Cepat Respons, Tuntas Kemudian
Kanal pelaporan masyarakat Jakarta berbasis digital dalam sistem Cepat Respons Masyarakat kini semakin efektif dan cepat. Namun, apakah kemajuan sistem membuat masyarakat puas pada pelayanan birokrat sejauh ini?
Warga Jakarta cukup beruntung karena bisa dengan mudah mengadukan setiap masalah publik yang mereka temui sehari-hari. Sejak beberapa tahun terakhir, Jakarta memiliki sistem Citizen Relation Management atau diberi nama lain Cepat Respons Masyarakat (CRM).
Sistem ini dikembangkan Badan Layanan Umum Daerah Jakarta Smart City (JSC), yang sejak 2014 hadir untuk mengoptimalkan pemanfaatan teknologi demi memaksimalkan pelayanan publik di Jakarta. CRM melayani permintaan atau pengaduan layanan melalui 13 kanal resmi, baik tatap muka maupun dalam jaringan.
Kanal di sistem tersebut ialah aplikasi Qlue, media sosial Twitter @DKIJakarta, Facebook Pemprov DKI Jakarta, surat elektronik [email protected], Balai Warga Jakarta.go.id. Lalu, SMS Lapor 1708, SMS 08111272206, Kantor Kelurahan, Kantor Kecamatan, Surat Gubernur, Pendopo Balai Kota, Kantor Inspektorat, dan aplikasi Jakarta Kini atau Jaki.
Wiga (44), warga Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, pernah mencoba mengadukan keluhannya melalui sistem itu. Berawal pada Juli 2022 silam, ketika ia menemukan tetangganya membangun kolam ikan dan penampungan limbah rumah tangga yang berbatasan langsung dengan tembok rumahnya.
Baca juga: Masif di Jakarta, Kurang di Kota-Kota Tetangga
Belakangan, kami baru paham bahwa penanangan pengaduan di Jaki ternyata bermuara di kelurahan. Jadi, kalau penanganan pengaduan di kelurahan buntu, tak ada lagi opsi yang bisa ditempuh warga. (Wiga)
Ia mencoba memprotes tetangganya dan mengadukan masalah tersebut ke ketua RT. Sayangnya, dua pihak itu tidak menunjukkan iktikad serius untuk menyelesaikan masalah. Sementara itu, Wiga harus terus mencium aroma tidak sedap di dalam rumah yang ia tinggali sejak kecil, termasuk di air tanah yang ia dan keluarganya pakai.
Masalah itu pun ia coba laporkan ke lurah tempatnya tinggal. Namun, upaya itu kembali alot. Ia lalu membuat laporan melalui kanal JakLapor yang ada aplikasi Jaki pada Agustus.
”Singkat cerita, laporan itu memang direspons di Jaki. Hanya saja, yang membuat saya bingung, laporan tersebut telah mendapatkan status selesai, telah dilakukan mediasi dan lurah mengirimkan surat imbauan untuk menyedot air limbah secara periodik,” tuturnya di Jakarta, Rabu (12/10/2022).
Bukti penyelesaian itu nyatanya tidak melibatkan dirinya sebagai pelapor. ”Belakangan, kami baru paham bahwa penanangan pengaduan di Jaki ternyata bermuara di kelurahan. Jadi, kalau penanganan pengaduan di kelurahan buntu, tak ada lagi opsi yang bisa ditempuh warga,” sambung dia.
Baca juga: Mengurai Kebutuhan Perumahan Warga Ibu Kota
Dalam prosesnya, berbagai mediasi dilakukan dan ada pengerjaan perbaikan dengan bantuan pekerja dinas terkait. Hal itu juga sudah diketahui camat setempat. Namun, keluarga Wiga yang terdampak juga tidak dilibatkan. Hingga saat ini, mereka belum mendapat kejelasan penyelesaian sumber masalah itu.
”Dalam bentuk dan kasus yang berbeda-beda, boleh jadi tak sedikit warga lain yang kesulitan mengakses saluran pengaduan masalahnya kepada aparat pemerintah daerah. Sulit dibayangkan, warga yang tinggal di tengah kota modern, seperti Jakarta saja, masih harus menghadapi masalah seperti ini,” ujarnya.
