Kartu Jakarta Pintar yang Melegakan Sekaligus Mendebarkan
Bantuan pendidikan lewat Kartu Jakarta Pintar Plus melegakan para penerima yang terbelit kesulitan ekonomi di tengah pandemi. Namun, ada juga yang berdebar lantaran tak mendapatkan bantuan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Para orangtua penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) bergiliran mengurus buku rekening dan kartu ATM Bank DKI melalui layanan khusus Bank DKI untuk peserta program KJP di kawasan Matraman, Jakarta Timur, Senin (23/11/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Keluarga penerima program Kartu Jakarta Pintar Plus bisa sedikit bernapas lega di awal tahun ini seiring pencairan dana KJP Plus Tahap II Tahun 2020 sejak Selasa (5/1/2021). Kendati demikian, masih ada sejumlah persoalan yang mengganjal terkait penyaluran bantuan pendidikan ini.
Warga Kelapa Dua, Jakarta Barat, Siti Nurlaela (37), mempunyai dua anak yang duduk di bangku SD, kelas II dan V. Pada Selasa (5/1), dia membelanjakan uang KJP Plus untuk anaknya yang duduk di kelas II. Dia belanja kebutuhan sekolah, seperti buku dan pulpen.
”Saya jarang sekali mengambil dalam bentuk tunai di ATM (anjungan tunai mandiri). Biasanya dibelanjakan terus, sesuai dengan batas maksimal untuk anak SD,” ujarnya, Rabu (6/1/2021).
Penerima KJP Plus mendapat bantuan pendidikan selama satu semester. Namun, setiap bulan mereka hanya bisa menggunakan Rp 250.000 untuk siswa SD atau sederajat, Rp 300.000 untuk SMP atau sederajat, Rp 420.000 untuk SMA, dan Rp 450.000 untuk SMK.
Tadinya, anak Siti yang kelas V juga menerima KJP. Dia terdaftar sebagai penerima KJP Plus ketika duduk di kelas II. Setelah duduk di kelas III, anaknya itu tak lagi tercatat sebagai penerima KJP Plus.
Dia pernah bertanya ke sekolah terkait hal ini. ”Menurut sekolah, saya tidak tinggal di rumah ngontrak, dianggap lebih mampu dibandingkan dengan yang lain. Padahal, ini kan rumah orangtua saya,” ujarnya.
Menurut sekolah, saya tidak tinggal di rumah ngontrak, dianggap lebih mampu dibandingkan dengan yang lain. Padahal, ini kan rumah orangtua saya
Lain lagi dengan kisah Rohani (50), warga Kelapa Dua yang memiliki anak duduk di bangku SMA. Anaknya ini pernah menerima KJP ketika kelas VII semester II. Setelah itu, anaknya tak pernah menerima KJP lagi.
Padahal, anaknya masuk SMA swasta. Biaya SPP setiap bulan Rp 375.000. Sebagai catatan, siswa SMA swasta yang menerima KJP Plus juga mendapat bantuan SPP sebesar Rp 290.000 per bulan. Bantuan SPP itu di luar bantuan KJP Plus yang senilai Rp 420.000.
KOMPAS/INSAN ALFAJRI
Rohani (50), warga Kelapa Dua, Jakarta Barat, Rabu (6/1/20201), berharap anaknya bisa menerima KJP Plus.
Bantuan pendidikan ini amat meringankan keluarga seperti Rohani. Di tengah pandemi, pendapatan Rohani sebagai pedagang nasi rames di kantin salah satu bank swasta dekat Tugu Tani, Menteng, Jakarta Pusat, lagi seret. Dia berdagang secara bergantian dengan temannya. Dalam rentang 1 bulan, dia berjualan selama 14 hari dengan total penghasilan Rp 2 juta.
”Kan, dagangnya seminggu aku, seminggu temanku. Nah, pas aku mulai dagang lagi, minimal butuh modal awal Rp 1 juta. Modal itu sering termakan. Makanya, terkadang harus minjam modal lagi pas mau mulai dagang,” ujarnya.
Kan, dagangnya seminggu aku, seminggu temanku. Nah, pas aku mulai dagang lagi, minimal butuh modal awal Rp 1 juta. Modal itu sering termakan. Makanya, terkadang harus minjam modal lagi pas mau mulai dagang
Mengutip situs Kjp.jakarta.go.id, kepesertaan KJP Plus dapat dicabut dengan sejumlah alasan. Pertama, ketika pindah sekolah, siswa harus kembali mendaftar ulang di sekolah baru.
KJP Plus juga bisa dicabut kalau dana itu digunakan tidak sesuai dengan ketentuan (di luar kebutuhan sekolah). Kemudian, KJP Plus bisa dihentikan ketika siswa tersebut dinilai sudah tak lagi termasuk kategori tidak mampu.
Baik Siti maupun Rohani mengaku tak pernah menggunakan dana itu di luar ketentuan. Anak-anak mereka juga tak pindah sekolah. Mereka pun merasa perekonomian keluarga tak membaik.
Tunggu buku tabungan
Warga Kelurahan Joglo, Jakarta Barat, Riyanti (45), sedang menanti buku tabungan dan kartu ATM dari Bank DKI untuk KJP Plus anaknya yang duduk di bangku SMP. Anaknya itu terdaftar sebagai penerima KJP Plus Tahap 1 2020.
KOMPAS/INSAN ALFAJRI
Riyanti (45), warga Kelurahan Joglo, Jakarta Barat, Rabu (6/1/2021), sedang menunggu buku tabungan dan kartu ATM untuk pencairan KJP Plus anaknya yang duduk di bangku SMP.
Sekitar tiga bulan lalu, Riyanti pergi ke bank untuk meminta buku tabungan dan kartu ATM. Pihak bank berjanji akan menelepon Riyanti ketika buku tabungan dan kartu ATM sudah tersedia. ”Sampai sekarang enggak ada
ditelepon. Ini SPP sudah mulai menunggak sebulan, per bulan Rp 215.000,” ujarnya.
Ibu dua anak ini bekerja sebagai buruh pembuang benang celana baru anak-anak. Setiap dua minggu sekali, dia mengambil celana kepada salah satu produsen pakaian di Jakarta Barat. Untuk 10 kodi celana, dia diupah Rp 55.000. ”Biasanya, sekali mengambil celana, bisa 10-20 kodi. Jadi, ya, dapat seratus ribuanlah,” tuturnya.
Sementara itu, suami Riyanti bekerja sebagai sopir pribadi. Ditambah uang makan, suaminya mendapat sekitar Rp 2,5 juta per bulan. Uang ini habis untuk membiayai kebutuhan keluarga. ”Bos suamiku juga pelit, ngutang enggak bisa,” katanya.