Mayoritas Warga DKI Jakarta Yakin Tak Akan Tertular Covid-19
Sebagian warga Jakarta yakin tidak akan terjangkit Covid-19. Persepsi warga yang rendah terhadap risiko penularan Covid-19 mendasari perilaku di lapangan yang justru rentan tertular penyakit ini.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2F6fa2980e-634d-4a8f-abd1-f4792a9f9b65_jpg.jpg)
Warga berolahraga saat hari bebas kendaraan bermotor di jalur inspeksi Kanal Timur, Duren Sawit, Jakarta Timur, Minggu (5/7/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian besar warga DKI Jakarta meyakini tidak akan tertular virus korona baru penyebab Covid-19. Persepsi warga yang rendah terhadap risiko penularan Covid-19 juga mendasari kurang siapnya mereka menghadapi tatanan normal baru.
Usia renta tidak mematahkan semangat Sohibi (62), warga Kebon Jeruk, Jakarta Barat, untuk menarik bajajnya pada Minggu (5/7/2020) sore. Ia menjadi salah satu warga DKI Jakarta yang yakin terhindar dari Covid-19 meski tetap menjalani aktivitas produktif.
”Jujur, sejak remaja sampai sekarang, saya tidak pernah sakit. Saya masih yakin aman (dari Covid-19) meskipun sudah tua,” katanya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2Fabb15a94-2e09-4def-a57e-603e5935f219_jpg.jpg)
Sohibi (62), warga Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Minggu (5/7/2020).
Hingga kini, Sohibi tidak mengetahui tempat tinggalnya berada pada zona merah atau zona hijau Covid-19. Yang pasti, sepengetahuannya tidak ada orang di sekitar tempat tinggalnya yang terkena Covid-19. Hal itu turut memengaruhi optimismenya terhindar dari Covid-19.
Baca juga : Masker Dapat Mencegah Puluhan Ribu Kematian akibat Covid-19
Hal yang sama diungkapkan oleh Jumadi (38), warga Tanjung Duren, Jakarta Barat. Sejauh ini, tempat tinggalnya relatif aman dari Covid-19 sehingga ia juga berpikiran sama. Bahkan, ia mengaku jarang mencuci tangan selama pandemi Covid-19.
”Masker saya selalu pakai. Kalau cuci tangan, hanya sesekali pas mampir di masjid,” katanya sambil menunjuk masker kainnya yang dikalungkan di leher.
Sebelumnya, Social Resilience Lab Nanyang Technological University (NTU) bersama Laporcovid-19 merilis hasil Survei Persepsi Risiko Covid-19 DKI Jakarta. Survei dilakukan pada periode 29 Mei-20 Juni 2020, serta melibatkan 154.471 responden.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2F7c712833-5d01-4798-9108-bf33999f5cda_jpg.jpg)
Spanduk terpasang di barikade yang dibuat warga di RW 014 Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Minggu (5/7/2020). Penutupan itu dilakukan 14 hari mulai Sabtu (4/7/2020) malam menyusul 12 warga setempat yang positif Covid-19.
Metode pengumpulan data menggunakan metode quota sampling lewat platform Qualtrics yang disebar kepada warga Jakarta melalui aplikasi Whatsapp. Setidaknya ada enam variabel yang menjadi basis survei, yakni persepsi risiko, pengetahuan, informasi, proteksi diri, modal sosial, dan ekonomi.
Salah satu hasil survei menyebutkan bahwa 77 persen warga meyakini kemungkinan mereka tertular Covid-19 relatif kecil. Sebanyak 76 persen warga juga meyakini kecilnya risiko yang sama bagi orang terdekatnya. Selain itu, sebanyak 70 persen warga meyakini risiko orang di tempat tinggalnya tertular Covid-19 juga kecil.
Baca juga : Pembelajaran Tatap Muka di Zona Hijau Harus Tetap Penuhi Syarat
Menurut Associate Professor Sosiologi Bencana dari NTU Sulfikar Amir, meski mayoritas warga mengaku telah menerapkan protokol kesehatan, persepsi tersebut bisa berimplikasi pada tingkat kedisiplinannya. ”Mungkin mereka memakai masker, tetapi tidak rapat, atau mereka mengaku menjaga jarak, tetapi tidak konstan,” katanya.
Amir mengatakan, persepsi warga terhadap risiko penularan Covid-19 bisa dipengaruhi oleh seberapa banyak orang di sekitarnya yang terinfeksi. Sebab, berdasarkan survei, sebanyak 94 persen warga tidak mengetahui orang di sekitarnya terkena Covid-19.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2F3b15ca8c-40ba-4d7c-87eb-beae1a9fc9ec_jpg.jpg)
Spanduk imbauan untuk menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 terpasang di pintu masuk Pasar Hewan Jatinegara, Jakarta Timur, Minggu (5/7/2020). Masih banyak pedagang dan pengunjung pasar tidak memakai masker dan tidak menjaga jarak saat berjualan dan berburu hewan peliharaan.
Hal itu seolah menjadi sinyal bahaya. Sebab, seseorang biasanya membangun persepsi risikonya berdasarkan social bubble. Selama dalam social bubble tidak ada yang pernah terkena Covid-19, maka mereka akan cenderung merasa aman dan nyaman.
”Mereka belum pernah melihat orang di sekitarnya terkena Covid-19 sehingga merasa aman dan nyaman. Perasaan itu juga memengaruhi mereka dalam menjaga diri,” kata Amir.
Meski begitu, Direktur Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja mengatakan, predikat zona merah tidak serta-merta membuat warga yang tinggal di daerah tersebut menjadi waspada. Bahkan, persepsi risiko warga yang pernah berada pada zona merah juga masih rendah.
