Jejak Penamaan Jalan yang Berkelindan dengan Kekuasaan
Nama jalan menjadi jejak perkembangan Jakarta. Nama jalan peninggalan kolonial telah beberapa kali berubah menjadi lebih kental rasa keindonesiaannya, dengan mengadopsi nama pahlawan dan tokoh Betawi.
Penggantian atau perubahan nama jalan di Jakarta sudah terjadi sejak era kemerdekaan. Tujuannya mulai dari untuk mewujudkan keindonesiaan hingga politis.
Terbaru, kini tengah berlangsung penggunaan nama-nama tokoh Betawi untuk menggantikan nama 32 jalan, gedung, dan zona di Jakarta. Penggantian nama untuk menghormati peran tokoh-tokoh Betawi ini tertuang dalam Keputusan Gubernur Nomor 565 Tahun 2022 tentang Penetapan Nama Jalan, Gedung, dan Zona dengan Nama Tokoh Betawi dan Jakarta.
Perubahan ini tak lepas dari penolakan warga setempat dengan beragam alasan. Warga RT 010 dan RT 011 RW 006, Johar Baru, Jakarta Pusat, menolak Jalan Tanah Tinggi 1 Gang 5 diganti menjadi Jalan A Hamid Arief pada Rabu (28/6/2022). Warga menolak karena mereka tidak dilibatkan dalam perencanaan, tanpa sosialisasi, dan konsekuensi mengurus perubahan semua dokumen penting.
Warga RW 001 Jalan Cikini VII di Jakarta Pusat turut menolak Tino Sidin, yang disebut menggantikan nama Jalan Cikini VII. Mereka menilai pelukis kelahiran Sumatera Utara dan bintang televisi di tahun 1980-1990-an awal itu tidak cukup mewakili identitas sejarah dan kampung daerah mereka tinggal.
Ketua RT 001 RW 001 Nur Zaman yang mewakili suara warganya mengatakan, jika harus berganti nama, sebagian warga ingin nama jalan dikembalikan menjadi Jalan Kali Pasir Guru Demar, guru agama bagi warga di kampung itu. Warganya sudah mengirimkan surat penolakan penggantian nama jalan ke pemerintah daerah sebulan lalu, setelah ada beberapa kali pertemuan yang melibatkan warga, RT, RW, dan Kelurahan Cikini.
Baca Juga: Ahistoris, Sebagian Warga Cikini Tolak Nama Jalan Baru
Candrian Attahiyat, arkeolog sekaligus Tim Ahli Cagar Budaya DKI Jakarta, menuturkan, perubahan nama jalan tidak lepas dari kemauan pemimpin yang tengah memimpin suatu daerah atau bahkan negara. Untuk Jakarta, setiap pemimpin mempunyai catatan dalam mengubah atau mengganti nama jalan.
”Perubahan besar-besaran ketimbang masa kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan terjadi pada masa Gubernur Militer Jakarta Daan Jahja, pada awal 1948 hingga 1950,” tuturnya saat dihubungi secara terpisah.
Daan, saat menjabat gubernur, menghadapi banyak persoalan dalam masyarakat Jakarta. Salah satunya berbagai masalah administrasi dalam proses pengembalian pemerintahan Jakarta kepada pola keindonesiaannya.
Candrian menyebutkan, Daan mengganti lebih dari 130 nama jalan menggunakan bahasa Indonesia. Penggantian itu efektif mulai 1 Maret 1950 yang berbarengan dengan perubahan akta, nomenklatur, alamat resmi, dan lainnya.
”Saya tak tahu ada momentum apa pada 1 Maret itu. Dari 130 jalan itu, penggantiannya, antara lain Waltevreden menjadi Gambir, Meester Cornelis menjadi Jatinegara, Batavia menjadi Jakarta Kota," katanya.
Keputusan pergantian nama setelah tahun 1950 cenderung politis. Contohnya, Jalan Sultan Agung di Jakarta Selatan, sebelumnya Jalan Jan Pieterzoon Coen. Pergantian karena Sultan Agung yang melawan VOC.
Baca Juga: 32 Nama Jalan, Gedung, dan Zona Diganti dengan Nama Tokoh Betawi
Lebih jauh, pergantian nama jalan atau tempat sudah berlangsung sejak pendudukan Jepang untuk tujuan politis, yakni merangkul seluruh Indonesia. Namun, pergantian tersebut tak berbarengan dengan perubahan nomenklatur dan lainnya.
Candrian mencontohkan Jalan Noordwijk yang sekarang menjadi Jalan Juanda di Jakarta Pusat. Pada masa Jepang, sempat bernama Jalan Nusantara. Perubahan menjadi Jalan Juanda terjadi pada 1963 setelah Juanda ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
”Keputusan pergantian nama setelah tahun 1950 cenderung politis. Contohnya, Jalan Sultan Agung di Jakarta Selatan, sebelumnya Jalan Jan Pieterzoon Coen. Pergantian karena Sultan Agung yang melawan VOC,” katanya.
VOC merupakan perusahaan multinasional pertama di dunia yang menguasai dua pertiga lingkaran bumi dari Eropa, Afrika Barat, Afrika Selatan, India, Sri Lanka, Nusantara, Taiwan, dan Dejima di Nagasaki.
Contoh lain pergantian nama jalan karena politis terjadi tahun 1960-an. Candrian mengatakan, Presiden Soekarno mengganti nama Jalan Angkasa di Jakarta Pusat menjadi Jalan Patrice Lumumba, pejuang kemerdekaan Kongo di Afrika. Nama terakhir berganti lagi ke nama semula saat pemerintahan Presiden Soeharto.
