Wakil Gubernur DKI: Jakarta Berjibaku Menanggulangi Kemiskinan
Pandemi Covid-19 membuat angka kemiskinan di DKI Jakarta naik. Bahkan, membuat DKI mundur belasan tahun lalu. Sejumlah program bantuan dikerjakan untuk membantu warga miskin dan menanggulangi ketimpangan sosial.

Keisha dan Amel menunggu pembeli minuman dan penganan di Jalan Sumarno, Cakung, Jakarta Timur, Selasa (6/4/2021).
Pada ulang tahun ke-494 Jakarta tahun ini, Jakarta bersama kota-kota lain di dunia dan kota-kota lain di Indonesia masih menghadapi pandemi Covid-19. Jakarta terus berjuang mengatasi pertambahan warga miskin, masalah kesehatan, hingga sosial ekonomi yang belum membaik di tahun kedua pandemi ini.
Ahmad Riza Patria, Wakil Gubernur DKI Jakarta dalam wawancara khusus di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (16/6/2021), menjelaskan, angka kemiskinan di DKI Jakarta sebetulnya terus menurun. Pada Maret 2017 persentase angka kemiskinan 3,77 persen, sedangkan pada September 2019 turun ke angka 3,42 persen. Pandemi Covid-19 membuat angka kemiskinan naik hingga menjadi 4,81 persen pada Maret 2020.
”Kita tahu pandemi ada dampak. Kesehatan berdampak pada masalah ekonomi sosial,” kata Ariza, panggilan akrab Ahmad Riza.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melihat pandemi Covid-19 sangat berdampak kepada warga DKI Jakarta dan memunculkan ketimpangan. Untuk mengatasi masalah kesehatan karena pandemi Covid-19, pemerintah membuat pengetatan-pengetatan. Pembatasan sosial membuat banyak sektor usaha harus tutup sehingga berdampak pada warga yang kehilangan pekerjaan karena pemutusan hubungan kerja, kehilangan usaha dan atau penghasilan yang berkurang secara signifikan, hingga warga yang dirumahkan tanpa dibayar atau dipotong gajinya.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria ditemui setelah mengikuti apel Operasi Ketupat, di Polda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (5/5/2021).
Lainnya, pembatasan demi pemulihan kesehatan membuat pajak menurun hingga pembangunan menurun. Hal ini terkait dengan DKI Jakarta yang adalah kota jasa sehingga pendapatan daerah lebih banyak disumbang dari sektor perpajakan.
”Kalau semua tutup, restoran tutup, bagaimana menarik pajak? Dibatasi saja bermasalah, apalagi ditutup. Jadi, masalah ekonomi berdampak sekali dan itu yang harus diselesaikan segera,” katanya.
Baca juga : Bantuan Sosial Covid-19 Terus Mengalir
Dari aspek kemiskinan, dampak pembatasan-pembatasan untuk kepentingan pemulihan kesehatan telah membuat angka kemiskinan di Jakarta naik. Data BPS menyebutkanb, di September 2019 persentase angka kemiskinan DKI 3,42 persen. Lalu pada September 2020 angka kemiskinan naik menjadi 4,69 persen atau naik 1,2 persen.
Melihat ke belakang, angka kemiskinan pada September 2020 ini mendekati persentase angka kemiskinan DKI Jakarta tahun 2007 yang sebesar 4,61 persen. Jakarta seperti kembali mundur 13 tahun yang lalu untuk isu kemiskinan.
Untuk menanggulangi kemiskinan yang timbul dan pertambahan warga miskin, Pemprov DKI Jakarta mempunyai sejumlah program bantuan sosial. Program tersebut, di antaranya Kartu Anak Jakarta, Kartu Penyandang Disabilitas Jakarta, Kartu Lansia Jakarta, Kartu Jakarta Pintar, Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul, Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yang bersumber dari APBD, serta program pangan murah.