Mereka belum pernah melihat orang di sekitarnya terkena Covid-19 sehingga merasa aman dan nyaman. Perasaan itu juga memengaruhi mereka dalam menjaga diri.
Hal tersebut ia amati berdasarkan perbandingan antara lima kelurahan di DKI Jakarta dengan jumlah kasus aktif tertinggi hingga 4 April 2020 dengan 4 Juli 2020. Hasilnya, indeks persepsi risiko warga di lima kelurahan pertama lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kelurahan kedua.
Misalnya, Kelurahan Pegadungan yang menjadi kelurahan dengan kasus aktif tertinggi hingga 4 April 2020 memiliki indeks persepsi risiko sebesar 2,2. Adapun Kelurahan Kenari yang menjadi kelurahan dengan kasus tertinggi hingga 4 Juli 2020 memiliki indeks persepsi risiko sebesar 3,46.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F06%2F4f1d2e03-96de-4b23-a20b-84f955d24c3d_jpg.jpg)
Petugas PMI Jakarta Pusat tiba di SMPN 216, Kenari, Senen, Jakarta Pusat, untuk menyemprotkan cairan disinfektan di sekolah tersebut, Senin (22/6/2020). Untuk memutus mata rantai penyebaran virus korona baru, PMI Jakarta Pusat menyemprot 573 sekolah dari SD hingga SMA di wilayah Jakarta Pusat.
Bahkan, indeks persepsi risiko dari Kelurahan Kenari menjadi salah satu yang tertinggi di DKI Jakarta. Skornya mendekati indeks paling tinggi (3,6). ”Kelurahan Pegadungan yang menjadi zona merah selama lebih kurang sekitar 1,5 bulan ternyata persepsi risikonya masuk dalam 20 kelurahan yang terendah,” katanya.
Kendati demikian, warga memiliki persepsi risiko yang berbeda-beda berdasarkan tempatnya. Sebanyak 46 persen warga menganggap tempat hajatan berisiko besar menularkan Covid-19. Sebagai perbandingan, ada 33 persen warga menilai penularannya kecil.
Sebanyak 45 persen warga juga menilai penularan Covid-19 di transportasi umum cukup besar. Hanya 31 persen warga yang menganggap penularan Covid-19 di transportasi umum kecil.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2FWhatsApp-Image-2020-05-27-at-13.44.28_1590562659.jpeg)
Penumpang mikrolet duduk di depan, samping sopir, Rabu (27/5/2020). Sesuai aturan, angkutan umum hanya diperkenankan mengangkut penumpang separuh dari kapasitas kendaraan. Menurut aturan, penumpang pun tidak diperkenankan duduk di samping pengemudi.
Sementara itu, 41 persen warga menganggap risiko penularan Covid-19 di pasar dan pusat perbelanjaan cukup besar. Sebagai perbandingan, 36 persen warga menilai penularan Covid-19 di tempat umum tersebut cenderung kecil.
”Kalau menurut saya pasar, ya, yang paling berisiko karena di sana orang sering berkerumun,” kata Sohibi.
Optimistis sembuh
Optimisme warga DKI Jakarta terhadap tingkat kesembuhan Covid-19 juga relatif tinggi. Sebanyak 47 persen warga merasa sangat yakin bisa sembuh jika terpapar Covid-19, sedangkan 39 persen lainnya merasa yakin. Warga berusia di bawah 25 tahun lebih optimistis dibandingkan dengan usia di atas 55 tahun.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2F743c618c-2587-491e-beb9-8fb82aab212e_jpg.jpg)
Jumadi (38), warga Tanjung Duren, Jakarta Barat, saat ditemui di Jakarta, Minggu (5/7/2020).
”Saya sangat yakin bisa sembuh karena keyakinan kadang bisa memengaruhi kesembuhan orang dari penyakit,” kata Jumadi.
Sementara itu, mayoritas warga menyadari bahwa ekonomi dan kesehatan adalah dua hal yang sama pentingnya. Hanya saja, masih ada 16 persen warga yang menganggap ekonomi lebih penting dibandingkan dengan kesehatan. Selain itu, ada sekitar 15 persen warga rela tertular Covid-19 agar kondisi ekonominya tidak terganggu.
Saya sangat yakin bisa sembuh karena keyakinan kadang bisa memengaruhi kesembuhan orang dari penyakit. (Jumadi)
Menurut Jumadi, kedua hal tersebut sama-sama penting. Di satu sisi ia membutuhkan uang, di sisi lain ia tidak akan bisa bekerja jika tidak sehat. Akan tetapi, terkadang seseorang harus mengabaikan risiko tertular Covid-19 karena terdesak keadaan.
”Andai saja saya masih punya tabungan, pasti saya santai saja kalau tidak kerja. Sayangnya tabungan saya hanya bertahan satu bulan,” ujarnya.
Kurang siap
Dari 28 pertanyaan kuesioner yang disebarkan pada survei di atas, akhirnya ditarik kesimpulan bahwa warga DKI Jakarta kurang siap menghadapi tatanan normal baru. Kesimpulan ini didasarkan atas skor indeks persepsi risiko warga, yakni sebesar 3,30. Skor ini mendekati kategori rendah (3,00) dan jauh dari kategori agak tinggi (4,00).
”Ini cukup mengkhawatirkan. Kita bisa bilang DKI Jakarta kurang siap menghadapi tatanan normal baru,” kata Amir.
Menurut Amir, selain data epidemologi, data sosial juga penting untuk merefleksikan kondisi sosial secara empirik. Dengan perpaduan data ini, diharapkan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 bisa lebih akurat.