Jerat Hitam Prostitusi Anak
Prostitusi anak di Indonesia, termasuk di Ibu Kota, masih sulit diberantas. Prostitusi anak dipicu banyak hal, termasuk kemiskinan. Memutus praktik ini butuh penegakan hukum dan kerja sama banyak pihak.

Jejak kejahatan prostitusi yang melibatkan anak, yaitu orang di bawah usia 17 tahun, melekat di Jakarta sejak lama. Dari pemberitaan koran ini, laporan kasus prostitusi anak diangkat sejak 1967.
Koordinator dari Ending The Sexual Exploitation of Children (ECPTA) Indonesia, Ahmad Sofian, mengatakan, prostitusi anak di Indonesia masih sulit diberantas. Situasi ini tidak terlepas dari permintaan terhadap anak secara global untuk kebutuhan seks yang terus meningkat. ”Di negara berkembang, seperti Indonesia, penanganan masalah ini masih minim, bukan jadi skala prioritas,” katanya, Minggu (16/2/2020), di Jakarta.
Data 2018 Global Report on Trafficking in Persons menyebutkan, korban perdagangan manusia paling banyak menyasar perempuan dan anak. Korban perdagangan manusia di kalangan perempuan sebesar 49 persen dan anak perempuan 23 persen. Dari jumlah itu, bentuk perdagangan manusia paling banyak terjadi akibat eksploitasi seksual, yaitu mencapai 59 persen.
Adapun di Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, selama Januari-Februari 2020, total ada 60 anak yang jadi korban eksploitasi. Dari angka itu, ada sekitar 40 anak dijerumuskan dalam praktik prostitusi. KPAI menemukan, 10 anak positif terinfeksi radang serviks yang diduga kuat akibat dipekerjakan sebagai PSK.
Kasus prostitusi anak yang dibongkar Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara di Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada 6 Februari 2020, menambah rentetan kejahatan serius pada anak yang membutuhkan perhatian semua pihak. Sembilan anak asal Indramayu, direkrut dari kampung dan orangtuanya diberi uang. Uang itu kemudian dihitung sebagai utang yang akan dilunasi setelah sembilan anak itu bekerja.

Kesembilan anak itu disekap di salah satu unit di apartemen di Kelapa Gading dan hanya keluar dari hunian itu saat harus melayani tamu atau menjadi penari striptis di salah satu klub malam di salah satu hotel di Jakarta Pusat. Selain mucikari dan anak buahnya, jaringan ini juga bekerja sama dengan pihak lain yang bertugas memalsukan KTP korban sehingga mereka menjelma berusia lebih dewasa.
Sebelumnya, temuan di kasus prostitusi anak di Kalibata City, Jakarta Selatan, para korban perempuan di bawah usia 17 tahun disiksa fisiknya dan diminta melayani tamu sepanjang hari oleh mucikari.
Baca juga: Polisi Kembali Bongkar Prostitusi Anak di Jakarta Utara
Baca juga: Polres Jaksel Bongkar Kasus Prostitusi Anak di Kalibata City
Ahmad mengatakan praktik prostitusi masih sulit diberantas karena ada anggapan tak benar, yaitu bahwa anak-anak yang masuk ke jeratan prostitusi akibat kehendak mereka sendiri. Prostitusi anak di kota besar dinilai dampak dari kecenderungan manusia di era modern yang hedonis, materialis, dan akibat maraknya industri hiburan dan pariwisata.
Dari segi penegakan hukum, penanganan masalah prostitusi dinilai belum serius. Sebab, saat kasus prostitusi anak dibongkar, pihak-pihak yang diadili dan ditangkap hanya perekrut dan mucikari. Sementara pelanggan atau pengguna selalu berhasil lolos.
Penegakan hukum yang parsial ini di antaranya terlihat dari pantauan di salah satu tempat hiburan malam di wilayah Jakarta Pusat. Tempat yang diduga kuat menjadi tempat sembilan anak asal Indramayu, yang terkait di kasus di Kepala Gading, dieksploitasi dan diperjualbelikan, hingga kini masih aktif beroperasi.
