. Bantuan datang dalam bentuk kebutuhan makanan, air minum, pakaian, alas tidur, dan obat-obatan. Semua itu dibutuhkan di tengah keterbatasan uang, fisik, dan mental setelah bencana.
Pos pengungsian itu menjadi tempat berlindung yang aman meski banyak kekurangan. Lahan yang mereka pakai awalnya padang rumput ilalang yang harus dibabat. Tanah yang mudah berlumpur saat hujan hingga ular jadi pengganggu.
Untuk listrik, para pengungsi cukup beruntung ada warga yang tidak terdampak parah mau mengalirkan listrik ke pengungsian. Adapun untuk air mandi, cuci, kakus, warga harus menyambung saluran air mengalir di antara perkebunan menggunakan selang.
Aem tidak punya pilihan lain karena rumahnya sudah hancur lebur. Kerabat terdekat pun tidak ada yang bisa membawanya keluarganya keluar dari pengungsian. Ia memilih bertahan di sana sampai mendapatkan kejelasan dari pemerintah mengenai pembangunan tempat tinggal untuk keluarganya.
”Selain di sini, mau ke mana lagi? Rumah enggak layak tinggal,” ucapnya.
Setali tiga uang dengan warga desa yang sama, Aliyah (60). Kondisi pengungsian kini memang jauh dari layak. Namun, tidak ada pilihan lain selain tinggal di sana sampai ada kejelasan untuk relokasi ke tempat yang lebih layak huni.
”Enggak ada, kan, saudara di Cianjur yang bisa ditumpangin. Sama aja (kondisinya). Jadi, enggak bisa ke mana-mana. Sudah ajadiem di sini,” ujarnya.
Sebagian kecil penyintas gempa di daerah Ciputri ada juga yang memilih keluar dari pengungsian. Seperti keluarga Nurhayati yang menumpang di rumah orangtuanya di Cipanas. Ini karena suami dan anaknya sakit dan khawatir kondisi mereka semakin memburuk jika tetap mengungsi.
Bagaimana pun, mereka hanya tinggal di rumah kerabat di malam hari. Setiap siang, mereka masih kembali ke pengungsian. ”Siang ke posko, malam pulang ke rumah. Ke posko untuk ambil bantuan kebutuhan pokok sambil sesekali nengok rumah ambil barang-barang,” tuturnya.
Di lain lokasi, warga RW 001 Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang, seperti Evi, juga masih kembali ke posko bantuan atau pengungsian kendati ia memilih tinggal di rumah saudaranya di pusat kabupaten.
”Tinggal di rumah saudara masih susah. Untuk konsumsi, kita minta bantuan. Kalau mau apa-apa, masing-masing warga minta ke sini,” ucapnya.
Evi dan warga lain sebenarnya disediakan tempat mengungsi di beberapa lokasi. Namun, lokasinya cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Hal ini karena Cijedil paling terdampak gempa pada Senin (21/11).
Jika ada yang tidak ingin tinggal di posko, kata dia, warga harus melapor ke RT atau RW agar tercatat dan terpantau. ”Harus ada laporan ke Pak RT supaya warga tercatat, apa ada yang hilang atau pindah. Jadi, dipantau terus, apalagi di sini banyak korban jiwa, takut dikira hilang ternyata masih selamat,” katanya.
Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan baru-baru dari Kecamatan Cugenang, jumlah pengungsi di kecamatan itu sebanyak 48.407 orang. Dari data keseluruhan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Minggu (27/11) sampai pukul 17.00, tercatat ada 73.693 pengungsi yang tersebar di 151 desa dan 16 kecamatan.