Generasi Sandwich, Naik di Sini Tekan di Sana
Problem keuangan yang dihadapi generasi sandwich kebanyakan bukan terletak pada pemasukan yang kurang, melainkan pengeluaran yang berlebih.
Sering kali pengeluaran keluarga besar yang ditanggung generasi sandwich bersifat konsumtif, seperti biaya arisan atau ongkos jalan-jalan. Kalau kantong tak mau jebol, generasi sandwich dan anggota keluarga yang ditanggungnya harus sama-sama belajar menghargai uang. Dan, ini yang susah!
Saraswati (36) seorang lajang bergaji besar. Dengan gaji per bulannya, sebenarnya ia bisa hidup nyaman dan memiliki banyak aset. Nyatanya, setiap bulan ia mesti pontang-panting menutup pengeluaran keluarga yang besar. Untuk membiayai kebutuhan rutin orangtua dan keluarga, ia mesti menyiapkan dana Rp 20 juta per bulan. Belum lagi untuk menutup kebutuhan dadakan lainnya.
Persoalannya, sebagian besar uang itu habis digunakan untuk ongkos jalan-jalan. ”Gue orangnya enggak tegaan. Gue prinsipnya rela melakukan apa pun buat orang terdekat,” ujar karyawan bidang pemasaran sebuah perusahaan teknologi ini.
Pandemi Covid-19 memberi sedikit keuntungan buat Saraswati. Ia kini memiliki alasan kuat untuk meminta orangtuanya tidak pergi ke mana-mana dulu. ”Uang bulanan yang mereka terima bisa ditabung dulu. Lumayan, sudah terkumpul Rp 15 juta. Itu lebih bagus daripada enggak punya tabungan sama sekali,” ujarnya.
Pada akhirnya, Saraswati mengaku harus sedikit ”tega” meredam gaya hidup orangtuanya yang boros. Tidak cuma untuk jalan-jalan, tapi juga menutup tagihan kartu kredit orangtua. ”Jadi, sekarang gue yang menentukan plafon dan bikin slot untuk kebutuhan-kebutuhan mereka,” katanya.
Ia berusaha memberi pemahaman bahwa uang dan budget adalah dua hal yang berbeda. Ada uang belum tentu ada budget. Jadi, kalau ada permintaan di luar budget, ia bisa menolaknya. ”Ganti oli, servis, dan pajak mobil, misalnya, kan bisa direncanakan. Bisa dong hal-hal seperti itu diajukan pakai sistem proposal sebulan sebelumnya,” ujar Saraswati.
Jalan serupa ”terpaksa” diambil oleh Chandra (36), laki-laki yang setelah bercerai mesti menanggung biaya hidupnya sendiri, dua anak, dan orangtuanya. Setiap bulan ia mengeluarkan uang Rp 7 juta untuk kebutuhan anak-anaknya, Rp 2 juta untuk kebutuhan dapur orangtua, dan Rp 2 juta untuk biaya berobat ayahnya yang terkena stroke iskemik.
Gue sudah dikasih hidup enak (oleh orangtua) sejak lahir. Fair saja sekarang gue jadi fondasi hidup mereka, ada rasa paying forward (membalas budi) pada mereka.
Chandra menganggap sokongan keuangan untuk orangtuanya merupakan bentuk baktinya kepada orangtua. Apalagi, sebagai anak laki-laki keturunan Minang, mencukupi kebutuhan ibunda adalah tradisi turun-temurun.
”Gue sudah dikasih hidup enak (oleh orangtua) sejak lahir. Fair saja sekarang gue jadi fondasi hidup mereka, ada rasa paying forward (membalas budi) pada mereka,” katanya.