Di tempat hiburan ini, dentuman suara musik yang tak kunjung reda, berbagai jenis hiburan malam disuguhkan. Ada yang duduk sembari meneguk minuman keras, ada yang menikmati dentuman musik dengan berbagai jenis genre, hingga menyaksikan 10 penari striptis beraksi di pentas sudut ruangan itu.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F01%2Fkompas_tark_22466280_95_1.jpeg)
Pesan untuk menghentikan kekerasan terhadap anak terwujud dalam mural di Jalan Raya Meruyung, Depok, Jawa Barat, Sabtu (19/3). Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang dirilis pada 15 Februari lalu menyatakan bahwa terdapat 1.844 kasus kekerasan terhadap anak sejak pergantian tahun. DKI Jakarta dan Jawa Barat merupakan daerah dengan kasus terbanyak.
Di sisi lain gedung itu, ada sejumlah perempuan berpakaian rapi dan bercelana panjang mondar-mandir mendekati pengunjung yang didominasi lelaki. Tak jelas apa yang dibicarakan, tetapi tak lama kemudian perempuan itu pergi dan kembali lagi membawa perempuan-perempuan muda dengan pakaian minim. Perempuan-perempuan itu kemudian menemani para pengunjung bersama-sama meneguk minuman keras, saling bercerita, hingga kemudian saling berangkulan meninggalkan tempat hiburan itu.
Dalam dua jam, antara pukul 00.00 dan 02.00, Kamis (13/2/2020), transaksi serupa terus terjadi tanpa putus.
Seorang perempuan muda, Isna yang mengaku telah berusia 20 tahun asal Subang, Jawa Barat, mengatakan, dia sudah bekerja di sana selama dua minggu. Setiap malam ia menemani pengunjung hingga memenuhi hasrat seksual pelanggan. Tarif yang ia dapatkan saat melayani satu pengunjung Rp 365.000. Dari jumlah itu, ia hanya mendapat Rp 105.000.
Baca juga: Kepada Siapa Anak Indonesia Berlindung
Orangtua tak tahu
Di luar masih maraknya prostitusi anak yang diungkap di Jakarta, keluarga para korban diduga tidak tahu apa yang terjadi dengan putri-putri. N (16) asal Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, misalnya, sebelumnya diketahui pihak keluarga merantau ke Ibu Kota sebagai pengasuh anak. Belakangan, polisi menemukan N bersama delapan perempuan lainnya menjadi korban perdagangan anak di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Siang itu, Sabtu (15/2/2020), permukiman Desa Kroya, Kecamatan Kroya, Indramayu, tampak sepi. Sebagian besar warga sedang menanam padi di sawah. Begitupun Kar (40) dan Ul (36), orangtua N. ”Sekitar tiga hari lalu, dia (N) menelepon ke ibunya. Katanya, lagi sibuk ngasuh anak,” ujar Kar.
N memang tidak setiap hari memberi info. Bahkan, pernah sebulan ia tak mengontak orangtuanya. ”Eh, ternyata, HP-nya ditahan majikan,” ungkap Kar.
Keluarga tak tahu alamat, yayasan, dan nama majikan tempat N bekerja. Menurut Kar, N pergi sejak Desember 2019 untuk menjadi pengasuh anak di Jakarta. Sebelum berangkat, N menerima uang dari yayasan sebagai ongkos transportasi yang akan dibayar dengan potongan gajinya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2FIMG_8939_1581836160.jpg)
Suasana rumah N (16), korban perdagangan anak, di Desa Kroya, Kecamatan Kroya, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Sabtu (15/2/2020). N merupakan salah satu dari sembilan korban perdagangan anak yang diamankan Polres Metro Jakarta Utara beberapa waktu lalu.
”Bukan saya yang suruh dia ke sana. Katanya, bosan di kampung dan malas kerja di sawah,” ujar bapak dua anak ini. Kar juga sempat merantau ke Bandung dan Jakarta selama delapan tahun. Istrinya pernah menjadi asisten rumah tangga di Jakarta.
Desa Kroya berjarak sekitar 41 kilometer dari pusat pemerintahan Indramayu. Dari jalur pantura Losarang, desa itu dapat diakses melalui jalan aspal dan hotmix sekitar 28 kilometer. Jalan berbatu dan berlubang tersebar di beberapa titik.
