Mengikis Kesenjangan Kompleks Berpagar dengan Kampung Kota
Penelitian di Jakarta dan Yogyakarta, warga kompleks berpagar mengidentifikasi diri mereka sebagai komunitas yang modern, berpendidikan, dan sejahtera.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kompleks perumahan, terutama yang berupa kluster atau komunitas berpagar, menjadi salah satu penyebab tingginya kesenjangan sosial di wilayah perkotaan akibat minimnya interaksi penghuninya dengan warga kampung di sekitar. Perlu kebijakan politik berbasis kearifan lokal untuk mengikis kesenjangan dengan mengatur tata huni masyarakat perkotaan agar tertib dan saling memberdayakan.
Sorotan itu muncul dalam seminar daring ”Komunitas Berpagar dan Ketimpangan Sosial di Indonesia” yang diadakan oleh Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2K LIPI), Selasa (23/3/2021). Pembicara utamanya dosen senior Universitas Queensland, Australia, Sonia Roitman. Ia meneliti berbagai komunitas berpagar di Australia, Argentina, Afrika Selatan, dan Indonesia selama 25 tahun terakhir.
Roitman menjelaskan, komunitas berpagar secara umum adalah kompleks perumahan yang jalan masuknya dihalangi pagar maupun portal sehingga orang luar tidak bisa memasuki kompleks seenaknya. Rumah-rumah di dalamnya tertata sesuai aturan pengelolaan pembangunan di kompleks tersebut.
Interaksi kampung-kompleks umumnya bersifat transaksional. Ini tidak membantu memecahkan stigma antara satu komunitas dengan yang lain. (Sonia Roitman)
Selain itu, ada berbagai sarana olahraga, ruang terbuka hijau, aula pertemuan, dan lain-lain yang umumnya hanya boleh untuk warga kompleks sehingga orang dari luar, termasuk dari perkampungan di sekitar tidak bisa memanfaatkannya.
”Konteks kompleks berpagar atau berportal ini juga mencakup apartemen dan kondominium. Kompleks dihuni oleh orang-orang homogen dari aspek tingkat pendidikan yang tinggi dan status sosial-ekonomi menengah ke atas,” paparnya.
Secara garis besar, Roitman menganalisis alasan pembangunan kompleks-kompleks ini ialah memberikan keamanan, kebersihan, dan berbagai sarana penunjang hidup yang baik. Di beberapa negara, sarana ini tidak diberikan oleh pemerintah. Kalaupun ada, mutunya buruk seperti taman-taman kota yang kotor dan berbahaya. Akibatnya, layanan yang semestinya dasar dan menjadi hak hidup orang banyak mengalami swastanisasi dan hanya bisa diakses kalangan yang mampu membayar.
”Bahkan, di Jakarta saja kini sudah ada 25 kota swasta, yaitu kompleks perumahan berportal yang super luas. Di dalamnya sudah ada sekolah, pusat perbelanjaan, dan perkantoran sendiri sehingga warganya hampir tidak perlu keluar dari lingkungan perumahan mereka,” ujarnya.
Akibatnya, interaksi dengan penduduk di luar kompleks semakin minim. Hal ini selain memperbesar kesenjangan sosial juga kecemburuan sosial. Jika pun tidak ada konflik yang terjadi, masyarakat hidup terpisah di dalam gelembung-gelembung kenyamanan masing-masing dan tanpa disadari mengembangkan stigma terhadap kelompok yang berlainan dengan mereka.
Roitman memaparkan, dalam penelitiannya di Jakarta dan Yogyakarta, warga kompleks berpagar mengidentifikasi diri mereka sebagai komunitas yang modern, berpendidikan, dan sejahtera.
Di sisi lain, penduduk kampung kota dipandang sebagai komunitas yang tradisional, tidak tertata, kurang sejahtera, dan tidak mengenyam pendidikan tinggi. Sebaliknya, warga perkampungan melihat orang-orang yang tinggal di kompleks itu angkuh, cuek, dan permisif karena tidak menganut nilai tradisi tertentu.
”Interaksi kampung-kompleks umumnya bersifat transaksional. Misalnya warga kampung bekerja di kompleks sebagai petugas satpam, pengemudi, dan asisten rumah tangga. Hal ini tidak membantu memecahkan stigma antara satu komunitas dengan yang lain,” ujarnya.
Menurut dia, harus ada kebijakan politik dari pemerintah, setidaknya pemerintah di tingkat kabupaten/kota mengenai tata ruang dan pembangunan permukiman yang inklusif. Kebijakan berupa hunian berimbang seperti pengadaan perumahan rakyat agar masyarakat kampung kota juga bisa memperoleh rumah yang sehat dan memiliki fasilitas umum untuk tumbuh kembang serta aktualisasi diri.
Pada kesempatan berbeda, peneliti senior Center for Metropolitan Studies (Centropolis) Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang, mengungkapkan, kompleks berpagar menjamur di Ibu Kota setelah kerusuhan 1998. Centropolis adalah lembaga penelitian perkotaan yang membantu Roitman melakukan kajian di Indonesia.
Suryono mengatakan, pagar, portal, dan petugas satpam meminimalkan kejahatan di dalam kompleks, berupa pencurian spion mobil, maling sepeda motor, sampai maling jemuran yang mungkin terkesan kecil-kecil, tetapi sangat mengganggu kenyamanan penghuni. Kompleks berpagar di Indonesia, bahkan di Jakarta sekalipun tidak seekstrem di Afrika Selatan ataupun Meksiko yang dijaga petugas satpam bersenjata api.
”Pedagang keliling, pengamen, dan pemulung pun tidak bisa sembarangan masuk ke dalam kompleks sehingga memberi kesan tenteram dan bersih. Apalagi di Jakarta mulai banyak kompleks berpagar yang di bagian luar dibangun ruko-ruko untuk menjadi minimarket, restoran, dan penatu demi kemudahan warga,” katanya.
Peneliti P2K LIPI Rusli Cahyadi mengatakan, untuk konteks Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, fenomena kompleks berpagar ini sekarang lebih kepada tren yang dibentuk pasar, yaitu hunian yang ringkas, tertata, dan modern. Citra ini memengaruhi masyarakat, terutama dari kalangan pekerja profesional dan keluarga muda untuk tinggal di lingkungan bergengsi.
”Dari observasi sejauh ini, masyarakat memilih membeli rumah baru berukuran kecil di dalam kluster daripada membeli rumah di kompleks-kompleks lama yang tidak berpagar dengan halaman serta bangunan luas, walaupun harganya sama. Mayoritas mengaku tinggal di kluster lebih trendi dibandingkan di perumahan lama yang terkesan jadul,” tuturnya.
Terkait menahan laju pertumbuhan kompleks berpagar, untuk konteks Jabodetabek, Rusli mengatakan bisa dimulai dengan peraturan daerah yang mewajibkan pembagian pemakaian sarana umum. Lapangan bola di kompleks harus bisa diakses warga di luar kompleks. Sistem pengelolaan bisa diatur bersama dan jika bisa dibantu oleh pemda karena ada kebijakan mengenai fasilitas khusus dan fasilitas umum.
”Metode ini lebih sesuai budaya Indonesia, tidak sekadar program-program singkat seperti dana sosial perusahaan atau sumbangan warga kompleks untuk kampung. Interaksi terbangun dari komitmen pengelolaan wilayah, bukan sebatas kompleks dan kampung,” ujarnya.