Masalahnya, lanjut Chandra, kadang kala ibunya meminta uang untuk bayar arisan yang jumlahnya Rp 500.000-Rp 1 juta. Untuk permintaan itu, Chandra terpaksa mengatakan, ”Enggak!” Untuk melakukan itu mesti lewat komunikasi yang baik. ”Sekarang udah enggak pernah minta buat arisan lagi. Mungkin karena gue ngebentengin, mereka jadi bisa ngerem sendiri,” kata Chandra yang sedang mati-matian menjaga usaha rintisan pelantar gim daring.
Mengatakan ”tidak” pada orangtua dan keluarga besar memang bukan perkara mudah. Ike Noorhayati Hamdan (43) merasakan hal itu setiap kali mendapat permintaan bantuan keuangan dari orangtua untuk kebutuhan konsumtif, seperti bayar arisan atau ongkos pengajian ke luar kota. Tapi, demi kebaikan bersama, ia berani menolak permintaan semacam itu.
Ya..., paling ribut sebentar sama orangtua, dicemberutin ibu. Lama-lama dia paham juga, ha-ha-ha.
”Ya..., paling ribut sebentar sama orangtua, dicemberutin Ibu. Lama-lama dia paham juga, ha-ha-ha,” tambah Ike yang bekerja sebagai perencana keuangan bersertifikat.
Ike mengaku sudah kenyang menjalani hidup sebagai generasi sandwich. Ketika awal berumah tangga dengan Setya Yudha pada 2005, dia mesti membagi penghasilan untuk menutupi sebagian pengeluaran orangtua dan biaya pendidikan adik kandung dan adik iparnya. Saat itu, ia dan suami bekerja dengan penghasilan gabungan Rp 8 juta. Uang itu dialokasikan sekitar Rp 1 juta untuk kontrak rumah dan listrik; Rp 4 juta untuk kebutuhan orangtua, adik, dan adik ipar; sisanya Rp 3 juta untuk cicilan sepeda motor dan biaya hidup berdua suami.
”Pokoknya duit Rp 3 juta tuh dicukup-cukupin untuk pengeluaran rumah tangga. Enggak ada yang namanya dana untuk jalan-jalan atau ngopi di kafe,” ujar Ike.
Dengan mengatur pengeluaran secara ketat, perekonomian rumah tangga bisa berputar, bahkan tumbuh. Ketika penghasilannya bertambah, ia bisa mengalokasikan dana untuk investasi, seperti mencicil rumah dengan skema kredit perumahan rakyat. Dia mengaku kini punya empat rumah, yang semuanya diperoleh dengan cara mencicil.
”Gue ini bisa dibilang ’Ratu KPR’, ha-ha-ha. Semua itu investasi untuk masa tua dan anak-anak. Gue enggak mau kalau udah tua hidup gue bergantung sama anak,” katanya.
Tekan di sini
Belajar dari pengalaman dan pengetahuannya sebagai perencana keuangan, Ike setahun terakhir rajin memberikan edukasi soal perencanaan keuangan kepada sesama generasi sandwich lewat seri webinar dan konsultasi personal. Sebagian besar kliennya adalah perempuan lajang atau pasangan muda dengan penghasilan Rp 10 juta-Rp 20 juta per bulan serta menanggung kehidupan orangtua, adik, atau anak.
Problem keuangan yang dihadapi klien, lanjut Ike, umumnya bukan terletak pada pemasukan yang kurang, melainkan pengeluaran yang berlebih. Ironisnya, pengeluaran mereka justru paling banyak untuk menunjang gaya hidup pribadi dan keluarga. Ada klien yang 90 persen penghasilannya habis untuk belanja di lokapasar.
Ada juga klien yang 50 persen penghasilannya habis untuk menunjang gaya hidup orangtua dan keluarga besar, seperti untuk membayar arisan, jalan-jalan, cicilan mobil, sampai renovasi rumah. ”Kalau orangtua sudah bilang, ’apa kata orang’, kok kita enggak ikut arisan, kok anaknya enggak ganti mobil padahal baru naik pangkat, jebol sudah. Mengongkosi ’apa kata orang’ itu mahal. Berapa pun penghasilannya akan terus kebobolan,” kata Ike.
