Bebaskan Siswa Miskin dari Biaya di Sekolah Swasta
Perda terkait penyelenggaraan pendidikan di Jakarta didorong segera disahkan. Di dalamnya ada kewajiban sekolah swasta dan negeri melaksanakan subsidi silang antara siswa dari ekonomi mapan dan yang berkekurangan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Unjuk rasa di depan Balai Kota Jakarta, Senin (13/7/2020). Orangtua dan wali murid anak-anak pemegang Kartu Jakarta Pintar protes karena anak mereka tidak diterima di sekolah negeri, sementara biaya untuk masuk ke sekolah swasta di luar jangkauan.
Buntut masih ada warga miskin tak mampu bersekolah karena ketiadaan dana disikapi DPRD DKI Jakarta dengan meminta Dinas Pendidikan DKI Jakarta menyiapkan skema sekolah gratis bagi anak-anak miskin, terutama pemegang Kartu Jakarta Pintar atau KJP. Prioritasnya lagi, yaitu pemegang KJP yang tidak diterima di sekolah negeri melalui penerimaan peserta didik baru atau PPDB.
Selanjutnya, DPRD DKI Jakarta juga mendesak agar Dinas Pendidikan DKI menyusun skema pemerataan mutu sekolah negeri dan swasta beserta keringanan biaya agar masyarakat tidak memiliki kesulitan menuntaskan Wajib Belajar 12 Tahun.
”Jangan sampai ada anak putus sekolah karena alasan apa pun. Apalagi jika alasannya tidak mendapat sekolah yang dekat dari rumah dan terjangkau biayanya,” kata Wakil Ketua Komisi E DRPD DKI Jakarta Zita Anjani dalam rapat evaluasi PPDB 2020 di Jakarta, Selasa (14/7/2020).
Dalam PPDB tahun ajaran 2020/2021 terdapat beberapa jalur, yakni zonasi, inklusi, zonasi bina RW (rukun warga) di sekitar sekolah, afirmasi, prestasi akademik, prestasi nonakademik, luar Jakarta, dan pindah tugas orangtua. Total untuk jenjang SD hingga SMA dan SMK ada 92.726 anak yang diterima di sekolah negeri tahun ini.
Apabila diamati lebih mendalam, untuk jenjang SMP hanya 46 persen dari lulusan SD sederajat yang diterima di SMP negeri. Pada jenjang yang lebih atas, hanya 32 persen lulusan SMP sederajat yang bisa masuk SMA atau SMK negeri. Hal ini karena keterbatasan sekolah negeri di Jakarta.
Namun, jika dihitung dengan sekolah swasta, sesungguhnya jumlah sekolah di Ibu Kota mengalami surplus karena untuk tingkat SMP, SMA, dan SMK jumlah sekolah swasta bisa mencapai tiga kali lipat sekolah negeri. Ini belum termasuk madrasah.
Jalur afirmasi yang diperuntukkan bagi anak-anak pemegang KJP, Kartu Indonesia Pintar, Jaklingko, dan kriteria miskin dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial tidak bisa menampung semua peserta didik. Hanya 52,78 persen pemegang KJP dari tingkat SD hingga SMA dan SMK yang diterima di sekolah negeri. Sisanya harus masuk ke sekolah swasta.
”Apabila Jawa Tengah dan Manado di Sulawesi Utara bisa menggratiskan pendidikan bagi anak miskin di sekolah swasta, seharusnya Jakarta juga bisa,” kata Merry Hotma, anggota Komisi E dari Fraksi PDI-P.
Pembagian biaya
Turut hadir dalam rapat itu, Ketua Umum Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) DKI Jakarta Imam Parikesit. Ia menjelaskan bahwa biaya di sekolah swasta dibagi menjadi tiga bagian. Pertama adalah biaya operasional yang bisa didebet dari KJP.
Kedua merupakan biaya personal yang bisa diperoleh dari hibah maupun bantuan operasional sekolah. Sementara yang ketiga adalah uang pangkal yang sebenarnya bisa disesuaikan agar orangtua mencicil atau mengangsur pembayaran dalam waktu satu semester.
”Angsuran pembayaran ini bisa didiskusikan antara Dinas Pendidikan dan BMPS karena tidak semua sekolah swasta berada dalam level mutu maupun kemapanan ekonomi yang sama sehingga pendekatannya jangan homogen. Akan tetapi, hal ini lebih baik dibandingkan dengan Dinas Pendidikan menambah kuota siswa per rombongan belajar dari 36 menjadi 40 karena itu melanggar Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 22/2016,” paparnya.
Kompas/Ester Lince Napitupulu
Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menggelar diskusi soal sekolah swasta berbiaya rendah di Jakarta, Rabu (18/10/2017). Dari riset CIPS, sekolah swasta berbiaya rendah jadi tumpuan keluarga miskin untuk mengakses sekolah, tetapi dukungan pemerintah masih minim.
Imam beserta para anggota Komisi E mendesak agar Pemerintah Provinsi Jakarta segera menyelesaikan peraturan daerah pendidikan. Menurut dia, di dalam naskah terakhir diterangkan bahwa ada kewajiban sekolah swasta maupun negeri untuk melaksanakan subsidi silang antara siswa dari kalangan ekonomi mapan dan yang dari latar belakang ekonomi rentan. Hal ini memungkinkan semua anak bisa mengenyam pendidikan dan di saat yang sama sekolah tetap memiliki dana untuk biaya operasional.
Di dalam perda itu juga harus dirumuskan secara terperinci mengenai aturan zonasi. Kepala Dinas Pendidikan Jakarta Nahdiana menjabarkan bahwa seleksi memakai usia anak dipilih karena di Jakarta zonasi menggunakan radius ataupun jarak sukar diterapkan.
Ia mengungkapkan dalam rapat simulasi zonasi menggunakan poligon RW menunjukkan ada RW-RW yang masuk ke dalam titik buta (blind spot). Mereka terletak jauh dari sekolah mana pun.
Ketika dilakukan simulai berbasis radius, sekolah di wilayah permukiman padat langsung terisi penuh hanya dalam beberapa ratus meter. Metode menggunakan jarak juga sulit diterapkan karena berbagai citra satelit dan program pengukuran jarak digital memiliki penghitungan bervariasi.
Kompas/Priyombodo
Para orangtua siswa yang tergabung dalam Forum Relawan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI Jakarta 2020 berunjuk rasa di depan gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta, Senin (29/6/2020).
”Usia adalah sesuatu yang tidak bisa dipalsukan. Oleh sebab itu, kami memutuskan usia menjadi kriteria seleksi PPDB,” tutur Nahdiana.
Usia adalah sesuatu yang tidak bisa dipalsukan. Oleh sebab itu, kami memutuskan usia menjadi kriteria seleksi PPDB. (Nahdiana)
Pada PPDB 2020, rata-rata usia yang diterima untuk SD adalah 6-8 tahun, meskipun ada beberapa kasus anak usia 9-11 tahun diterima. Di jenjang SMP rata-rata usia adalah 11-13 tahun dengan segelintir kasus usia 10, 14, dan 15 tahun.
Di SMA mayoritas siswa baru berusia 15 tahun diikuti dengan usia 16 tahun, 14 tahun, dan 17 tahun. Ada kasus SMA yang menerima siswa kelas X berusia 18 dan 19 tahun. Di SMK juga sama dengan mayoritas usia siswa baru 15 tahun, lalu 16 tahun, dan 17 tahun. Ada pula siswa berusia 14, 18, 19, dan 20 tahun yang juga diterima walau sedikit.