Pemutilasi di Bekasi, A (17), berstatus ganda karena ia pelaku pembunuhan sekaligus korban kejahatan seksual dari orang yang dibunuhnya.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·5 menit baca
Polisi memastikan hak remaja A (17) sebagai anak tetap dilindungi walaupun ia kini merupakan tersangka pembunuhan berencana yang disertai mutilasi terhadap DS (24) di Kota Bekasi. Kejahatan seksual DS yang melatari kekejian A juga menjadi alarm minimnya perlindungan terhadap anak yang biasa hidup di jalanan.
Karena terbukti merencanakan pembunuhan DS, A terjerat Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman hukuman mati. Namun, Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus memastikan, proses hukum terhadap A sebagai anak di bawah umur bakal dibedakan.
”Sistemnya berbeda dengan orang dewasa, termasuk nanti peradilannya. Ia juga perlu pendampingan. Semua ada,” kata Yusri dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (10/12/2020). Untuk pendampingan, termasuk dari sisi psikologi, polisi berkoordinasi dengan berbagai pihak, seperti Kementerian Sosial dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Sistemnya berbeda dengan orang dewasa, termasuk nanti peradilannya. Pelaku mutilasi yang masih tergolong anak-anak juga perlu pendampingan.
Pengungkapan berawal dari laporan kepada polisi pada Senin (7/12/2020) sekitar pukul 09.00 tentang adanya potongan tubuh manusia berjenis kelamin laki-laki di Jalan KH Noer Ali, Kelurahan Kayuringin Jaya, atau di area Kalimalang. Potongan tubuh tanpa kepala, tangan kiri, dan kedua kaki itu ditemukan di aliran Kali Bumi Satria Kencana (BSK).
Ternyata, pada waktu hampir bersamaan, ada laporan penemuan potongan tangan kiri di tempat pembuangan sampah sementara di Jalan Gunung Gede Raya, Kayuringin Jaya. Saat itu, petugas kebersihan menemukan kantong plastik hitam yang mencurigakan sehingga membukanya. Mereka terkejut karena di dalamnya ada potongan tangan yang masih berlumuran darah.
Personel Subdirektorat III/Reserse Mobil Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya lantas bersama Kepolisian Resor Metropolitan Bekasi Kota menyelidiki pelaku. Mereka menangkap A saat sedang bermain di warung internet di Kranji, Bekasi, Rabu (9/12/2020) sekitar pukul 01.00.
Mereka kemudian pergi ke rumah A di Kelurahan Jakasampurna, Kecamatan Bekasi Barat, tempat dia menghabisi nyawa DS. ”Pelaku tinggal di rumahnya sendiri karena orangtuanya di kampung. Selama tiga hari setelah kejadian, rumah dikunci dan dia pergi. Belum sempat dibersihkan semuanya dan masih ada genangan darah saat pemeriksaan oleh tim Resmob,” ujar Yusri.
Yusri menjelaskan, setelah lulus sekolah menengah pertama, A bekerja serabutan, termasuk mengamen dari satu bus ke bus lain. Ia berkenalan dengan DS di sebuah bus sewaktu mengamen sekitar Juni 2020. Saat merayakan ulang tahun A pada Juli, DS membujuk A agar mau berhubungan badan dengan iming-iming uang Rp 100.000.
Sejak saat itu hingga sebelum dibunuh, DS sudah melecehkan A lebih dari 50 kali. A sakit hati karena DS kerap memaksa dengan ancaman agar A mau melayani nafsu jahatnya. Jumlah uang yang diberikan juga kian turun, bahkan beberapa kali DS tidak membayarnya setelah berhubungan. Niat A membunuh pun timbul, bahkan sejak kekerasan seksual terjadi untuk kelima kalinya.
Pada Minggu (6/12/2020) dini hari, DS pergi ke rumah A untuk bermalam di sana sekaligus melampiaskan hasratnya kembali. Yusri menuturkan, A mengaku kali ini diancam dengan pisau lipat. A tidak tahan lagi.
Sekitar pukul 02.30, saat DS tertidur setelah berhubungan, A menusuk perut korban dengan golok. Karena melihat korban belum meninggal, A mengayunkan golok ke arah mulut dan mata, lalu ke leher. Untuk memastikan DS tewas, A menusuk bagian dada empat kali.
Melihat kondisi jasad DS sudah hancur, A bingung mencari cara menghilangkan jejak perbuatannya. Akhirnya, ia memotong-motong tubuh DS dan menyebarnya ke empat lokasi. Polisi berhasil menemukan potongan kaki dan kepala korban setelah menangkap A.
Reza Indragiri Amriel, pekerja Lembaga Perlindungan Anak Indonesia dan Yayasan Lentera Anak, berpendapat, A berarti korban kejahatan seksual, yang menurut Presiden Joko Widodo merupakan kejahatan luar biasa. ”Okelah anggap dia berstatus ganda, pelaku sekaligus korban. Lantas, status manakah yang didahulukan? Hemat saya, status korbannya didahulukan,” tutur Reza.
Sebagai korban kejahatan seksual, mengacu Undang-Undang Perlindungan Anak, A harus mendapat perlindungan khusus. Dengan demikian, Reza mendorong instansi-instansi selain polisi ikut turun tangan guna memastikan perlindungan khusus bagi korban kejahatan luar biasa ini terealisasi. Instansi itu antara lain Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, serta KPAI.
Menurut komisioner KPAI, Ai Maryati Solihah, terdapat kemiripan pola antara A dan remaja putri NF (15). Pada Maret lalu, NF membunuh bocah perempuan yang juga tetangganya, APA (5), saat bermain di rumah keluarga NF di Sawah Besar, Jakarta Pusat.
Publik terkaget-kaget dengan kasus pembunuhan sebagai hilir dari masalah perlindungan anak. Padahal, kejadian semacam itu bisa dicegah jika ada deteksi dini terhadap kekerasan pada anak.
Setelah digali, terungkap bahwa NF merupakan korban kejahatan seksual tiga pria yang memerkosanya berkali-kali. Ia sampai mengandung di usia dini. Kemensos menduga, kesadisan yang dialami NF memiliki hubungan sebab-akibat dengan pembunuhan APA karena NF mengaku terbayang dengan wajah pemerkosanya saat menghabisi nyawa si bocah.
”Artinya, anak melakukan sebuah ekspresi perlawanan yang kemudian melahirkan korban lagi,” ucap Ai. Pembunuhan oleh NF, yang disusul mutilasi oleh A, bagi dia, menunjukkan betapa lemahnya sistem peringatan dini perlindungan anak di masyarakat.
Publik terkaget-kaget dengan kasus pembunuhan sebagai hilir dari masalah perlindungan anak. Padahal, kejadian semacam itu bisa dicegah jika ada deteksi dini terhadap kekerasan pada anak. Posisi A sebagai pekerja anak jalanan juga menunjukkan, betapa anak-anak semacam ini perlu mendapatkan perhatian khusus.
Contohnya, Baekuni alias Babeh melegenda akibat membunuh setidaknya 11 anak yang rata-rata anak jalanan. Ia menghabisi nyawa anak-anak itu akibat menolak disodomi.