Kala Korban Kejahatan Seksual dan Eksploitasi SMA SPI Batu Cari Perlindungan di Jakarta
Untuk pertama kalinya, korban kejahatan seksual anak di SMA Selamat Pagi Indonesia, Malang, buka suara mengenai kasus yang mereka alami.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F06%2F895ab936-b4c0-4a7c-bce2-8d8bc368d743_jpg.jpg)
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait.
Dua korban kejahatan seksual dan eksploitasi anak, alumni SMA Selamat Pagi Indonesia, di Batu, Malang, Jawa Timur, datang ke Jakarta untuk mencari perlindungan negara. Upaya yang dibantu oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak tersebut dilakukan karena korban anak dan keluarga mendapat tekanan dari terlapor.
Selasa (15/6/2021), dua dari 14 korban yang telah melaporkan kasusnya ke Polda Jawa Timur hadir di kantor Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak di Jakarta Timur. Mereka adalah alumni dari sekolah yang didirikan dan dimiliki JE, selaku terlapor. Untuk pertama kalinya mereka buka suara atas kasus yang dialami.
Didampingi Arist Merdeka Sirait selaku Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak, kedua perempuan muda berhijab tersebut tampil di depan media mengenakan kacamata hitam dan masker. Untuk melindungi korban, nama mereka Kompas samarkan sebagai A dan B.
Kejadian ini umumnya baru ketahuan ketika ada kejadian, tapi enggak ada kontrol. Rata-rata kasus ini terjadi karena pelaku menggunakan pendekatan keagamaan dan ekonomi. (Arist Merdeka Sirait)
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F06%2F9d9ffdc4-e4c9-40c5-b22d-3c58127fc93b_jpg.jpg)
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait menjawab pertanyaan awak media saat berada di Polres Batu, Jawa Timur, Rabu (9/6/2021), soal kasus dugaan kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan atau eksploitasi ekonomi di SMA SPI Batu.
Dalam konferensi pers, A menyebut dirinya merupakan siswi angkatan tahun 2008 yang lulus tahun 2011. Setelah lulus, ia bekerja di sekolah tersebut hingga akhirnya mengundurkan diri 2021 ini. Seperti diketahui, sekolah swasta berbasis asrama itu tidak hanya memberi kesempatan siswanya untuk mendapat pendidikan akademis secara cuma-cuma.
Sekolah yang merekrut anak-anak dari berbagai wilayah di Indonesia, tanpa mengenal latar agama dan suku itu, juga membantu siswa mengembangkan bakat nonakademis dan kewirausahaan melalui beragam unit usaha.
Baca juga : Kasus SPI, Semua Pihak Diminta Hargai Proses Hukum
A pun beruntung karena berhasil menjadi siswi berprestasi dari banyak siswa, berlatar belakang ekonomi dan sosial kurang, yang diterima di sekolah tersebut. Hal ini membuat dirinya sering berinteraksi dengan JE, selaku mentor dalam satu tim kegiatan sekolah. A mengaku sempat mengagumi JE sebagai panutan.
”Awal pendekatan, saya dan beberapa teman satu tim sering dipanggil. Kami diajak ngobrol, istilahnya dimotivasi agar bisa jadi pemimpin besar di tempat ini. Dia pernah bilang, ’Koko lihat kamu punya bakat leadership yang bagus. Koko akan kembangkan’. Setiap ketemu bilang begitu,” kata perempuan asal Madiun, Jawa Timur, tersebut.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F06%2F94264fdf-f97d-4190-8d8b-3038584795e8_jpg.jpg)
Dua korban kejahatan seksual anak di SMA Selamat Pagi Indonesia, Malang, Jawa Timur, buka suara atas kejadian yang mereka alami selama beberapa tahun, di Jakarta, Selasa (15/6/2021). Mereka didampingi Komnas Perlindungan Anak untuk berkonsultasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Jakarta Timur.
