Macan Kertas Pengendalian Polusi Udara
Kebijakan pengendalian polusi udara masih sebatas tegas di atas kertas. Warga menanti aksi nyata pemerintah karena sudah saatnya lepas dari cengkeraman partikulat jahat.
Jakarta dan sekitarnya masih dalam cengkeraman partikulat jahat meski hampir setahun kemenangan warga dalam gugatan polusi udara. Gugatan oleh 32 warga yang tergabung dalam Koalisi Ibu Kota itu belum berbuah perubahan kebijakan yang signifikan dalam mendorong terciptanya udara bersih.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (16/9/2022), memutuskan bahwa Presiden, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, serta Gubernur Jawa Barat bertanggung jawab atas pencemaran udara di Ibu Kota.
Para pejabat tersebut diminta memperbaiki kualitas udara untuk melindungi kesehatan warga. Juga mengetatkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri memilih banding terhadap putusan pengadilan. Sementara Gubernur DKI Jakarta tidak memilih banding, tetapi belum maksimal dalam upaya menekan polusi udara.
”Aksi nyata pemerintah harus lebih kelihatan. Alat pantau polusi masih kurang, pemantau swasta seperti Air Visual dan Nafas Indonesia, ditanggapi dengan bantahan bahwa alat dan metode berbeda,” tutur juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, seusai diskusi tentang gugatan polusi udara oleh warga, Kamis (15/9/2022).
Idealnya, Jakarta punya 25 stasiun pemantau kualitas udara.
Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat ada delapan stasiun pemantau kualitas udara. Tiga stasiun bergerak dan lima stasiun permanen di Bundaran Hotel Indonesia, Kelapa Gading, Jagakarsa, Lubang Buaya, dan Kebon Jeruk.
Bondan menyebutkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, satu stasiun bisa memantau hingga radius 5 kilometer atau 78,5 kilometer persegi (km2). Delapan alat bisa menjangkau 628 km2 atau tak lebih luas dari total luas DKI yang mencapai 661,5 km2. Artinya, jumlah alat pemantau yang ada belum ideal.
Di sisi lain belum ada peringatan terhadap warga saat kualitas udara tidak sehat dalam laman atau aplikasi pemantauan. Akibatnya, minim kesadaran terhadap kualitas udara dan warga tidak tahu harus berbuat apa ketika kualitas udara tidak sehat.
”Sistem ada, tetapi kenapa tidak optimalkan. Kalau mau serius, ketika satu hari tidak sehat ada langkah nyata apa yang dilakukan,” kata Bondan.
Baca juga:
- Presiden hingga Gubernur Bersalah atas Polusi Udara di Jakarta
- Pekerjaan Rumah Mengiringi Berkurangnya Hari Tidak Sehat di Jakarta
Sama halnya dengan keterbukaan informasi kebijakan yang tengah berjalan. Belum ada pelibatan warga secara aktif, data yang ada belum komprehensif, dan minim sanksi sehingga ada efek jera.
Contohnya uji emisi dan penegakan hukumnya melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor. Menurut Bondan, sistem informasinya sudah ada, tetapi belum detail jumlah kendaraan yang melebihi ambang batas ketentuan emisi. Padahal, data tersebut penting untuk mengukur efektivitas uji emisi.
Selain itu, belum ada implementasi disinsentif tarif parkir dan terintegrasi dengan perpanjangan STNK. Alhasil, secara praktis belum ada penegakan hukum atas pelanggaran uji emisi.
”Ada contoh baik pencabutan izin lingkungan PT KCN yang menyebabkan pencemaran udara akibat bongkar muat batubara di Marunda. Namun, publik belum tahu hasil pengawasan dan penindakan hukum terhadap sumber pencemar lain,” ucap Bondan.
Hingga kini pun belum ada penetapan strategi dan rencana aksi pengelolaan kualitas udara atau grand design pengelolaan kualitas udara di Jakarta. Grand design pengendalian pencemaran udara tersebut berupa rencana aksi mengurangi polusi udara dengan target pengurangan pada 2030.
Kajiannya bekerja sama dengan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung serta konsultasi publik dengan mengundang berbagai pemangku kepentingan.
”Masih dikaji. Idealnya Jakarta punya 25 stasiun pemantau kualitas udara,” kata Kepala Seksi Penyuluhan dan Hubungan Masyarakat Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Yogi Ikhwan.
Partikulat jahat
Langit biru bukan berarti Jakarta bebas polusi. Ada banyak faktor yang menyebabkannya.
