Selain siaga dengan pompa air, revitalisasi waduk dan pengerukan sungai terus dikerjakan. Namun, penanganan lintas wilayah belum tampak dilakukan untuk mengatasi banjir di Jakarta.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jakarta bersiap menghadapi musim hujan ekstrem yang berisiko banjir. Persiapan yang dilakukan di antaranya memastikan pompa-pompa air siap digunakan dan petugas bersiaga penuh. Namun, upaya itu dinilai belumlah menyeluruh, tidak mencakup penanganan dari hulu ke hilir.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada apel kesiapsiagaan menghadapi musim hujan, Rabu (13/10/2021) pagi, menjelaskan, dari prediksi disampaikan, Januari mendatang curah hujan ekstrem akan tiba. Apel itu disebut Anies sebagai sikap kesiapsiagaan DKI Jakarta menghadapi musim hujan dengan curah ekstrem.
Yang perlu digarisbawahi, kata Anies, Jakarta menghadapi beberapa jenis banjir. Pertama dengan kawasan utara yang adalah kawasan pesisir, yang saat permukaan laut naik, maka Jakarta berpotensi menghadapi rob.
Apabila pada saat bersamaan hujan deras, aliran sungai menuju muara akan bertemu permukaan air laut yang lebih tinggi. ”Di situ diperlukan kerja ekstra untuk bisa memompa, memastikan bahwa air sungai di muara bisa mengalir dengan baik dan masyarakat di utara terhindar dari potensi rob,” tuturnya.
Kedua, Jakarta menjadi hilir bagi 13 sungai. Ke-13 sungai itu berkapasitas daya tampung air 2.300 meter kubik.
Apabila air yang mengalir akibat hujan deras masuk ke Jakarta sampai dengan 2.300 meter kubik per detik, maka sungai-sungai bisa menampung. Antisipasinya bila hujan deras di wilayah selatan yang mengakibatkan limpasan air itu mengalir melalui sungai-sungai di dalam kota dan meluap.
Ketiga, hujan di dalam kota Jakarta. Hujan itu dihadapi sistem drainase yang dirancang mengalirkan air hujan dengan kapasitas 50 mm/hari dan 100 mm/hari. Di jalan-jalan utama kapasitasnya sampai 100 mm/hari, sedangkan di jalan perkampungan 50 mm/hari.
Di dalam kota, hujan bisa terjadi amat deras dan air yang masuk ke drainase bisa melebihi kapasitas. Akibatnya, drainase tak sanggup mengalirkan air hujan.
Potensi banjir itu, menurut Anies, dihadapi Jakarta. Itu karena bisa terjadi rob tanpa ada hujan deras. Di sisi selatan terjadi hujan lebat sehingga air mengalir ke Jakarta, dan saat bersamaan hujan lebat di Jakarta sehingga drainase dipenuhi air. Kondisi kian sulit jika ada kenaikan permukaan air laut.
Oleh karena itu, yang dilakukan Jakarta mengajak seluruh masyarakat untuk mengantisipasi. Itu, di antaranya dengan menjaga kebersihan lingkungan, membersihkan saluran, hingga tak menbuang sampah sembarangan.
Upaya lain sebagai kesiagaan, jelas Anies, merevitalisasi waduk dan pompa, gerebek lumpur di lima wilayah kota administrasi, hingga optimalisasi pelaporan masyarakat dan informasi peringatan dini.
Guru Besar Universitas Padjajaran Chay Asdak menjelaskan, Pemprov DKI Jakarta sudah memahami potensi banjir manakala hujan dengan curah ekstrem terjadi. Apalagi, memang posisi geografis Jakarta membuat Jakarta rentan banjir.
Namun, antisipasi mengandalkan pompa atau mengeruk lumpur bukanlah bentuk antisipasi menyeluruh. Pemprov DKI tidak bisa hanya mengandalkan pompa, DKI juga perlu memperkuat antisipasi dengan emergency rensponse berupa peringatan dini kepada masyarakat.
”Bagaimana seharusnya masyarakat itu diingatkan ataupun komponen lain dari Jakarta itu untuk bisa bersiap siaga ketika menghadapi banjir karena banjir memang sama sekali tidak bisa dicegah. Untuk tempat-tempat yang sama sekali tidak bisa dihindari terjadinya banjir, yang harus dikuatkan adalah peringatan dini. Peringatan dini yang bagus akan mengurangi korban jiwa,” papar Chay yang juga Ketua Harian Forum DAS Nasional itu.
Namun, lanjut Chay, Pemprov DKI juga perlu memahami, banjir itu sifatnya lintas wilayah, bisa dari tengah dan dari hulu. Untuk Jakarta, banjir itu dari DAS utamanya, DAS Ciliwung yang melintas dari Jawa Barat ke DKI Jakarta.
”Dengan kondisi seperti itu, tidak bisa persoalan penanganan banjir itu dihadapi sendiri Jakarta saja. Yang belum tampak di sini adalah koordinasi Gubernur DKI Jakarta dengan kepala daerah dari Provinsi Jawa Barat atau dari kota/kabupaten yang langsung berbatasan dengan Jakarta,” tuturnya.
Koordinasi diperlukan karena perlu ada kegiatan antarwilayah. Chay menyebut, di wilayah hulu perlu upaya mencegat banjir, misalnya dengan membuat kolam retensi, sumur resapan, juga naturalisasi sungai. ”Kalau kita bicara sumur resapan itu efektifnya di daerah Jakarta bagian selatan dan daerah hinterland-nya yang masuk Jawa Barat,” ujarnya.
Sementara di Jakarta sendiri, menurut Chay, Pemprov DKI perlu melakukan normalisasi kali. ”Pompa memang penting karena kondisi tadi. Namun, apa artinya itu kalau dihantam dengan jumlah air yang melimpah,” kata Chay.
Menurut dia, upaya normalisasi kali-kali di Jakarta juga perlu dilakukan. Sebab, normalisasi dimaksudkan untuk mempercepat air itu bisa dialirkan dari daerah genangan dan meningkatkan kapasitas tampung.
Jakarta harus melakukan penanganan banjir secara menyeluruh, berkoordinasi juga dengan gubernur Jawa Barat, juga dengan pemkot/pemkab di sekitar Jakarta.