JE juga disebut pernah mengimingi-imingi A dan keluarganya hadiah tanah, saham, atau kemewahan seperti yang JE miliki saat ini. Hal itu sempat menaklukkan hati A, sampai akhirnya JE mendekatinya secara fisik. JE pernah merangkul dan memeluk A, bahkan lebih jauh dari sekadar mencium kening dan pipinya. Semua itu dilakukan JE secara berulang kepada A, terutama di luar sekolah.
”Saya merasa menderita dengan pengalaman nyata yang sudah saya alami sejak 2009. Saya alami trauma mendalam. Tapi, saya tidak sendiri, ternyata adik-adik kelas saya lainnya juga mengatakan kepada saya mereka pernah mengalami perlakuan yang sama,” tuturnya.
Dengan pengungkapan kasus ini, ia berharap pemerintah segera menindak pelaku dan menyelamatkan korban-korban lain, baik yang sudah melapor maupun belum. Di satu sisi, ia tidak menuntut SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) dibubarkan karena sekolah yang didirikan tahun 2007 itu dinilai memiliki konsep pendidikan yang bagus.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F06%2F9bd128af-65e7-4322-9255-9b2faf4fd766_jpg.jpg)
Suasana halaman depan SMA SPI di Kota Batu, Jawa Timur, terlihat lengang, Rabu (2/6/2021).
Hal sama juga diutarakan B, dari angkatan 2009. Perempuan asal daerah Kalimantan ini mengaku bersyukur bisa disekolahkan di sana bersama murid-murid beruntung lainnya. Namun, ia mengutuk perbuatan JE kepada dirinya, yang sempat ia laporkan beberapa kali ke pengurus sekolah lainnya.
Laporan demi laporan yang tidak mendapat tanggapan dari pihak internal tersebut akhirnya diusut tahun ini ketika kasusnya dilaporkan ke polisi oleh pihak ketiga. ”Tujuan kami berbicara di sini adalah agar hukum yang bergerak untuk menindak pelaku, sementara sekolah tetap lanjut karena banyak adik-adik kami yang butuh bersekolah,” ujarnya.
Perlindungan saksi
Arist menjelaskan, pihaknya akan mengantar dua perwakilan korban tersebut berkonsultasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Jakarta Timur. Hal ini dimaksudkan agar korban mendapat perlindungan dari pemerintah pusat, selain dari pemerintah daerah di Jawa Timur, termasuk polisi yang memproses kasus tersebut sejak akhir Mei 2021.
”Kami juga berharap ada perhatian dari Kepala Polri agar proses pendidikan yang seperti ini mendapat atensi. Kedua, kami berharap agar korban dan keluarganya mendapat perlindungan negara seperti saksi, karena sudah ada tekanan dari pihak terlapor,” kata Arist.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F06%2F0168f2f4-2407-4a63-803d-6127007b6391_jpg.jpg)
Aksi damai oleh Pemuda Pancasila Kota Batu di depan SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) di Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, Senin (7/6/2021).
Tekanan terhadap korban yang dimaksud Arist berupa dukungan dari kelompok terlapor yang menyangkal adanya tuduhan kekerasan seksual dan eksploitasi siswa. Hal itu dikhawatirkan dapat memperlambat pengusutan kasus. Apalagi, beberapa pengelola sekolah juga ikut mengabaikan laporan korban dan perbuatan terlapor.
Minggu lalu, Komnas Perlindungan Anak melaporkan empat pengelola sekolah sebagai saksi ke penyidik kasus di Polda Metro Jawa Timur. Menurut Arist, dalam Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak, sikap pengelola sekolah yang tidak melaporkan dugaan kekerasan pada anak bisa tergolong sebagai pembiaran pelanggaran.
Baca juga : Polda Jatim Periksa Pengelola SMA Selamat Pagi Indonesia
Adapun JE dilaporkan dengan tiga pelanggaran pasal UU Perlindungan Anak. Kejahatan seksual yang diperbuat JE bisa membuatnya dihukum 20 tahun penjara hingga seumur hidup. Lalu, JE juga bisa dijatuhi hukuman 15 tahun penjara atas laporan kekerasan fisik dan minimal 5 tahun penjara atas eksploitasi ekonomi terhadap anak.
