Antara Harapan dan Cemas Berkecamuk Seusai Amuk Api di Simprug
Awan mendung menyelimuti korban kebakaran permukiman padat penduduk di Simprug, Jakarta Selatan. Memupuk harapan di tengah kecemasan memikirkan ada tidaknya tempat bernaung lagi seusai api menghanguskan kampung mereka.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·5 menit baca
Warga RT 008 RW 008 menanti kepastian pascakebakaran di Jalan Simprug Golf II, Kelurahan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Kawasan padat penduduk yang ini merupakan tempat mereka bernaung sejak 1980-an.
Garis polisi membentang di akses masuk ke 100 rumah milik 133 keluarga atau 398 warga Simprug, Senin (22/8/2022). Hanya tersisa puing dan beberapa bangunan dengan bekas kehitaman dari lahapan si jago merah.
Dua tenda berukuran 6 x 12 meter milik Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI Jakarta berdiri di halaman Gereja Somang. Belasan warga memilah pakaian bekas, empat warga berkonsultasi dengan tenaga kesehatan, dan lainnya duduk di teras gereja dan dalam tenda.
Dua warga lanjut usia, Surini dan Sartini, bercakap dengan tatapan sendu. Mereka kehilangan tempat tinggal dan tempat usaha. Hanya tersisa surat berharga dan pakaian di badan.
”Cepat banget menjalar dari pojok sana. Langsung lari, enggak sempat ambil apa-apa lagi karena apinya gede,” kata Surini sambil menunjuk rumah kontrakan sumber kebakaran.
Sejak tahun 1995 di sini mulai padat penduduk. Tanah diurug supaya bisa bangun rumah. Tapi, baru kali ini ada kebakaran, langsung ludes semuanya.
”Lagi duduk, tahu-tahu api nyamber ke rumah. Matiin listrik, naik ke atas ambil sertifikat tanah. Yang lain enggak bisa dibawa,” kata Sartini.
Kebakaran terjadi pada Minggu (21/8). Sumber api bermula dari rumah kontrakan Sambiyo yang terletak di bagian belakang permukiman. Kobaran api merambat ke rumah lain yang terdiri dari bangunan permanen dan semipermanen atau menggunakan tripleks, dengan luas areal terbakar hingga 2 hektar.
Tempat bernaung
Warga mengungsi ke sembilan titik di sekitar lokasi kebakaran. Selain di Gereja Somang, ada juga di posyandu, lapangan parkir, dan halaman rumah warga.
Warni (61) terduduk lemas di kursi sambil menatap tumpukan air mineral, makanan, dan pakaian bekas di muka tenda pengungsian. Si jago merah menghanguskan rumah, kontrakan, dan harta bendanya.
”Perlunya tempat tinggal. Kan, buat berteduh,” ujarnya yang bermukim sejak 1985 di Simprug.
Sepengetahuan Warni, kebakaran Minggu pagi merupakan yang pertama di RT 008 RW 008. Dulu kawasan itu berupa sawah dan empang yang bersalin rupa jadi permukiman padat.
Sarkum (54) dan istri menatap puing rumah sekaligus kios dan penatu miliknya. Masih ada kepulan asap dari arang lemari jati tempat penyimpanan surat dan barang berharganya.
”Sejak tahun 1995 di sini mulai padat penduduk. Tanah diurug supaya bisa bangun rumah. Tapi, baru kali ini ada kebakaran, langsung ludes semuanya,” ucapnya.
Pemkot Jakarta Selatan menyalurkan bantuan 100 kasur kepada warga terdampak kebakaran untuk alas tidur di pengungsian. Juga membuka layanan administrasi kependudukan, seperti akta kelahiran, KTP elektronik (KTP-el), kartu kelurga (KK), surat nikah, dan KIA.
”Bantuan lainnya yang juga dibutuhkan warga akan diberikan, termasuk seragam sekolah dan kelengkapannya,” kata Wali Kota Jakarta Selatan Munjirin.