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya Teguh P Nugroho mengapresiasi program-program perlindungan sosial di Ibu Kota. Meskipun kebanyakan untuk pangan, jika dibandingkan dengan kota sesama episentrum Covid-19 seperti Kuala Lumpur, ia menilai sistem perlindungan di Jakarta lebih baik.
Selain program-program tersebut, sebagai perlindungan sosial dari dampak pandemi Covid-19 Pemprov DKI Jakarta bersama pemerintah pusat bersinergi memberi bantuan sosial, yaitu bantuan sembako pada 2020 dan bantuan sosial tunai (BST) pada 2021.
Perlindungan sosial ini, menurut Ariza, sempat terganggu. Untuk bantuan sosial pangan, nilai bantuan sempat berkurang karena ada pabrik, distributor, mediator, dan lainnya. Untuk bantuan sosial tunai, Pemprov DKI Jakarta bekerja sama dengan bank DKI untuk penyaluran. ”Jadi pasti tepat sasaran karena data ada dan langsung disalurkan lewat rekening penerima bantuan itu,” katanya.
Baca juga : Dirugikan Kasus Bantuan Sosial, Warga Akan Gugat Ganti Rugi
Meski demikian, dalam evaluasi Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya, penyaluran bantuan tunai itu juga ada yang tidak tepat. ”Kartu ATM penerima bantuan ada yang dipegang RT atau RW atau fasilitator PKH sehingga bantuan tunai itu malah diambil oleh RT atau RW atau fasilitator dan dibagikan dalam bentuk sembako,” kata Teguh.

Dari pemantauan pendistribusian BST tahap pertama oleh Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) juga ditemukan adanya salah sasaran dan temuan gangguan dalam distribusi.
Dika Moehammad, Sekretaris Jenderal SPRI memaparkan, pada temuan pertama banyak penerima BST merupakan keluarga dengan kondisi sosial ekonomi mampu memiliki mobil, kontrakan, toko sepatu. Keluarga mampu itu tidak pernah mendaftar untuk menerima BST dan tersebar di 12 kelurahan.
Keluarga miskin terdampak Covid-19, kata Dika, banyak yang tidak mendapatkan BST. Ada 600 keluarga dengan KTP DKI dan 534 keluarga dengan KK daerah yang tidak mendapatkan bantuan. ”Mereka ini bekerja di antaranya sebagai buruh lepas, buruh pabrik, buruh panggul, cuci gosok, kupas bawang, tukang sampah, penjual kopi keliling, penjual makanan keliling, guru honorer, hingga pedagang gorengan,” ujarnya.
Adapun untuk temuan seperti yang ditemukan Ombudsman, sesuai data SPRI, ada pada temuan kedua terkait proses pendistribusian. Dari wawancara 300 penerima BST, terjadi pemotongan secara tidak resmi di kelurahan. Modus pemotongan meliputi untuk dibagikan kepada warga yang tidak mendapat BST dan untuk pembangunan pos RW.
”Lalu banyak penerima manfaat mengeluarkan uang bantuan untuk diberikan kepada oknum, sebagai ucapan terimakasih. Juga ada warga tidak bisa mencairkan BST,” kata Dika.

Ketua Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia Dika Moehammad.
Teguh dan Dika juga menyoroti pemberian BST Rp 300.000 per bulan itu habis dalam waktu singkat dan kebanyakan dipakai untuk membeli kebutuhan pokok. ”Memang ada banyak program. Tapi ini sebagai kompensasi saja, artinya, ya, untuk bertahan hidup saja, belum sampai ke ranah pembukaan iklim usaha juga pemberdayaan,” kata Teguh.
Akibatnya, untuk warga yang hidup dari sektor informal ataupun usaha mikro, meski diberikan bantuan, ruang usahanya tidak ada. ”Ruang usaha yang kompetitif sekarang ini dengan digital. Seberapa banyak UMKM atau usaha mikro yang digeluti masyarakat miskin ini berpindah dari luring ke daring? Seberapa besar dampak pemberdayaan masyarakat yang dilakukan pemerintah baik Kemensos maupun Pemda untuk melakukan mitigasi dari luring ke daring?” kata Teguh.
Seperti yang dikatakan Dika, BST Rp 300.000 pun tidak cukup untuk modal berjualan gorengan. Karena BST sebesar itu habis dalam dua hari sampai dengan satu minggu. BST pun tidak mencukupi kebutuhan keluarga.
Warga miskin yang belum masuk DTKS diberi kesempatan untuk mendaftar (Ahmad Riza)
Itu sebabnya, kata Teguh, hari-hari ini di jalanan banyak warga yang terdampak pandemi terlihat berada di jalanan. Mereka tampil sebagai manusia boneka juga manusia silver. Kemudian ojek daring juga sekarang menjadi usaha informal yang banyak peminat tetapi pengguna sedikit.

