Para Istri Bersuara di Tengah Kontroversi RUU Ketahanan Keluarga
Kaum istri turut merespons terkait rancangan undang-undang yang memberatkan peran mereka. Peran di dalam rumah tangga semestinya berdasarkan kesepakatan antar-anggota keluarga, tidak harus diatur negara.
Oleh
Aditya Diveranta/Insan Alfajri
·4 menit baca
Fauzia Yuniar (39) baru memarkir sepeda motornya di Sekolah Dasar Negeri 06 Tanjung Duren Utara, Jakarta Barat. Di tengah kesibukan berjualan nasi soto, Kamis (20/2/2020) siang, ia menyempatkan diri menjemput anaknya yang masih duduk di kelas II SD.
Menjemput anak adalah salah satu rutinitas yang ia sepakati bersama suami. Hanya Fauzia yang sempat menjemput anak ketika suaminya tengah bekerja kantoran. Di hari Sabtu, suami menggantikan dirinya menjemput anak sepulang dari mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sekolah.
Begitu pula dengan pekerjaan di rumah. Ibu dua anak ini bercerita, sejumlah pekerjaan telah dibagi merata bersama suami. Sebelum Subuh, dia menyiapkan segala keperluan suami dan anak sambil memasak. Menjelang sore, suaminya turut membantu membersihkan rumah.
Berbagai pekerjaan di rumah serta urusan rumah tangga lainnya diatur keluarga Fauzia atas dasar kesepakatan. ”Selama ini saya dan suami luwes saja dalam mengerjakan berbagai urusan rumah tangga. Kalau saya lagi tidak bisa, suami pun rela mengerjakan pekerjaan di rumah,” tuturnya.
Fauzia justru khawatir ketika muncul sebuah rancangan undang-undang (RUU) yang berusaha mengatur konsep berkeluarga di Indonesia. Regulasi yang dinamai RUU Ketahanan Keluarga ini mengatur berbagai hal terkait hubungan keluarga, pasangan suami-istri, bahkan hingga aturan dalam berhubungan seksual.
Kemunculan RUU ini dianggap menuai kontroversi karena terlalu mengurusi ranah privat dalam hubungan keluarga. Pasal 25, misalnya, berusaha mendefinisikan kewajiban suami dan istri dalam keluarga. Jika mencermati ayat ketiga pasal ini, istri disebut memiliki kewajiban mengatur urusan rumah tangga, menjaga keutuhan keluarga, serta memenuhi hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan perundang-undangan.
Sementara itu, dalam poin suami tidak disebutkan adanya kewajiban untuk mengurus rumah tangga serta memenuhi hak istri dan anak. Dalam poin suami hanya disebutkan suami sebagai kepala keluarga bertanggung jawab menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga. Tidak ada detail terkait urusan rumah tangga.
Dwi Lilis (52), warga Kelurahan Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, khawatir RUU ini akan menjadi pembenaran bagi suami saat meninggalkan pekerjaan rumah tangga. Sebab, selama ini, dia terbiasa berbagi tugas dalam urusan rumah tangga, apalagi saat mengurusi anak.
”Jangan-jangan nanti suami malah bawa undang-undang saat menyuruh istri beresin rumah. Ma, istri, kan, harus mengurusi aturan rumah tangga sebaik-baiknya. Seram juga kalau itu terjadi,” kata Dwi.
Umi (52), warga Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, juga khawatir RUU Ketahanan Keluarga menjadi alasan suami untuk menyalahkan istri dalam mendidik anak. ”Sering kali saat suami sedang emosi, lalu dia ngomong, kamu bagaimana, sih, ngurus anak? Padahal, anak, kan, semestinya tanggung jawab bersama,” ucap ibu empat anak ini.
Komisioner Komisi Nasional Perempuan, Siti Aminah, memandang RUU Ketahanan Keluarga terlalu masuk ke ranah privat. Aneh sekali apabila sebuah regulasi mengatur hubungan di dalam keluarga. Sementara untuk urusan kekerasan dalam rumah tangga, negara kerap tidak hadir untuk membela.
Siti menilai undang-undang semacam ini berpotensi melanggar hak warga negara sendiri dalam memiliki privasi. ”Jika memang undang-undang ini berlaku, saya pikir sebagian besar warga tidak akan menjalankan karena dianggap tidak relevan dalam kehidupan bermasyarakat,” ucapnya.
Psikolog Tika Bisono berpendapat, RUU Ketahanan Keluarga berpotensi memberi beban lebih berat kepada istri di rumah. RUU juga seakan tidak berpihak kepada perempuan yang bekerja. Sebab, tidak ada poin pasal yang menjelaskan secara spesifik seorang istri boleh bekerja.
Chintania Rosaline (27), warga Tangerang Selatan, Banten, menilai kewajiban suami dan istri semestinya tidak saklek diatur sebagai undang-undang. ”Soal saya bekerja kantoran, misalnya, cukup diobrolkan bersama suami, tidak perlu sampai diatur dalam undang-undang. Seakan-akan tidak ada hal lain yang lebih penting diurus oleh negara,” ungkapnya.
Terkait hal itu, Siti menambahkan, peran istri dalam RUU semestinya tidak dibatasi sebagai pengurus rumah tangga. Begitu pula dengan lelaki sebagai pencari nafkah. Sebab, peran sebagai pengurus rumah tangga atau pencari nafkah dapat dilakukan baik oleh suami maupun istri di zaman sekarang.
Tika pun menyampaikan, RUU semestinya membuat peran suami dan istri lebih kolegial. Dalam kehidupan masyarakat urban, peran suami dan istri saat ini lebih fleksibel. Asal bisa saling mengisi, hal ini dinilai sah-sah saja.
”Hal yang paling penting, jangan sampai ada salah satu pihak merasa terbebani di dalam keluarga. Hubungan suami dan istri itu semestinya saling mengisi, bukan hanya memberatkan salah satu pihak,” jelas Tika.