Warga Abaikan Risiko Penularan karena Faktor Ekonomi
Survei yang dihimpun peneliti bersama komunitas warga mengungkap kesulitan ekonomi kerap menjadi alasan pengabaian risiko penularan Covid-19 di Jakarta. Hal ini dapat berpengaruh pada kepatuhan akan pembatasan sosial.
Oleh
Aditya Diveranta
·4 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Sejumlah pedagang baju di Pasar Binaan Warga, Jatibaru, Tanah Abang, Jakarta Pusat, beraktivitas seperti biasa di tengah kebijakan pembatasan sosial berskala besar yang masih berlaku di kawasan DKI Jakarta, Senin (1/6/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Sebuah survei mengungkap faktor kesulitan ekonomi menjadi alasan terbesar warga dalam mengabaikan risiko penularan Covid-19 di Jakarta. Kondisi semacam ini semestinya diantisipasi pemerintah dengan menjamin keberadaan berbagai macam bantuan untuk warga secara utuh.
Hal itu terungkap dalam survei indeks persepsi risiko yang diumumkan gerakan warga Lapor Covid 19 bersama Social Resilience Lab Nanyang Technological University (NTU), di Jakarta, Kamis (4/6/2020). Survei dilakukan selama rentang waktu 29 Mei-2 Juni, dengan mencakup 3.160 responden yang tersebar hampir setiap kelurahan di Jakarta. Rentang usia responden secara umum 36-46 tahun dengan pendidikan terakhir SMA dan sarjana.
Hasil survei menunjukkan ada tiga dari enam variabel yang tergolong rendah, yakni variabel risiko persepsi senilai 3,01 poin, variabel modal sosial 3,34 poin, dan variabel ekonomi yang paling rendah, yakni 2,93 poin. Associate professor bidang sosiologi bencana NTU Singapura, Sulfikar Amir, menuturkan, sebagian besar responden dalam survei menyatakan berani mengambil risiko keluar rumah saat situasi keuangan sedang terimpit.
”Dalam survei, kami melontarkan pertanyaan ’seberapa rela warga mengambil risiko untuk keluar rumah demi menjaga penghasilan sehari-hari?’. Dari poin itu, banyak responden menjawab berani nekat ambil risiko,” tutur Sulfikar dalam telekonferensi pers, Kamis siang.
Masker menjadi salah satu komoditas penting di Pasar Binaan Warga, Jatibaru, Tanah Abang, Jakarta Pusat, di tengah pandemi Covid-19 saat ini, Senin (1/6/2020).
Sulfikar menyatakan, jawaban responden menandai impitan ekonomi benar terjadi dan turut berdampak pada persepsi risiko di kalangan masyarakat. Ia menyayangkan karena di tengah rendahnya poin variabel ekonomi, warga Jakarta sebenarnya cukup bagus dalam tiga poin variabel lain. Ketiga hal itu ialah variabel pengetahuan senilai 3,83 poin, variabel informasi 3,65 poin, dan variabel perlindungan diri 4,18 poin.
Dengan sejumlah variabel itu, artinya responden sebenarnya telah memiliki pemahaman yang cukup baik. Namun, responden masih nekat mengambil risiko melanggar ketentuan pembatasan sosial dalam situasi tertentu, terutama apabila dalam kondisi impitan keuangan.
Irma Hidayana, aktivis Koalisi Warga Lapor Covid 19, menuturkan, kondisi itu menandakan pemerintah belum sepenuhnya menjamin kebutuhan ekonomi bantuan dan sosial warga. Padahal, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan, setiap orang memiliki hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya selama masa karantina.
”Apabila mengacu pada konsep pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang mengacu pada UU Kekarantinaan Kesehatan, jaminan sosial dan kebutuhan hidup lain sepenuhnya disediakan oleh negara. Dengan demikian, tidak ada lagi kondisi yang memprihatinkan dan turut memengaruhi persepsi risiko warga secara umum,” papar Irma.
Pedagang baju di Pasar Binaan Warga, Jatibaru, Tanah Abang, Jakarta Pusat, bersolek di sela-sela waktu senggang saat berdagang, Senin (1/6/2020).
Belum siap normal baru
Berdasarkan indeks persepsi risiko, hasil survei mendapatkan angka indeks sebesar 3,46 poin. Dari angka indeks itu, Sulfikar menilai, warga DKI Jakarta belum siap untuk beralih dari PSBB karena persepsi risiko yang masih rendah.
Dia merinci, angka itu berada di antara indikator angka 3 dan 4 dalam skala tertinggi di angka 5. Angka 3 dapat diartikan kurang siap, sementara angka 4 adalah agak siap. Sulfikar menyebutkan, Jakarta masih harus meningkatkan indeks persepsi risiko sedikitnya hingga angka 4 poin.
Dalam konsep sosiologi risiko, rendahnya persepsi risiko berpotensi memengaruhi tingkat kepatuhan akan pembatasan sosial. Rendahnya kepatuhan itu pun berpengaruh pada tingkat penularan atau transmisi lokal wabah di suatu wilayah.
Untuk saat ini, Sulfikar menyarankan pemerintah agar tetap berupaya meningkatkan persepsi risiko publik. Hal seperti penyampaian informasi mengenai pencegahan Covid-19, edukasi protokol kesehatan, serta pemerataan distribusi bantuan sosial harus tetap berjalan.
Pembatasan sosial juga disarankan agar berlanjut. Seiring dengan itu, keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melanjutkan PSBB disertai masa transisi. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dalam keterangan pers secara daring pada Kamis sore, menyatakan, PSBB masih akan berlanjut dengan disertai masa transisi.
”Secara umum, masih ada wilayah yang menjadi zona merah. Karena itu, kita masih dalam status PSBB. Tetapi, dalam kondisi tersebut, kita mulai memasuki masa transisi pada bulan Juni ini,” ujar Anies.
Masa transisi yang dimaksud Anies adalah transisi dari PSBB menuju kondisi yang aman, sehat, dan produktif. ”Kami ingin Jakarta kembali menjadi kota yang aman, sehat, bebas dari Covid-19, dan masyarakat bisa berkegiatan baik sosial maupun ekonomi. Dalam masa transisi, kegiatan sosial-ekonomi sudah bisa dilakukan secara bertahap, dan ada batasan yang harus ditaati,” ungkapnya.