Tokoh lokal
Pergantian nama jalan dengan tokoh lokal mulai muncul tahun 1990-an. Menurut Candrian, gubernur ingin merangkul warga dengan pemakaian nama tokoh lokal, terutama dari Betawi.
Misalnya, landasan pacu Bandara Kemayoran menjadi Jalan Benyamin Suaeb di Jakarta Pusat. Kemudian Jalan Haji Naim di Jakarta Selatan sebagai salah satu tuan tanah.
”Banyak nama tokoh lokal, khususnya Betawi sebagai nama jalan. Penamaan bukan oleh pemerintah saja, masyarakat juga karena keseringan menyebut nama tokoh lokal setempat, seperti Haji Naim,” ucapnya.
Baca Juga: Tolak Nama Jalan Baru, Warga Minta Pemerintah dan Instansi ”Jemput Bola”
Candrian menjelaskan, penamaan jalan tidak ada yang abadi karena seiring dengan perkembangan zaman. Nama jalan bisa berganti lebih dari satu kali sehingga lama kelamaan warga akan terbiasa.
Banyak perubahan nama jalan seantero Ibu Kota sejak zaman Batavia hingga kini. Dalam buku Batavia Kota Hantu (2010), pada bab Batavia 1935, Jakarta 1997, ketika berada di Belanda, Alwi Shahab sang penulis buku mendapati brosur nama jalan di Batavia sampai tahun 1935. Di sampingnya terdapat nama jalan tahun 1972 atau 62 tahun kemudian.
Alwii Shahab menuliskan di Jakarta sendiri hampir tidak menemui lagi nama jalan Belanda karena telah diganti nama jalan Indonesia. Hilangnya jejak nama jalan di masa Belanda diikuti menghilangnya puluhan tempat sejarah masa kolonial.
Jalan Tongkol, tidak jauh dari Museum Bahari dan Menara Sahbandar yang menjadi kilometer satu Kota Batavia, misalnya, dulu bernama Kasteelweg. Nama itu disematkan karena di muara Pelabuhan Sunda Kelapa pada masa Hindia Belanda, JP Coen pertama kali mendirikan kastil Batavia sebelum pindah ke staadhuis (balai kota) yang kini menjadi Museum Sejarah Jakarta.
Masih di masa kolonial, Jalan Tol Layang Wiyoto Wiyono menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta dulu disebut Staatspoorlaan. Di masa tersebut, sebagian jalan itu merupakan kawasan hutan bakau dan resapan air.
Selain itu, ada Gang Hauber di Petojo, Jakarta Pusat, yang diambil dari nama tokoh Belanda di sana. Gang Hauber I-IV yang kini bernama Gang Sadar, terkenal sebagai tempat mangkal pekerja seks komersial hingga 1970-an.
Tidak jauh dari situ, Brandweerweg kini menjadi Jalan Zainul Arifin, tempat markas pemadam kebakaran (braanbeer). Paal Meriam di antara Matraman dan Jatinegara (Meester Cornelis) yang menjadi patok jalan beralih nama jadi KH Ahmad Dachlan.
Belum lagi Kampung Jaga Monyet, terkenal pada masa itu, karena Belanda membangun benteng di antara Harmoni dan Petojo untuk mengantisipasi serangan pasukan Banten dari arah Tangerang dan Grogol. Pasukan di tempat penjagaan yang berada di sekitar Gedung BTN lebih sering menghadapi monyet yang berkeliaran ketimbang musuh. Tak pelak, dinamakan Jalan Jaga Monyet, kini Jalan Sukardjo Wiryopranoto.
”Namun, masih banyak orang-orang yang pakai istilah lama, seperti boulevard untuk jalan raya, weg (juga berarti) jalan, dan gang (untuk) ganti lorong,” ujar Candrian.
Jejak
Candrian menyebutkan, Mualim Teko sebagai nama jalan di depan Taman Wisata Alam Muara Angke, Hj Tutty Alawiyah sebagai nama jalan di Jalan Warung Buncit Raya, dan Entong Gendut menggantikan nama Jalan Budaya, serta perubahan lainnya perlahan bakal diterima oleh masyarakat.
Untuk itu, jika memungkinkan, pada plang nama jalan disertakan nama jalan sebelumnya sebagai jejak sejarah. Misalnya, orang pergi ke Sawah Besar di Jakarta Pusat bisa tahu kalau Jalan Sawah Besar diganti namanya menjadi Jalan Suryopranoto.
”Hal itu di satu sisi menjadi pembelajaran untuk tahu tokoh atau pahlawan. Di sisi lainnya, tidak melupakan sejarah atau nama sebelumnya,” katanya.
Baca Juga: Dinas Dukcapil Bantu Warga Terdampak Perubahan Nama Jalan
Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana mengatakan, proses pengabadian tokoh Betawi dan Jakarta sebagai nama jalan dilaksanakan dengan mempertimbangkan nilai sejarah dan ketokohan nama yang diusulkan ataupun nilai historis atas nama jalan eksisting yang akan digantikan.
Setelah melalui proses pengkajian dari aspek sejarah, selanjutnya dilaksanakan komunikasi dan pembahasan lebih detail dengan para sejarawan, Forum Pengkajian dan Pengembangan Perkampungan Budaya Betawi, serta tokoh-tokoh Betawi.
Daftar usulan nama jalan yang telah dibahas bersama pihak-pihak terkait kemudian diproses dan dievaluasi sesuai dengan ketentuan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No 28/1999 tentang Pedoman Penetapan Jalan, Taman, dan Bangunan Umum di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Usulan nama-nama jalan yang sudah disosialisasikan dan mendapatkan penerimaan yang baik dari masyarakat selanjutnya ditetapkan dalam keputusan gubernur.