Baca juga: Anak-anak Indonesia Diperdagangkan
Kar sehari-hari sebagai petani penggarap lahan sewa milik Perhutani. Penghasilannya tak tentu. Rumahnya yang berukuran 8 meter x 6 meter belum tuntas dibangun. Kamar mandi tak beratap dan berdinding spanduk serta terpal bekas.
Kar paham pilihan N merantau ke Jakarta. Modal N hanya ijazah sekolah dasar dan surat keterangan kependudukan. ”Dia lulusan SMP. Tetapi ijazahnya belum diambil karena masih ada tagihan bimbingan belajar di sekolahnya. Dia enggak mau lanjut SMA karena takut membebani orangtua,” kata pria lulusan SD ini.
Setelah tamat SMP dua tahun lalu, N langsung bekerja ke Jakarta bersama temannya. Kepada keluarga, N mengaku menjadi pengasuh anak dengan upah Rp 2 juta per bulan. Tahun lalu, ketika usianya 15 tahun, N menikah dengan nelayan dari Kandanghaur, tetangga Kecamatan Kroya.
Pernikahan tak mampu melepasnya dari jerat kemiskinan. Desember 2019, N pamit lagi kembali merantau ke Ibu Kota untuk menjadi pengasuh anak.
Sampai saat ditemui di rumahnya, Kar mengaku belum menerima informasi dari polisi bahwa anaknya korban perdagangan anak.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2FIMG_8940_1581836391.jpg)
Suasana rumah N (16), korban perdagangan anak, di Desa Kroya, Kecamatan Kroya, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Sabtu (15/2/2020). N merupakan salah satu dari sembilan korban perdagangan anak yang diamankan Polres Metro Jakarta Utara beberapa waktu lalu.
Seperti diberitakan, Kepolisian Resor Metro Jakarta Utara menangkap lima tersangka dalam kasus ini. ”Para korban ini direkrut dari kampung (Indramayu) dengan dijanjikan bekerja sebagai pendamping karaoke. Orangtua korban diiming-imingi uang sampai Rp 20 juta,” ujar Kapolres Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Budhi Herdi, Senin lalu (Kompas, 11/2/2020).
Baca juga: Sembilan Anak Jadi Korban Perdagangan Manusia di Jakarta Utara
Siklus tak putus
Bendahara Desa Kroya Warsono tidak mengetahui kasus N. Menurut dia, sekitar 25 persen dari sekitar 6.000 warga desa bekerja di pabrik atau menjual gorengan. ”Pak Kuwu (Kepala Desa Rasman) enggak mau kasih izin kerja kalau di bawah 17 tahun. Belum pernah ada kasus perdagangan anak di sini. Tapi, ada dua perempuan usia 30-an tahun bekerja di luar negeri dan belum pulang sampai sekarang,” ujarnya.
Sebaliknya, konselor HIV Terpadu Yayasan Kusuma Bongas, Indramayu, Sulistiani Andan Dewi, menilai, kasus perdagangan anak di wilayah Indramayu bagian barat acap kali terjadi. Di Bongas, yang merupakan tetangga Kroya, pihaknya mencatat 32 anak dan orang dewasa yang menjadi korban perdagangan manusia pada 2016-2018.
Apalagi, di perbatasan Kroya dan Haurgeulis terdapat lokalisasi Cilegeh Indah yang beroperasi sejak puluhan tahun lalu. Lokasinya bercampur dengan permukiman warga, kafe, dan kontrakan. PSK di sana umumnya berusia 25 tahun sampai lebih dari 30 tahun.
”Kalau yang muda-muda targetnya (kerja) ke Jakarta. Setelah tereksploitasi, anak-anak ini merasa telanjur ’kotor’ dan akhirnya balik lagi (menjadi PSK),” ujar Dewi.

Padahal, menurut dia, siklus eksploitasi anak dapat diputus dengan mengedukasi orangtua agar tidak termakan iming-iming mempekerjakan anaknya tanpa kejelasan. ”Pemerintah desa bisa membuat regulasi perlindungan anak, seperti tidak menikah dini. Dana desa juga harus memberdayakan warga,” ujarnya.