Warga seperti Herman (33) juga pernah menggunakan kanal aduan JakLapor saat menemukan trotoar rusak di Jalan Raya Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Laporan itu ia kirim pada sore hari saat sedang menunggu angkutan sepulang kerja. Dalam waktu kurang sehari, trotoar yang rusak sudah diperbaiki.
”Laporan saya segera ditindaklanjuti Sudin Bina Marga dan petugas mulai memperbaiki pada keesokan paginya. Siang harinya, laporan itu selesai dikerjakan. Semua proses itu saya bisa pantau melalui aplikasi dan saya cek sendiri di lapangan,” kata karyawan swasta itu.
Baca juga: Pekerjaan Rumah Menyelesaikan Banjir Jakarta
Setelah tinggal sembilan tahun di Jakarta, Herman mengaku baru pertama membuat laporan semacam itu. Platform digital seperti Jaki ia pakai setelah membaca pengalaman orang lain di media sosial. Ia mengaku sistem pelaporan itu sangat transparan. Setiap tahapan penindakan dapat dipantau melalui genggaman tangan.
Data yang dihimpun JSC pada 2021 menunjukkan, jumlah laporan masyarakat yang masuk melalui semua kanal CRM mencapai 125.646 laporan. Angka itu masih jauh lebih sedikit daripada jumlah laporan pada 2017 yang mencapai 233.910 laporan. Meski jumlah laporan semakin menurun, persentase laporan yang berhasil diselesaikan semakin meningkat dari hanya 93,62 persen pada 2017 menjadi 99,37 persen pada 2021.
Sejak 2017 hingga 2022, laporan yang sering dibuat masyarakat antara lain terkait sampah, jalan, parkir liar, pelanggaran peraturan daerah atau peraturan gubernur, gangguan ketenteraman dan ketertiban, serta jembatan penyeberangan orang. Kemudian, pohon, saluran air atau sungai, arus lalu lintas, dan lokasi binaan dan lokasi sementara.
Pengembangan sistem
Kepala JSC Yudhistira Nugraha, saat ditemui di Balai Kota, Jakarta, Senin (10/10/2022), mengatakan, CRM mengutamakan inklusivitas dan efektivitas. Sistem ini menyediakan kanal pengaduan luar jaringan dan dalam jaringan untuk tetap menjangkau lapisan masyarakat.
”CRM itu bridging platform komunikasi antara warga dan pemerintah. Saat ini, 90 persen (laporan) masuk lewat media sosial dan aplikasi karena hanya butuh 3-4 menit, bisa tracking, dan sebagainya. Jarang orang melapor ke kelurahan, kecamatan, itu sekarang persentasinya cuma di atas 1 persen,” kata Yudhistira.
Baca juga: Seret Air Bersih di Kawasan Resapan Air
Kalau melihat catatan lembaga lain, masih ada pekerjaan rumah bagi DKI Jakarta beberapa tahun terakhir soal reformasi birokrasi. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi penjabat DKI Jakarta atau gubernur setelah 2024 nantinya. (Herman N Suparman)
Adapun aplikasi Jaki yang baru muncul pada 2019 kini semakin banyak digunakan. Sepanjang 2022 sampai 7 Oktober, sebanyak 94,7 persen aduan masyarakat dilaporkan melalui aplikasi terintegrasi tersebut. Angka ini bertumbuh dari hanya 80 persen dari total laporan yang dibuat warga pada 2021.
Kanal pelaporan di aplikasi Jaki, menurut Yudhistira, berbeda dengan aplikasi pendahulunya yang dikenal sebagai Qlue. Aplikasi yang dibuat dan dipakai Jakarta sejak 2014 itu mengarahkan sistem pengaduan masyarakat untuk menyesuaikan teknologi yang dibuat.
Sebaliknya, Jaki dibentuk sesuai kebutuhan interaksi pemerintah dan masyarakat. Melalui Jaki, masyarakat bisa membuat laporan berbasis foto, keterangan, dan lokasi dengan jaminan perlindungan identitas pelapor. Laporan yang masuk ke kelurahan akan diteruskan ke organisasi penyelenggara daerah (OPD) terkait untuk ditindaklanjuti.