Data dari Nafas Indonesia menunjukkan, kualitas udara di Jakarta mengalami perbaikan hanya di Desember 2021 dalam kurun setahun terakhir (14 September 2021-14 September 2022). Pada Desember, nilai PM 2,5 menurun karena musim hujan. Ketika memasuki musim kemarau (Juni-Juli 2022), nilai PM 2,5 kembali naik.
Nilai rata-rata tahunan PM 2,5 belum sesuai rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 5 µg/m³ (mikrogram per meter kubik) per tahun. Nilai rata-rata Jakarta melampaui rekomendasi tersebut hingga 7,2 kali lipat.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada Jumat (24/6/2022) melaporkan penurunan kualitas udara di Ibu Kota sepanjang Juni 2022. Konsentrasi PM 2,5 terpantau meningkat hingga mencapai puncak pada level 148 µg/m³ atau masuk kategori tidak sehat.
Hasil pemantauan konsentrasi PM 2,5 di BMKG Kemayoran, Jakarta Pusat, menunjukkan, rata-rata konsentrasi PM 2,5 berada pada level 49,07 µg/m³ sepanjang Juni 2022. Konsentrasi PM 2,5 cenderung meningkat pada dini hari hingga pagi dan menurun pada siang hingga sore.
Pemicu tingginya konsentrasi PM 2,5 di Jakarta dan sekitarnya ialah emisi dari kendaraan bermotor, industri, pergerakan polutan udara oleh angin sehingga terjadi potensi peningkatan konsentrasi PM 2,5, tingginya kelembaban udara relatif yang menyebabkan perubahan wujud dari gas menjadi partikel, serta munculnya lapisan inversi di udara yang menyebabkan PM 2,5 tertahan dan tidak dapat bergerak ke lapisan udara lain.
Baca juga:
- Polusi Udara Berdampak pada Kesehatan, Bahkan Picu Kematian
- Risiko Kematian Dini Mengintai Warga Jabodetabek akibat Polusi Udara
Saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) medio Maret-April 2020, Komite Penghapusan Bensin Bertimbel mencatat polusi udara Ibu Kota turun tipis pada 10 hari pertama pembatasan sosial. Sepekan kemudian, polusi udara turun drastis.
Hasil pengolahan data dari stasiun pemantau kualitas udara ambien dalam rentang 16-25 Maret menghasilkan rata-rata kualitas udara berada dalam kondisi tidak sehat dengan konsentrasi PM 2,5 sebesar 44,55 µg/m³.
Hal berbeda terjadi pada pemantauan kualitas udara pinggir jalan. Konsentrasi PM 10 turun drastis pada 10 hari pertama pembatasan sosial. PM 10 turun dari rata-rata 160 µg/m³ menjadi kisaran 40-60 µg/m³. Rata-rata harian ini menunjukkan kualitas udara cukup bagus.
”Meskipun sumber polusi berkurang, belum tentu polusinya turun. Penyebabnya, partikel halus yang melayang lebih lama di udara,” ucap Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin.
Saat pembatasan sosial berlangsung, polutan yang menjadi aerosol perlahan turun karena tekanan polusi dari bawah berkurang. Apabila warga disiplin menerapkan pembatasan sosial, aerosol akan semakin turun dan dapat dibersihkan tatkala hujan.
Namun, banyak faktor lain yang turut menyumbang polusi udara di Jakarta. Misalnya, asap pabrik dari industri di Bodetabek serta pembangkit listrik di Cilegon, Banten, dan Indramayu, Jawa Barat.
Proaktif dan kritis
Pengacara publik LBH Jakarta, Charlie Albajili, mengingatkan warga untuk terus proaktif dan kritis terhadap sikap pemerintah, baik pusat maupun daerah. Dengan begitu ada langkah-langkah atau upaya pengendalian pencemaran udara di Jakarta.
”Tanpa desakan publik yang kuat dan meluas, sulit berharap ada perubahan,” ujar Charlie.
Dia mencontohkan respons pemerintah yang menyikapi putusan pengadilan terhadap gugatan polusi udara dengan mengajukan banding. Alih-alih melaksanakan putusan. Sementara pihak yang tidak banding tetap harus dipelototi implementasi atau kebijakannya.
”Grand design pengendalian pencemaran udara akan lebih efektif jika berbentuk peraturan gubernur atau peraturan daerah karena ada kekuatan hukum,” ucap Charlie.
Warga menanti aksi nyata pemerintah dalam pengendalian pencemaran udara. Sudah waktunya lepas dari cengkeraman partikulat jahat.
Baca juga: