Hindari Penyebab Stres dengan Membuka Komunikasi
Sebagian warga dihadapkan pada masalah stres dan kecemasan selama pandemi Covid-19. Pada kondisi itu, sebaiknya Anda mengurangi penyebab stres atau stresor hingga berkonsultasi kepada profesional.
JAKARTA, KOMPAS — Masalah psikologis di masa pandemi Covid-19 ini perlu diantisipasi. Jika terjebak pada situasi ini, sebaiknya Anda tidak segan-segan berkonsultasi dengan psikolog klinis atau psikiatri untuk memperoleh jalan keluar.
Sejumlah survei menunjukkan adanya masalah psikologis imbas pandemi. Catatan swaperiksa Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia per 14 Mei 2020, sebanyak 69 orang dari 2.364 responden mengalami masalah psikologis di masa pandemi Covid-19.
Dari jumlah itu, 68 persen mengalami kecemasan, 67 persen mengalami depresi, 77 persen mengalami trauma psikologis, dan 49 persen berpikir akan kematian.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun memberikan peringatan tentang krisis kesehatan jiwa akibat pandemi pada Mei lalu. Gangguan kesehatan jiwa dipengaruhi beberapa faktor, seperti jumlah penderita Covid-19, angka kematian yang muncul, kesulitan ekonomi, kewajiban karantina mandiri, menjaga jarak, serta perasaan takut dan gelisah karena situasi tidak menentu.
Baca juga: 69 Persen Masyarakat Alami Masalah Psikologis akibat Covid-19
Hal serupa ditemukan Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia dan Ikatan Alumni Universitas Airlangga Komisariat Fakultas Kesehatan Masyarakat lewat survei daring pada 6-13 Juni 2020.
Berdasarkan survei terhadap 8.031 responden di semua provinsi, lebih dari 50 persen mengalami kecemasan dengan kategori cemas dan sangat cemas. Konteks kecemasan yang dialami adalah interaksi sosial (67 persen), agama (55 persen), pekerjaan (63 persen), ekonomi (58 persen), dan pendidikan (74 persen).
Lantas, bagaimana mencegah ataupun mengatasi potensi masalah psikologis ini. Spesialis Kedokteran Jiwa dari Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, dr Alvinia Hayulani SpKJ, membagikan sejumlah tips menjaga kesehatan mental selama pandemi Covid-19 dalam bincang-bincang keluarga sehat, Selasa (13/10/2020).
Alvinia menyarankan untuk mengurangi stresor, relaksasi fisik, manajemen aktivitas, tetap berkomunikasi, dan konsultasi kepada profesional.
Baca juga: Cemas dan Depresi akibat Pandemi Covid-19
Salah satu cara mengurangi stresor dengan batasi atau kurangi penggunaan media sosial untuk akses segala informasi tentang Covid-19. Sebab, media sosial dapat memicu masalah kesehatan jiwa lewat informasi yang bertebaran. Informasi-informasi ini memengaruhi emosi sehingga timbul cemas, takut, susah tidur, dan deg-degan.
”Sebaiknya dapatkan berita yang akurat dan tepercaya dari sumber resmi atau jurnal. Jangan mudah percaya, saring informasi yang masuk, dan jangan telan bulat-bulat karena memengaruhi emosi,” kata Alvinia.
Untuk itu, warga sebaiknya diet media sosial. Misalnya, membatasi akses hanya dua kali, masing-masing selama 15 menit dalam sehari. Lebih jauh menghapus aplikasi untuk sementara supaya tidak tergoda untuk terus-menerus membuka media sosial.
Jangan lewatkan beragam relaksasi fisik meski lebih banyak beraktivitas di rumah. Istirahat teratur, olahraga, dan makan makanan bergizi penting untuk melemaskan stres.
Baca juga: Psikologi Dua Pribadi
Alvinia mencontohkan berolahraga minimal 30 menit dengan perlengkapan yang sesuai dan secara bertahap (pemanasan, inti, dan pendinginan). Jangan lupa pilih olahraga yang disukai, lakukan secara benar, aman, dan sesuaikan dengan kondisi fisik.
Adapun beberapa jenis makanan diklaim bisa memberikan efek relaksasi. Misalnya madu, cokelat, dan teh hijau yang punya kandungan triptofan. Asam amino ini menjadi bahan dasar hormon serotonin yang menjaga suasana hati tetap bahagia dan positif.
”Nikmati setiap relaksasi fisik. Misalnya, ketika makan, sadar penuh dan hadir utuh. Jangan sembari tengok gawai, nonton atau memikirkan yang lain,” ucapnya. Manajemen juga penting dalam menjaga kesehatan mental di tengah pandemi. Sebab, di rumah saja selama berbulan-bulan menimbulkan bosan dan jenuh.
