Kisah Tangerang Selatan, Kota yang Lekat dengan Kualitas Udara Buruk
Kota Tangsel mempertahankan posisi teratas kota dengan kualitas udara buruk. Tiadanya data kualitas udara yang rutin dipublikasikan membuat warga tidak sadar bahaya yang mengintai.
Kualitas udara di Kota Tangerang Selatan dalam sepekan terakhir buruk atau masuk kategori tidak sehat. Kondisi itu diperparah dengan tidak dipublikasikannya data kualitas udara secara rutin. Data perlu diperbarui secara rutin agar masyarakat bisa mengetahui kualitas udara yang mereka hirup setiap harinya.
Kota Tangerang Selatan (Tangsel) menempati posisi teratas kota dengan kualitas udara terburuk versi IQAir, perusahaan asal Swiss yang bergerak di bidang teknologi pengurangan pencemaran udara. Di bawah Tangsel ada Kota Medan, Bekasi, dan Semarang. Posisi kota-kota di peringkat dua ke bawah berubah-ubah. Namun Tangsel tetap di puncak selama sepekan terakhir. IQAir memperbarui data kualitas udara di laman resminya setiap jam.
Di Tangsel, IQAir meletakkan satu alat pengukur kualitas udara di kawasan Griya Loka BSD, Serpong. Dari pengukuran alat tersebut, kualitas udara di Tangsel masuk kategori tidak sehat pada Rabu (15/7/2020). Kondisi itu setidaknya tercatat sudah berlangsung sejak sepekan sebelumnya.
Selama sepekan terakhir indeks kualitas udara di Tangsel tercatat berada pada rentang 157-199 atau masuk kategori tidak sehat. Pada 15 Juni 2020, indeksnya tercatat mencapai 157 dengan konsentrasi PM2,5 sebesar 66,7 mikrogram per meter kubik (µg/m³). Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara disebutkan Baku Mutu Udara Ambien Nasional untuk parameter PM2,5 ditetapkan maksimal sebesar 65 mikrogram per meter kubik.
Baca juga: Jakarta Masa Silam, Si Cantik dari Timur
Laporan IQAir berfokus pada konsentrasi PM2.5 karena ini adalah polutan yang secara luas dianggap paling berbahaya bagi kesehatan manusia. PM2.5 didefinisikan sebagai partikel udara di sekitar yang berukuran hingga 2,5 mikron.
Polusi udara, terutama yang sangat halus seperti PM 2,5, amat berbahaya bagi kesehatan, terutama kelompok rentan, seperti bayi, anak-anak, ibu hamil, dan lanjut usia. Penyakit yang dapat terjadi akibat konsentrasi PM 2,5 yang tinggi antara lain stroke, penyakit jantung, infeksi saluran pernapasan, kanker dan penyakit paru kronis.
Apabila diamati, indeks kualitas udara di Tangsel akan mulai memburuk menjelang pukul 20.00 hingga 23.00. Sebagai contoh pada 13 Juli 2020 indeks kualitas udara pada malam hari memburuk dari yang sebelumnya 180 menjadi 331 pada pukul 22.00.
Demikian pula pada 14 Juli 2020, indeks kualitas udara sebesar 195 pada pukul 22.00 naik secara konsisten tiap jamnya hingga mencapai puncaknya menjadi 279 pada pukul 01.00. Namun, IQAir tidak mencantumkan penjelasan mengapa ada kecenderungan indeks kualitas udara yang memburuk pada malam hari dibandingkan siang hari.
Bukan acuan
Ketika disodorkan data-data IQAir tersebut, Kepala Seksi Pemantauan Kualitas Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Tangsel Laily Khoirilla mengatakan, Pemerintah Kota Tangsel tidak menggunakan IQAir sebagai acuan. Kendati demikian, pada 2020 DLH Tangsel belum mengambil data kualitas udara.
Pengukuran kualitas udara terakhir dilakukan pada September-Oktober 2019 di empat titik, yaitu Jalan Raya Siliwangi, Pamulang; depan Perumahan Kebayoran Village Bintaro; Jalan Letjen Sutopo, BSD; dan perempatan Muncul, Setu, Tangsel.
Hasil pengukuran di Jalan Raya Siliwangi menunjukkan konsentrasi PM2,5 sebesar 12 mikrogram per meter kubik, di depan Perumahan Kebayoran Village Bintaro sebesar 10 mikrogram per meter kubik, di Jalan Letjen Sutopo BSD mencapai 11 mikrogram per meter kubik, dan di perempatan Muncul tercatat 59,2 mikrogram per meter kubik.
”Kalau untuk tahun ini paling kami baru melihatnya nanti setelah dilakukan pengujian sekitar Agustus 2020,” kata Laily ditemui di ruang kerjanya.
Menurut Laily, DLH Tangsel tidak mengacu pada data IQAir karena belum bisa dibuktikan sejauh mana keakuratannya. Ia meragukan alat yang digunakan IQAir apakah sudah terkalibrasi atau belum.
Ia menjelaskan, untuk mengukur kualitas udara, DLH Tangsel menggunakan standar yang diatur dalam PP No 41/1999. Di PP tersebut, kata Laily, ada metode yang harus digunakan dan cara mengukur kualitas udara, termasuk ketentuan pengukuran konsentrasi PM2,5 yang baru bisa terlihat setelah 24 jam. Atas dasar itu pula, Laily menyebut konsentrasi PM2,5 yang dicantumkan IQAir di laman resminya sebagai sesuatu yang tak mungkin.
