Eni Ahaeni, 40 tahun bertekun di dunia batik dan turut mengembangkan motif Betawi. Ia juga memberdayakan ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya. Upayanya menjadikan ia terpilih masuk nominasi Ibu Ibukota Awards 2021.
Oleh
Helena F Nababan
·7 menit baca
Adalah ikhtiar Eni untuk membantu ekonomi keluarga yang membuat ia kembali terjun ke dunia perbatikan. Dunia batik yang sudah ia kenal sejak kanak-kanak, lalu sempat ia tinggalkan, kemudian ia tekuni kembali saat sudah berstatus istri dan ibu. Ketekunan itu mengantarnya pada kesuksesan hingga tak terasa 40 tahun sudah ia menekuni batik, mengembangkan motif Betawi, serta memberdayakan ibu-ibu di sekitar rumah ia tinggal.
Kisah perjalanan Eni masuk ke dunia batik dan motif Betawi berawal saat ia baru saja pindah ke Jakarta dan mendapat kunjungan dari ibunya. ”Jangan seperti kacang lupa pada kulitnya. Itu pesan ibu saya sewaktu mengunjungi saya dan suami dan anak saya pada 1982 saat kami baru pindah ke Jakarta dari Cirebon,” demikian Eni membuka percakapan dengan Kompas, pertengahan November 2021.
Boyongan dari Cirebon ke Jakarta terjadi karena Eni mengikuti sang suami yang diterima sebagai pegawai negeri sipil di sebuah departemen. Harapan untuk bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada saat di Cirebon susah terwujud pada awal kepindahan itu lantaran gaji suami yang kecil.
Sebagai perempuan yang akrab dengan dunia kain, Eni pada awalnya membantu ekonomi keluarga dengan menjahit. Namun, kunjungan sang ibulah yang berdampak besar pada tekad Eni untuk memperbaiki perekonomian keluarga. Obrolan dengan sang ibu membukakan jalan bagi masalah perekonomian yang dihadapinya.
Siapa yang tidak mengenal daerah Plered di Cirebon yang terkenal dengan sentra batiknya? Eni lahir dan besar di daerah itu sehingga bisa dikatakan darah membatik dan menjadi pembatik mengalir di tubuhnya. ”Nenek saya itu pembatik. Keluarga saya pembatik. Jadilah saya kembali membatik setelah ibu mengunjungi kami,” jelas Eni.
Duduk di antara kain-kain batik juga baju-baju batik karyanya di kios miliknya di Thamrin City, Jakarta, ingatan Eni yang saat ini berusia 68 tahun, itu, melayang ke masa saat ia duduk di kelas lima sekolah dasar. Ia menuturkan saat itu ayahnya sudah mengajarinya cara membatik meski masih tahapan dasar hingga menjual batik.
”Saya akan membatik dan menjual batik untuk bisa mendapatkan uang. Bahkan saat acara jalan-jalan sekolah, saya membiayai acara jalan-jalan itu dari membatik,” kata Eni.
Sejak kelas lima itu, Eni sudah bisa membatik meski baru tahap awal seperti mengisi pola hingga melipat kain yang dibatik. Kemampuan itu berkembang seiring pertambahan usia. Jadilah kemampuan yang ia miliki sejak anak-anak dan remaja itu, ia gali lagi saat sudah berumah tangga.
Saya akan membatik dan menjual batik untuk bisa mendapatkan uang. Bahkan saat acara jalan-jalan sekolah, saya membiayai acara jalan-jalan itu dari membatik.
Eni pun dikenal bukan hanya karena batik motif Cirebon, melainkan juga dikenal dengan batik motif Betawi yang berbeda dengan batik Betawi lainnya. Motif penari, motif pemain silat, hingga ondel-ondel ia terjemahkan ke dalam helai-helai kain yang dibatik dengan hati-hati sehingga hasilnya begitu halus. Mata akan dimanjakan warna-warna lembut pada batik buatannya karena Eni terus mengasah dirinya dengan belajar cara pewarnaan alami.
Perjalanan Eni hingga titik saat ini pun penuh aneka warna. ”Sebelum memutuskan membatik lagi, saya membantu ekonomi keluarga dengan menjahit,” jelasnya.
Pendapatan yang diterima dari menjahit itulah yang dipakai Eni memproduksi batik di rumah orangtuanya di Plered, Cirebon. Di awal mulai kembali membatik, Eni diuntungkan karena hasil jahitannya yang berbentuk kimono lebih dulu menembus pasar Sarinah, pusat perbelanjaan pertama di Indonesia waktu itu. ”Karena saya orangnya berani, saya lalu bicara kepada manajemen Sarinah, saya mau membawa batik juga ke Sarinah dan dibolehkan,” katanya.
Batik yang ia bawa ke Sarinah saat itu murni batik tulis dengan motif khas Cirebon, belum ada motif Betawi. Ia membawa batik karya keluarganya juga sejumlah ibu di sekitar desanya di Plered yang ia berdayakan untuk membatik.
”Batik yang saya bawa itu batik repro, artinya dengan motif-motif lama atau yang sudah ada, saya memproduksinya kembali dengan jenis kain dan kualitas batik yang bagus. Meski mahal, laku sekali batik produksi saya,” jelas Eni.
Saking lakunya, Eni dalam seminggu bisa lima kali bolak-balik Jakarta-Cirebon untuk mengambil batik. Kerja kerasnya berbuah, dalam tiga tahun ia sudah bisa membeli rumah di Kelapa Dua, Jakarta Barat.
”Hasil memang tidak mengkhianati usaha dan perjuangan. Dari pengalaman saya memahami, orang akan berhasil kalau memang terpaksa,” jelasnya sambil mengusap air mata di sudut matanya.