Manajemen
Mulailah dengan manajemen aktivitas sehari-hari. Sebaiknya membuat jadwal supaya tidak terbebani berbagai kegiatan yang berpindah ke rumah, seperti bekerja dari rumah dan orangtua sebagai guru untuk mendampingi anak belajar. Alvinia mengingatkan jangan lewatkan jadwal rutinitas baru sebagai alternatif melepas stresor. Contohnya hobi-hobi baru untuk keseharian.
Baca juga: Kesepian Global akibat Pandemi Covid-19
Di sisi lain, tetap terhubung dengan orang lain untuk berbagi perasaan. Berkomunikasi lewat telepon atau media lainnya. Sebab, jaga jarak fisik dan sosial tidak berarti memutus komunikasi. ”Tetap berkomunikasi karena berbagi perasaan adalah salah satu cara efektif mengelola emosi. Curhat ke orang lain juga membuat perasaan lega atau plong,” ujarnya.
Ia menambahkan, tetaplah berpikirian positif dengan ucapan atau sugesti pernyataan positif tentang diri sendiri dan kehidupan. Berlama-lama dalam pikiran negatif berpotensi akan memengaruhi perilaku. Apabila sulit atau belum berhasil dengan upaya sendiri, konsultasikan kepada profesional. Jangan takut menyambangi atau konsultasi dengan psikolog atau psikiater.
Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, prevalensi penderita gangguan kecemasan di Indonesia mencapai 6 persen pada penduduk berusia 15 tahun ke atas. Angka ini setara dengan 14 juta penduduk dengan gangguan mental emosional.
Praktisi mindfulness (kesadaran penuh), Adjie Santosoputro, dalam seminar virtual ”Hidrasi Sehat dan Mindfulness untuk Kurangi Kecemasan Hadapi Normal Baru”, Kamis (25/6/2020), menuturkan, kecemasan berlebih dapat memengaruhi kesehatan fisik, begitu pula sebaliknya. Kesehatan mental dan fisik yang buruk dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari, seperti mudah marah dan menurunkan performa kerja.
Baca juga: Mengelola Emosi Kala Pandemi
”Jika kesehatan fisik dan mental seimbang, kita baru bisa menangani kecemasan. Kita tidak bisa merawat mental tanpa merawat tubuh, begitu pula sebaliknya,” kata Adjie. Kecemasan yang tidak diselesaikan akan masuk ke alam bawah sadar seseorang. Hal ini bisa menjadi ”bom waktu” yang akan meledak suatu saat.
Menurut dia, kecemasan yang menyusup ke alam bawah sadar bisa dideteksi. Beberapa tanda yang diberikan tubuh, antara lain, ialah emosi yang tidak stabil, produktivitas menurun, dan kebahagiaan terasa hambar. Sejumlah warga tidak ingin larut dalam ketidakpastian pandemi. Mereka tak mau terjebak dalam gangguan psikologis.
Fisena Hardiyanto (29), warga Grogol, Jakarta Barat, sudah jarang mengonsumsi berita dan informasi dari media sosial tentang Covid-19 karena mulai terbiasa dengan keadaan. Apalagi, di luar tampak mustahil mengontrol orang lain sehingga lebih baik mengontrol diri sendiri supaya tetap waspada.
”Sudah jarang, hanya konsumsi selewat saja. Paling berita kasus naik drastis. Oh naik, harus lebih hati-hati. Tidak seperti awal-awal setiap pagi tengok berita dan penasaran dengan perkembangannya,” ujar Fisena.
Baca juga: Tarik Ulur Hadapi Pandemi Covid-19
Keseringan menengok berita dan informasi membuatnya bosan dan lelah. Sugesti diri bahwa pandemi momentum yang pas untuk pengembangan diri menjadi solusi. Saban hari selalu ada waktu untuk membaca buku-buku di luar bidang pekerjaannya sebagai humas. Hobi baru pun muncul dengan bergabung dalam komunitas pencinta tanaman empat bulan terakhir.
Skolastika (25), karyawan swasta yang indekos di Radio Dalam, Jakarta Selatan, melepas bosan dan jenuh di indekos dengan tetap berkomunikasi lewat panggilan suara atau panggilan video dengan orang dekat.
Ia pun rutin olahraga ringan dan jajan di swalayan supaya pikiran kembali segar. ”Bisa stres lama-kelamaan kalau hanya pikirkan Covid-19,” ujar Skolastika. Pandemi belum pasti kapan akan berakhir. Di rumah saja menjadi pilihan terbaik untuk meminimalkan risiko penularan. Tetap waspada dan jaga kesehatan mental dengan tidak larut dalam peliknya pandemi.