”Dari kementerian pernah mengamati IQAir, datanya harusnya belum berubah tapi dia sudah berubah dalam jangka 4 jam. Harusnya tidak bisa seperti itu kalau untuk pengukuran udara yang ideal. Makanya metode mereka seperti apa, apakah sudah sesuai standar belum,” tuturnya.
Dari kementerian pernah mengamati IQAir, datanya harusnya belum berubah tapi dia sudah berubah dalam jangka waktu 4 jam. Harusnya tidak bisa seperti itu kalau untuk pengukuran udara yang ideal. Makanya metode mereka seperti apa, apakah sudah sesuai standar belum.
Untuk membuktikan keakuratan data kualitas udara yang dirilis IQAir, pada Agustus 2020 DLH Tangsel sudah berencana memasang alat pengukur kualitas udara di Taman Perdamaian, Serpong. Lokasi itu dipilih karena dinilai tidak jauh dari Griya Loka, BSD, lokasi di mana IQAir meletakkan alat pengukur udaranya.
Selain di Taman Perdamaian, DLH Tangsel juga akan memasang alat pengukur kualitas udara di perbatasan BSD dengan Kabupaten Tangerang dan satu lagi di daerah Maruga dekat Kantor Wali Kota Tangsel. Alat di ketiga lokasi itu bakal mengumpulkan data kualitas udara secara manual selama 24 jam setiap harinya, persis seperti yang dilakukan IQAir.
Juru Bicara Bidang Iklim dan Energi Greenpeace Bondan Andriyanu berpendapat, pemerintah boleh saja meragukan data dari IQAir. Namun, dalam kondisi saat ini, data kualitas udara yang bisa diperoleh secara mudah dan cepat oleh masyarakat hanya dari IQAir. Menurut Bondan, pemerintah tidak pernah mengumumkan data konsentrasi PM2,5 setiap jam sebagaimana dilakukan IQAir.
”IQAir mengisi kekosongan itu karena data pemerintah tidak ada. Seharusnya pemerintah tergelitik untuk membuka data ke publik,” kata Bondan.
Bondan memandang penting data kualitas udara untuk dipublikasikan secara rutin setiap hari. Sebab, bila melihat kecenderungan pemerintah selama ini, data kualitas udara jarang dipublikasikan. Bila pun dipublikasikan, acapkali terlambat. Data kualitas udara pada Bulan Januari 2020, contohnya, baru dirilis beberapa bulan kemudian.
Baca juga: Ruang Abu-abu Reklamasi Ancol
Dengan pendekatan seperti itu, Bondan melihat ada kepentingan publik yang dikorbankan. Masyarakat, katanya, berhak untuk mengetahui seberapa bagus kualitas udara yang mereka hirup setiap harinya. Data kualitas udara yang diperbarui setiap harinya juga akan sangat berguna untuk keperluan mitigasi dan pengambilan kebijakan.
”Karena kita merugi bila baru tahu beberapa bulan kemudian bahwa kualitas udara yang kita hirup itu ternyata berbahaya. Harusnya real time. Data kualitas udara bisa diketahui pada hari itu juga,” ujarnya.
Terkait pernyataan Bondan, Laily mengakui kelemahan tersebut. Ia mengatakan, DLH Tangsel memang belum memiliki alat indeks standar pencemar udara (ISPU) yang bisa memperbarui data kualitas udara setiap hari.
Penuh polusi
Kualitas udara di Tangsel yang buruk dalam sepekan terakhir, menurut Direktur Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Syafrudin disebabkan masih ada polusi dari emisi gas kendaraan, meski Kota Tangsel saat ini memasuki masa perpanjangan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tahap keenam.
Mobilitas warga yang bepergian menggunakan kendaraan pribadi belum sepenuhnya bisa ditekan. Kondisi itu sejalan dengan catatan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Tangsel yang menyebut tingkat kedisiplinan masyarakat belum mencapai angka 90 persen seperti yang diharapkan.
Selain itu, polusi udara juga bisa dihasilkan dari pembakaran sampah, asap pabrik di wilayah tetangga Tangsel, dan pembakaran aki bekas.
”Di sekitar Tangsel itu banyak ada pabrik pembakaran aki bekas. Itu mudah diterbangkan angin. Kajian kami pada 2004, daerah Serpong itu punya kadar timbal yang tinggi dari hasil pembakaran aki bekas,” kata Ahmad Syafrudin.
Di sekitar Tangsel itu banyak ada pabrik pembakaran aki bekas. Itu mudah diterbangkan angin. Kajian kami pada 2004, daerah Serpong itu punya kadar timbal yang tinggi dari hasil pembakaran aki bekas.
Syafruddin menjabarkan wilayah-wilayah yang banyak terdapat pabrik pembakaran aki bekas, yaitu di Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat; Pasar Kemis dan Desa Lebak Wangi di Kabupaten Tangerang, Banten; dan Cipondoh, Kota Tangerang, Banten.
Keberadaan pabrik-pabrik pembakaran aki bekas itu, menurut Syafruddin, berkontribusi terhadap kualitas udara di Tangsel. Asap pabrik dan hasil pembakaran aki bekas pun tergolong transboundary pollution atau polusi yang tak mengenal batas wilayah.
Dengan demikian, meski tidak memiliki pabrik di wilayahnya dan tanpa adanya peringatan dari data kualitas udara yang rutin diperbarui, polusi tak kasatmata perlahan terus mencekik warga Tangsel setiap hari tanpa pernah disadari.
Baca juga: Viral Pesepeda Dilarang ke PIK 2, Bagaimana Sebenarnya?