Hasil memang tidak mengkhianati usaha dan perjuangan. Dari pengalaman saya memahami, orang akan berhasil kalau memang terpaksa. (Eni Ahaeni)
Selain di Sarinah, Eni juga membuka gerai di Pasaraya Blok M yang dulu disebut Sarinah Jaya. Kesuksesan itu juga tidak lepas dari para ibu di sekitar rumahnya di Jakarta ataupun di Cirebon yang ia rekrut untuk membantunya.
Kiprahnya pun dilirik pemerintah pusat. Ketekunannya mengembangkan batik membawanya berkeliling dunia. Ia pun punya kesempatan mengenalkan batik kepada dunia luar bahkan mendapatkan pembeli juga.
”Awalnya saya diajak berpameran ke Malaysia dan Singapura. Itu pada 1997. Setelahnya saya diajak Departemen Sosial ke Belanda, ke Paris, Perancis, ke Maroko, ke Dubai, hingga ke Aljazair,” jelasnya.
Namun semakin ke sini, persaingan dan pemain di dunia batik makin banyak, Eni mengakui, usahanya sedikit lesu. Hingga akhirnya ia memutuskan bergabung dengan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) DKI Jakarta.
Eksplorasi ide
Keputusan yang ia buat delapan tahun lalu itu tidak salah. Bergabung dengan Dekranasda, ia ditantang untuk bisa mengembangkan batik lebih jauh. Ia tertantang memproduksi batik dengan corak atau motif Betawi, corak khas dari daerah tempat ia mengadu nasib.
”Sebetulnya ada buku panduan tentang motif Betawi. Tetapi saya juga memilih mengeksplorasi sekitar. Karena ada banyak ide. Itu kembali lagi ke kreativitas kita,” jelas Eni.
Menurut Eni, saat ia datang ke Balai Kota DKI Jakarta, di gedung itu ada banyak ide motif Betawi. Mulai dari gambar-gambar penari Betawi, pemain silat Betawi, hingga ornamen bangunan menjadi sumber ide yang kemudian ia olah dalam bentuk pola di kain dan di batik. ”Jadi motif Betawi itu tidak melulu gigi balang atau ondel-ondel. Ada banyak ide,” jelasnya.
Apabila menengok batik karya Eny, terlihat variasi motif yang cantik. Mulai dari flora fauna khas Jakarta seperti sirih flamboyan, sirih kuning, tapak dara, bunga kembang teleng, bungur, lalu juga ada elang bondol, burung kipasan, elang, bulus, juga kupu-kupu. Yang lainnya ada motif penari cokek, si pitung, tanjidor, hingga abang none.
Jadi motif Betawi itu tidak melulu gigi balang atau ondel-ondel. Ada banyak ide.
Ketekunannya mengeksplorasi dan menerjemahkan motif Betawi ke dalam kain sudah mewujud. Di antaranya di kain cukin atau selendang Betawi yang biasa dipakai di pundak oleh lelaki Betawi juga kain yang bisa dipakai oleh para wanita dan dipadupadankan dengan kebaya encim yang juga ia buat.
”Saya bahkan diminta memasok suvenir untuk Biro KDH Pemprov DKI untuk tamu-tamu pemerintah,” jelas Eni.
Yang terbaru, ia ditantang Dishub DKI untuk bisa menciptakan batik motif perhubungan. Eni juga menuturkan, ia menyambut baik hal itu.
Ketekunannya pada batik sudah berdampak pada keluarganya. Ketiga anaknya mendapatkan pendidikan baik. Sementara ibu-ibu di sekitar rumahnya di Kelapa Dua, Jakarta Barat, juga kecipratan. Mereka ikut berdaya sejak bergabung dalam kegiatan Eni.
”Sebelum pandemi ada 20-an ibu yang terlibat. Selama pandemi Covid-19 sepi, kami tidak berproduksi karena tidak ada pembeli. Ibu-ibu yang terlibat tinggal lima orang,” jelasnya.
Berkat kegigihannya itu pula yang membawa Eni menjadi salah satu sosok yang dinominasikan dalam Ibu Ibukota Awards. Ibu Ibukota Awards sendiri merupakan wadah apresiasi yang mengangkat cerita perempuan penggerak aksi hidup baik yang ada di Jakarta. Agenda yang digagas Fery Farhati, istri Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, itu, diselenggarakan pertama kali pada 2019 dan berlanjut setiap tahun.
Tahun ini, Eni terpilih masuk nominasi Ibu Ibukota Awards bersama 20 sosok perempuan lainnya yang juga punya aksi hidup baik. Eni terpilih karena kewirausahaan dan kemampuannya memberdayakan perempuan di sekitarnya.
”Saya sendiri bingung bisa terpilih. Namun, ya, itu yang saya lakukan. Saya bersyukur bisa membantu warga sekitar saya,” jelasnya.
Sambil menuturkan bahwa peluang selalu ada apabila orang mau berupaya, ia berharap pemerintah terus memperhatikan golongan UMKM sebab golongan ini sangat tangguh bahkan saat pandemi. ”Jangan lupa memberi pembinaan dan tentu saja membantu membukakan peluang pasar bagi UMKM,” jelasnya.
Di sisi lain, Eni tetap berharap, kegiatannya di bidang batik akan segera mendapatkan penerus. ”Harapan jatuh di anak bungsu saya. Dia sekarang masih belajar-belajar dengan saya,” tutup Eni.
Eni Ahaeni
Lahir : Plered, Cirebon, 29 September 1953
Pendidikan: Sekolah Kesejahteraan Keluarga Atas (SKKA) Cirebon