Jakarta menghadirkan inovasi baca buku digital di tempat. Inovasi ini menjadi langkah dalam mentransformasi perpustakaan Jakarta dan menggaet anak-anak muda untuk mengakrabi berbagai sumber bacaan bermutu.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Gambar QR Code atau kode respons cepat berukuran sekitar 30 sentimeter x 30 sentimeter terpampang di sebuah banner dengan warna latar oranye di depan pintu masuk lantai dua Perpustakaan Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat.
Seorang pemuda bernama Adit mengarahkan kamera ponselnya ke kotak hitam putih itu hingga keluar tautan ke situs kubuku.id. Awalnya ia mengira kode itu membawanya ke situs registrasi Perpustakaan Jakarta, ia justru masuk ke dalam situs perpustakaan digital.
Di ponselnya, Adit melihat halaman berisi daftar buku berdasarkan genre, ada buku umum, sejarah, pustaka anak, novel, hingga sosial. Ia mengklik salah satu judul buku yang langsung dapat dibaca.
”Boleh juga, nih, bisa langsung baca di tempat,” ujarnya saat ditemui, Rabu (31/8/2022).
Banner dengan kode respons cepat itu merupakan prototipe program Titik Baca yang disiapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Perpustakaan dan Kearsipan. Titik Baca akan menjadi media bagi masyarakat untuk mengakses buku bacaan digital secara gratis di ruang publik.
Orang tinggal mengeluarkan ponsel lalu memindai QR Code di aplikasi. Situs berisi sajian buku bacaan pun terpampang di genggaman. Ratusan daftar buku bisa dibuka tanpa perlu mendaftar apalagi membayar.
”Nanti warga Jakarta akan bisa baca buku sambil menunggu bus, mengantre di rumah sakit, atau saat santai di taman,” kata Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) DKI Jakarta Wahyu Haryadi.
Wahyu mengatakan, Titik Baca akan dihadirkan di sejumlah ruang publik di Jakarta. Inovasi ini diresmikan secara perdana di Taman Martha Tiahahu, Jakarta Selatan, pada 8 September 2022. Secara bertahap, hingga akhir 2022 akan ada 50 Titik Baca, antara lain di kawasan Taman Ismail Marzuki, Monas, dan Balai Kota.
”Titik Baca ini akan mengakomodasi anak-anak muda yang lebih suka membaca buku digital lewat gadget. Konsepnya seperti kita mengakses menu makan daring, tetapi ini yang keluar buku,” kata Wali Kota Jakarta Utara periode 2016-2017 itu.
Perpustakaan digital di setiap Titik Baca akan menyediakan 150-200 buku. Koleksi buku beragam dan akan menyesuaikan karakter lokasi. Misalnya, jika Titik Baca ada di daerah taman, perpustakaan digital akan menghadirkan sejumlah buku dengan tema taman.
Perpustakaan model ini juga hanya memungkinkan warga baca buku di tempat karena buku tidak bisa diakses saat ponsel bergeser di luar radius 200 meter dari poin QR Code.
Digitalisasi layanan
Perpustakaan digital seperti Titik Baca itu memiliki kelebihan dibandingkan menyediakan lemari buku fisik di ruang publik. Risiko buku hilang seperti yang sering terjadi di perpustakaan dengan konsep konvensional tidak akan terjadi. Selain itu, digitalisasi tentunya memudahkan masyarakat usia kalangan muda yang lebih melek digital untuk mengakses buku bacaan.
Selain akan mengembangkan Titik Baca, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan DKI Jakarta juga menyediakan buku-buku digital yang bisa dipinjam masyarakat Jakarta. Eka Nur, Kepala Bidang Deposit Pengembangan Koleksi Dan Layanan Dispusip DKI, mereka memiliki sekitar 6.000 buku digital yang bisa diakses di aplikasi IJakarta.
Dispusip DKI juga mendigitalisasi layanan peminjaman buku fisik koleksi Perpustakaan Jakarta serta perpustakaan di lima kotamadya DKI. Layanan itu dapat digunakan dengan aplikasi berbeda, yaitu Jaklitera.