Kebakaran
Permukiman yang berjarak 500 meter dari pusat perbelanjaan Senayan City ini mayoritas dihuni perantau dari Jawa Tengah dan Lampung. Mereka punya rumah atau mengontrak serta bekerja sebagai karyawan, penjaga parkir, wirausaha, dan pedagang kaki lima.
Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Jakarta Selatan menerima laporan kebakaran dari warga pukul 10.48. Sebanyak 25 mobil pemadam dengan 110 petugas pemadam kebakaran berjibaku di lokasi.
Petugas terkendala titik api yang jauh dari sumber air. Begitu juga akses masuk ke rumah berupa gang selebar 1 meter yang kian ke dalam kian sempit. Kobaran api dipadamkan pukul 13.00. Kerugian diperkirakan Rp 5 miliar.
”Warga sempat kesal, marahi petugas pemadam karena ada masalah di mesin pompa. Penanganan agak lama, jadi api makin besar,” kata Warso (53), warga RT 008 RW 008.
Puslabfor Mabes Polri sudah mulai memeriksa lokasi kebakaran. Setidaknya ada empat petugas yang memeriksa sumber api dan puing bangunan.
Pada saat yang sama, Kepolisian Sektor Kebayoran Lama dan Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Jakarta Selatan masih mendata dampak kebakaran.
Persoalan lama
Warga menyebutkan, mereka bermukim di jalur hijau. Selama itu mereka akur dengan warga sekitarnya. Namun, kata Warso, warga menanti kepastian nasib pascakebakaran. Kekhawatiran ini berkaca dari kebakaran sebelumnya di RT tetangga.
Pemkot Jakarta Selatan menetapkan tiga hari masa tanggap darurat bagi 1.075 warga RT 009 dan RT 010 RW 008, korban kebakaran di Jalan Simprug Golf II, Minggu (3/7) dini hari. Kebakaran ini merupakan kebakaran terbesar di Jakarta Selatan selama setahun terakhir (Kompas, 4 Juli 2016).
Korban kebakaran diminta tidak membangun kembali rumah mereka. Beberapa warga mencurigai kebakaran dimanfaatkan untuk memaksa mereka pindah.
Hingga Rabu (13/7), sekitar 10 hari setelah kebakaran, sebagian besar warga masih bertahan di tenda, posko pengungsian masjid, dan mushala. Ketegangan terasa sebab warga menolak orang tak dikenal di jalan yang membelah kampung mereka.
Menurut informasi, lahan yang mereka tempati sejak tahun 1980-an itu merupakan lahan perusahaan pengembang. Namun, sebagian warga mengklaim mempunyai surat girik.
Kepemilikan girik ini sama dengan penuturan Sartini, korban kebakaran di RT 008. Dia berhasil menyelamatkan sertifikat tanah sebagai salah satu barang berharga. ”Sertifikat rumah aman. Yang penting sertifikat dibawa,” ujarnya.
Tata ulang
Banyaknya kebakaran di permukiman menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan warga untuk menata ulang kawasan hunian penduduk, infrastruktur kelistrikan, dan kesadaran penggunaannya.
Pengajar pada Jurusan Teknik Planologi Universitas Trisakti, Endrawati Fatimah, menyebutkan, mesti ada perluasan dan penataan ruang sebagai mitigasi kebakaran. Salah satunya dengan merelokasi warga korban kebakaran dari permukiman padat ke hunian vertikal atau rumah susun (rusun) yang layak huni dan dapat mencegah kebakaran.
Misalnya, Pemkot Jakarta Pusat yang membangun rusun sederhana milik bagi warga RW 008 di lokasi eks kebakaran Bendungan Hilir. Rusun yang masih berdiri hingga saat ini menjadi bentuk penggantian yang diprioritaskan untuk warga terdampak kebakaran (Kompas, 14/10/1994).
Jumlah rusun yang semakin banyak juga memungkinkan korban kebakaran untuk direlokasi. Awal tahun 2021, Pemkot Jakarta Timur bekerja sama dengan Dinas Perumahan dan Permukiman Jakarta menargetkan ratusan korban kebakaran di RW 013 Kelurahan Jatinegara mendapatkan rusun.