Ike selalu menekankan kepada klien-kliennya untuk mengatur pengeluaran dengan skema 40 persen untuk biaya hidup keluarga, 30 persen untuk pengeluaran produktif dan konsumtif, 20 persen untuk investasi, dan 10 persen untuk pengeluaran lain-lain. Nah, pengeluaran untuk membantu orangtua dan keluarga bisa dimasukkan di pos pengeluaran produktif atau pos lain-lain. ”Kalau di sini naik, pengeluaran yang di sana mesti ditekan, terutama pengeluaran gaya hidup yang besar tapi jarang dihitung.”
Pemahaman semacam ini, ujarnya, harus dimiliki si pencari nafkah utama, orangtua, anak, adik/kakak, dan seterusnya. Ironisnya, edukasi soal perencanaan keuangan belum luas. ”Yang terjadi sekarang, banyak orang mengalami mobilitas kelas sosial karena ekonomi membaik, tapi tidak diiringi dengan pengetahuan bagaimana mengatur uang.”
Ike mengakui, edukasi soal perencanaan keuangan kepada generasi senior lebih sulit dilakukan. Pasalnya, di masa lalu, generasi senior banyak yang tidak mendapat pendidikan soal perencanaan keuangan, investasi, asuransi, dan sebagainya. Baru beberapa tahun belakangan saja, orang mulai sadar pentingnya memiliki pengetahuan soal perencanaan keuangan dan investasi untuk masa tua.
Selain itu, ada hambatan psikologis ketika anak ingin melakukan edukasi keuangan kepada orangtuanya. ”Anaknya sungkan, sementara orangtua sering menganggap anaknya lancang kalau menggurui mereka soal pengelolaan keuangan,” tambahnya.
Pendidikan soal perencanaan keuangan untuk semua generasi itu sangat penting. Pasalnya, menurut Ike, sikap orang terhadap uang sering kali terkait dengan relasi sosial. Apalagi dalam kultur masyarakat Indonesia, orang tidak hanya mesti bertanggung jawab mengurus orangtua, tetapi juga dituntut terlibat memelihara ikatan sosial, termasuk ikut membiayai acara-acara adat. ”Ada klien saya yang uangnya sering habis untuk terlibat di acara keluarga dan adat. Kalau begini, berapa pun penghasilannya enggak akan cukup.”
Guru Besar Departemen Sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto menjelaskan, peran pranata sosial atau kerabat memang mendua. Di satu sisi menjadi jaring pengaman. Jika terjadi sesuatu, mereka akan meminta bantuan kepada kerabat atau keluarga. Tapi, di sisi lain, peran pranata sosial atau kerabat itu juga bisa menjadi beban.
”Jadi, ini fungsi yang ambivalen sebenarnya, sebagai jaring pengaman sekaligus bisa menjadi beban. Karena ketika orang itu tidak mengikuti ritual-ritual yang ada di dalam pranata-pranata sosial itu, seperti terlibat dalam upacara adat, membantu kerabat yang membutuhkan, bisa saja mereka disisihkan,” tutur Bagong.
Orang-orang tersebut, menurut dia, tetap mau terlibat karena mereka yakin, saat mereka membutuhkan, kerabat tidak akan tinggal diam. Mereka pasti juga akan membantu.
”Dampak ke finansial sudah pasti ada. Tidak jadi masalah kalau ada kerabat yang dituakan secara ekonomi, mapan. Dia bisa menjadi patron yang malah bisa membantu memenuhi kebutuhan keluarga besarnya. Tapi, kalau tidak mampu, ini bisa jadi beban. Kalau gengsinya lebih dikedepankan, itu malah membebani,” ujarnya.
Bagaimanapun, uang memang perlu diatur alokasinya agar kita, orangtua, dan keluarga bisa bahagia. (DOE/TRI/LSA)