”Pemustaka bisa mencari buku dari ratusan ribu koleksi yang ada dan mengecek lokasinya. Buku itu lalu bisa diantar ke perpustakaan terdekat lokasi pemustaka. Misalnya, buku yang diinginkan ada di Jakarta Pusat, tetapi pemustaka tinggal di Jakarta Barat, buku itu bisa diantar ke Perpustakaan Jakarta Barat,” kata Eka.
Layanan antar dari titik ke titik itu pun rencananya akan dikembangkan bersama penyedia jasa transportasi antar barang. Jika terwujud, layanan peminjaman buku dapat lebih mudah karena masyarakat bisa mendapatkan buku langsung ke tempat tinggal dengan mudah.
Perpustakaan pun kalau bisa tidak membiarkan anak membaca apa saja, tetapi harus dicari minatnya ke mana.
Pengembangan digitalisasi layanan perpustakaan ini merupakan bagian dari transformasi bagi DKI Jakarta. Sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta juga merevitalisasi dan melakukan rebranding atau penjenamaan ulang Perpustakaan Jakarta sebagai bagian dari rencana tersebut. Revitalisasi perpustakaan itu meliputi modernisasi bangunan dan layanan inklusif, yang antara lain menyediakan 180.000 koleksi buku.
Sampai saat ini, DKI Jakarta menyirkulasikan lebih dari 600.000 buku. Buku-buku itu tersebar di 7 perpustakaan kota/kabupaten/provinsi, lalu 308 ruang publik terpadu ramah anak, 55 taman bacaan masyarakat, 11 rumah susun, 2 pasar, dan 1 terminal. Untuk pengadaan buku-buku itu, tahun ini Jakarta menganggarkan Rp 2 miliar. Sampai berita ini ditulis, 60 persen anggaran sudah terpakai.
Karakter generasi
Dispusip DKI Jakarta melaporkan, survei 2021 menunjukkan minat baca warga Jakarta mencapai 72,36 persen. Sementara itu, data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 2020 mencatat rata-rata kunjungan anak berusia 5-17 tahun yang mengunjungi perpustakaan di Jakarta sebesar 53,4 persen. Jakarta menempati urutan kelima setelah Yogyakarta, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Bali.
Wien Muldian, Ketua Dewan Perpustakaan Jakarta, menilai, perpustakaan sebagai salah satu pusat pengetahuan harus kian menyesuaikan dengan karakter generasi muda. Menurut data Badan Pusat Statistik 2020, generasi Z atau penduduk yang lahir pada kurun tahun 1997-2012 dan generasi milenial yang lahir periode 1981-1996 mendominasi.
Dua generasi tersebut, menurut survei Alvara Research Center Maret 2022, adalah pencandu internet. Sebanyak 20 persen generasi Z dan 13,7 persen generasi milenial mengakses internet pada kisaran 7-10 jam per hari. Maka, digitalisasi perpustakaan yang meningkatkan transparansi dan kemudahan akses buku menjadi relevan.
”Kita harus memahami gaya generasi muda ini. Kita harus terbuka,” ujar Wien di Jakarta.
Meski demikian, kehadiran perpustakaan bagi generasi muda itu bukan hanya untuk menyediakan buku bacaan. Lebih dari itu, perpustakaan juga tetap perlu hadir sebagai sarana pengembangan pengetahuan dan pembangunan karakter mereka. Hal ini juga tidak lepas dari peran pendidikan di lingkungan sekitar mereka.
”Kita butuh orang-orang, terutama generasi Z dan Alfa (kelahiran 2012-2025) yang bisa memahami mereka minat di bidang apa. Ini berpengaruh ke kerjaan sehingga perlu bentuk spesialisasi sejak usia sekolah. Perpustakaan pun kalau bisa tidak membiarkan anak membaca apa saja, tetapi harus dicari minatnya ke mana,” katanya.
Kehadiran perpustakaan yang semakin mudah diakses oleh generasi muda dengan digitalisasi bisa semakin memudahkan tujuan itu terlaksana. Jakarta sebagai barometer pembangunan Indonesia sudah layaknya mengambil momentum ini untuk mengembangkan perpustakaan yang lebih menghidupi warganya.