Warga menyusuri rel menuju tempat mandi umum di kawasan pemukiman padat penduduk di tepi jalur KRL, Petamburan, Jakarta Pusat, Kamis (25/3/2021).
Ahmad Riza melanjutkan, sebagai bentuk perlindungan sosial dari dampak pandemi, untuk bantuan sembako, Pemprov DKI Jakarta membantu 1.160.409 keluarga. Sementara pemerintah pusat memberikan bantuan kepada 1.299.794 keluarga.
Pada 2021, untuk bantuan tunai senilai Rp 300.000 per bulan dari Januari-April (sudah berjalan), Pemprov DKI Jakarta memberi bantuan kepada 1.055.216 keluarga melalui Bank DKI. Pemerintah pusat memberikan bantuan kepada 733.747 keluarga melalui PT Pos Indonesia.
Dengan sasaran sebanyak itu, lalu juga pandemik yang masih berlangsung, Ahmad Riza menyatakan, Pemprov DKI terus melakukan evaluasi. Evaluasi atas program penanggulangan kemiskinan dilakukan oleh Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Pemprov DKI Jakarta, yaitu ada Dinas Sosial, Biro Kesejahteraan Sosial, dan Inspektorat.
Itu sebabnya saat ini Dinsos DKI Jakarta sebagai perangkat daerah yang melaksanakan program perlindungan sosial melakukan pemutakhiran data atas masyarakat miskin atau fakir miskin yang belum masuk dalam daftar terpadu kesejahteraan sosial (DTKKS). Pendaftaran itu sudah dimulai sejak 7 Juni dan akan berakhir 25 Juni sebelum akan dilakukan verifikasi.
”Warga miskin yang belum masuk DTKS diberi kesempatan untuk mendaftar,” kata Ahmad Riza.

Tangkapan layar dari https://fmotm.jakarta.go.id/
Langkah-langkah itu menjadi upaya DKI Jakarta untuk membantu dan menangani kemiskinan yang muncul karena pandemi. ”DKI Jakarta juga mengusung semangat kolaborasi dalam penanganan kemiskinan,” jelasnya.
Pemprov DKI membuka kesempatan bagi BUMN, BUMD, swasta, juga pemerintah pusat, LSM, dan komunitas. ”Dalam menanggulangi kemiskinan dan ketimpangan sosial, kami tidak bisa berdiri sendiri, harus berkolaborasi,” jelas Ahmad Riza.
Melalui laman resmi penanganan Covid-19, kolaborasi itu disebut sebagai Kolaborasi Sosial Berskala Besar (KSBB) yang saat ini menyasar pangan. ”Namun kami mengimbangi dengan vaksinasi. Supaya masyarakat sehat, kegiatan ekonomi bisa berjalan,” jelasnya.
Teguh dan Dika mengapresiasi langkah Pemprov DKI Jakarta melakukan pemutakhiran DTKS karena di tempat lain belum ada.
Namun, Teguh juga mengingatkan, apa pun bentuk bantuannya karena pandemi masih berlangsung, bantuan sebagai kompensasi masih diperlukan. Namun, harus disertai dengan pemberdayaan masyarakat dan pemulihan kesehatan. Sebab, jika hanya bantuan kompensasi tanpa pemberdayaan, tidak akan efektif.

Rosita mengajak Hamzah, cucunya menghirup udara segar di ruang terbuka yang berada di antara jalur kereta di kawasan hunian semipermanen padat penduduk di Pademangan, Jakarta Utara, jumat (18/6/2021).