”Pasal berlapis ini bisa dikenakan kepada JE karena ada laporan siswa dipaksa memprioritaskan pekerjaan di unit usaha daripada belajar. Kalau banyak tamu yang datang dan dilayani, murid-murid di sana akan mendapat imbalan, kalau tidak, dapat kekerasan fisik,” tutur Arist.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F06%2F518cc0cb-cccb-46e8-9949-8a05e69c53d1_jpg.jpg)
Suasana di salah satu bagian dari SMA Selamat Pagi Indonesia (SPI) di Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, yang megah, Senin (7/6/2021).
Sejauh ini, 14 orang yang mayoritas menjadi korban kejahatan seksual anak telah melapor dan dibuatkan berita acara pemeriksaannya. Di luar itu, berdasarkan laporan yang masuk melalui beberapa hotline di posko aduan, diperkirakan ada sekitar 80 orang yang menjadi korban JE.
Kontrol sekolah asrama
Atas kasus ini, Arist berharap Pemerintah Provinsi Jawa Timur memberi perhatian pada proses pendidikan anak di sekolah asrama. Di Jawa Timur sendiri, diperkirakan ada 6.000 sekolah yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan asrama. Terbaru, kata Arist, ada 23 santri usia 3 tahun sampai 15 tahun yang jadi korban kejahatan seksual di Kabupaten Sidoarjo.
Selain Jawa Timur, banyak juga sekolah asrama di daerah lain di Indonesia yang tidak lepas dari sengkarut kasus kejahatan seksual dan eksploitasi anak, seperti di Lampung dan Jombang. Situasi ini juga perlu mendapat perhatian dari pemerintah pusat.
”Kejadian ini umumnya baru ketahuan ketika ada kejadian, tapi enggak ada kontrol. Rata-rata kasus ini terjadi karena pelaku menggunakan pendekatan keagamaan dan ekonomi,” pungkasnya.
Akan dipanggil
Tim penyidik Kepolisian Daerah Jawa Timur berencana memanggil dan memeriksa JE, pendiri SMA Selamat Pagi Indonesia, Batu. JE masih berstatus terlapor kasus dugaan kejahatan seksual, penganiayaan, dan eksploitasi ekonomi.
”Kami akan panggil dan periksa terlapor setelah diadakan gelar perkara kedua,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jatim Komisaris Besar Gatot Repli Handoko di Surabaya, Selasa (15/6/2021) petang.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F12%2F20191219Bah9_1576727343.jpg)
Suasana Apel Gelar Pasukan Operasi Lilin Semeru 2019 di Polda Jawa Timur, Surabaya, Kamis (19/12/2019).
Untuk gelar perkara kedua, tim penyidik berkoordinasi dengan kejaksaan. Tim penyidik masih perlu menggali informasi dari 14 saksi korban atau pelapor sekaligus melengkapi bukti-bukti. Tim penyidik juga mendalami laporan secara lisan yang masuk melalui saluran pengaduan (hotline) di Polda Jatim dan atau Kepolisian Resor Batu.
”Sejauh ini, kami telah memeriksa 14 saksi korban yang juga melaksanakan visum et repertum untuk melengkapi berkas pemeriksaan,” kata Gatot.
Penyelidikan kasus ini, lanjut Gatot, ditempuh dengan kehati-hatian untuk memenuhi prinsip keadilan dan perlindungan. Kasus dilaporkan setelah 10-11 tahun sejak kejadian di mana para pelapor ketika itu masih menjadi siswa siswi SMA Selamat Pagi Indonesia. Dalam perkembangannya, ada indikasi bahwa tiga dugaan kejahatan tadi masih berlaku sampai tahun 2020.
Adapun Kuasa Hukum JE, Recky Bernadus Surupandy, menyatakan belum bisa berkomentar. Pihaknya belum mendapat informasi penuh tentang pernyataan mantan siswa SMA SPI. Selama ini, pihaknya menyatakan menghormati proses hukum dan masih menunggu jika nantinya ada panggilan terhadap JE.