Korban Kebakaran Simprug Berharap Bantuan Pembangunan Rumah
Permukiman padat di Jalan Simprug Golf II, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, itu sudah mereka huni sejak 1980-an dan dekat dengan tempat kerja atau usaha.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga korban kebakaran permukiman padat di Simprug, Kelurahan Grogol Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, berharap bantuan pembangunan kembali hunian ketimbang relokasi ke rumah susun atau rusun. Permukiman di Jalan Simprug Golf II itu sudah mereka huni sejak 1980-an dan dekat dengan tempat kerja atau usaha.
Sebanyak 133 keluarga atau 398 warga RT 008 RW 008 kehilangan rumah dan harta benda dalam kebakaran pada Minggu (21/8/2022). Si jago merah melahap 100 bangunan permanen dan semipermanen berbahan kayu dengan luas areal terbakar hingga 2 hektar. Kerugian ditaksir mencapai Rp 5 miliar.
Tiga hari pasca-kebakaran, Rabu (24/8/2022), warga membersihkan puing sisa kebakaran sambil mencari harta benda yang tersisa. Pasukan oranye dari Kelurahan Grogol Selatan turut membantu warga.
Parnyo (46), salah seorang penyintas kebakaran, berupaya menemukan cincin dan gelang emas milik anaknya di tumpukan puing kamar sang anak. Teknisi peralatan elektronik ini kehilangan rumah yang dihuninya sejak tahun 1989 beserta isinya.
”Mudah-mudahan dapat bantuan untuk beli hebel. Di sini (Simprug) darah daging, pindah kalau enggak cocok bagaimana, harus mulai dari nol lagi,” ucapnya.
Parnyo tinggal bersama istri dan dua anaknya di permukiman padat tersebut. Saban hari dia memperbaiki pendingin ruangan, televisi, kulkas, dan peralatan lain di bengkel yang juga ludes dilalap api.
Ketua RW 008 Bambang Wahyudi mengamini ucapan Parnyo. Warga lain juga ingin tetap bermukim di RT 008 yang kini masih dipasangi garis polisi.
”Warga maunya tetap di sini. Syukur-syukur dapat bantuan material,” kata Bambang yang kehilangan rumah yang dihuninya sejak tahun 1980-an dan rumah indekos.
RT 008 RW 008 disebut berada di zona hijau. Artinya, tidak boleh ada pembangunan di kawasan tersebut.
(Sejumlah) 133 keluarga itu yang punya bangunan, sertifikat tanah atau hak guna bangunan. Jadi, mereka berhak kalau ada bantuan pembangunan.
Antara Harapan dan Cemas Berkecamuk Seusai Amuk Api di Simprug
Penghuni kawasan itu dominan perantau dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera. Satu bangunan bisa didiami 2-3 keluarga. Pekerjaan mereka antara lain karyawan di perkantoran atau pusat perbelanjaan, teknisi, penjaga parkir, dan pedagang kaki lima.
Bambang sudah memberitahukan perihal sertifikat tanah dan hak guna bangunan yang dikantongi warga ketika ditanya Camat Kebayoran Lama dan Wali Kota Jakarta Selatan. ”(Sejumlah) 133 keluarga itu yang punya bangunan, sertifikat tanah atau hak guna bangunan. Jadi, mereka berhak kalau ada bantuan pembangunan,” ucap Bambang.
Dahulu, RT 008 RW 008 merupakan tanah kosong, empang, dan sawah. Pada akhir 1970-an, wilayah itu mulai ditempati perantau hingga jadi permukiman padat.
Cipto Wiyono (70) adalah salah seorang sesepuh yang pertama kali menginjakkan kaki di situ pada tahun 1973. Dia dan teman-temannya merantau dari Wonogiri, Jawa Tengah, sebagai pedagang kaki lima.
”Orang datang dari Wonogiri, uruk tanah bangun rumah di sini. Orang beli atau sewa sama Pak Haji Husein, asli Betawi,” kata Wiyono.
Haji Husein telah tiada. Anak-anaknya kini bermukim di Jalan Gang Kubur, Rawa Simprug, Kebayoran Lama.
Wiyono menuturkan, perumahan mewah mulai dibangun di sekitarnya pada akhir 1970-an. Perlahan rumah mewah mengapit tanah kosong, empang, dan sawah yang bersalin jadi permukiman padat penduduk tersebut.
”Kalau saya pengin tetap di sini karena ke mana-mana dekat. Ke Kebayoran, Bintaro, Slipi, gampang,” kata Wiyono yang sehari-hari berjualan nasi pecel.