Tindak lanjut laporan terverifikasi memiliki batas waktu pengerjaan tertentu. Jika laporan sudah dikerjakan, Biro Tata Pemerintahan Sekretaris Daerah DKI Jakarta akan mengecek hasilnya melalui pembandingan data sebelum dinyatakan selesai. Jika selesai, masyarakat pun masih bisa memberi peringkat penilaian pada hasil penanganan laporan sebagai evaluasi.
”Jadi, CRM sudah dibangun end-to-end, dari segi teknologi, proses, orangnya. Dari segi teknologi, kita kembangkan platform. Dari segi orang kita edukasi warga dan petugas. Di segi proses, ini dikuatkan dengan peraturan gubernur dan instruksi sekda agar masuk dalam perjanjian kinerja pemerintah,” ujarnya.
Disinsentif
Pada September 2017, Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat meneken Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 128 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Penanganan Pengaduan Masyarakat Melalui Aplikasi Citizen Relation Management.
Kebijakan ini membuat pemerintah tidak bisa sembarangan mengabaikan laporan masyarakat. Usaha tindak lanjut dan waktu penyelesaian pengaduan oleh pemerintah yang buruk pada sistem CRM bisa memengaruhi penilaian dan tunjangan kinerja mereka.
Nurul Huda, Lurah Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, mengatakan, saat ini mereka harus lebih cepat menyelesaikan laporan pengaduan. Laporan yang masuk melalui platform digital, seperti Jaki, pun membuat pemantauan bisa dilakukan kapan dan di mana saja.
”Pas zaman Qlue harus cepat. Sekarang harus lebih cepat lagi, kan, ada punishment juga. Kita cepat-cepat. Jadi, kadang saya baru naik ranjang, baru mau tidur, ting! Tiba-tiba ada notifikasi laporan, langsung koordinasi. Kalau soal sampah, pohon tumbang, harus langsung dikerjain hari itu juga,” tuturnya.
Berlakunya pengurangan tunjangan sebagai hukuman dari rendahnya pelayanan pengaduan masyarakat berlaku sejak Oktober 2018. Menurut data JSC, aturan itu membuat rata-rata waktu penyelesaian laporan lebih singkat dibandingkan sebelumnya.
Baca juga : Tugas Penjabat Gubernur DKI
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Herman N Suparman mengapresiasi transformasi layanan pengaduan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Menurutnya, Jakarta sudah cukup agresif menggunakan platform digital dalam memberikan pelayanan publik maupun tata kelola pemerintahan.
Meski demikian, menurut dia, para OPD tidak boleh hanya mengacu kepada kecepatan, melainkan kualitas layanan. Untuk itu, kualitas para birokrat pun perlu terjamin guna meningkatkan kepercayaan masyarakat dan memaksimalkan kualitas layanan dengan teknologi yang sudah baik.
Berdasarkan Survei Evaluasi Layanan Pengaduan Pemprov DKI Jakarta 2019 oleh Dinas Komunikasi dan Informatika DKI Jakarta, tingkat kepuasan masyarakat berada dalam kategori baik dengan indeks 3,09 dari skala 4.
Survei itu dilakukan terhadap 420 responden yang merupakan warga ber-KTP Jakarta. Masyarakat mengaku lebih puas karena mereka tidak dikenai biaya saat melapor (skor 3,22). Sementara itu, kepuasan masyarakat lebih rendah atau hanya berkategori cukup pada indikator perilaku petugas (3,04) dan persyaratan (2,96).
”Kalau melihat catatan lembaga lain, masih ada pekerjaan rumah bagi DKI Jakarta beberapa tahun terakhir soal reformasi birokrasi. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi penjabat DKI Jakarta atau gubernur setelah 2024 nantinya,” katanya.
Arah pengembangan sistem CRM di Jakarta memang terlihat sudah membentuk budaya para birokrat yang dahulu dikenal lamban. Namun, tidak hanya berpatokan pada kecepatan, para pelayan publik juga harus mengedepankan penuntasan tugas yang berbasis kualitas. Sebuah pesan tegas kepada penjabat gubernur DKI yang segera bertugas 17 Oktober nanti.