Penggagas proyek Monumen Nasional menginginkan kawasan ini menjadi ikon pemersatu bangsa. Pada perjalanannya kebesaran ide ini tergerus karena cita-cita sang penggagas tidak terwujud seutuhnya.
Oleh
Andy Riza Hidayat
·5 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Tugu Monumen Nasional
Gagasan tentang Monumen Nasional atau Monas belum paripurna. Pembangunan yang dimulai di era Presiden Soekarno itu tidak pernah dinyatakan tuntas oleh penguasa berikutnya. Ide besar di balik proyek yang didesain menjadi kebanggaan nasional itu seakan mengecil dari semangat awal.
Hal utama yang menjadi sorotan pemerhati cagar budaya adalah terkait model pengelolaan. Monas sebagai ikon kebanggaan nasional seharusnya dikelola sebuah badan yang punya kewenangan khusus di bawah koordinasi pemerintah pusat. Namun, dalam pelaksanaannya, kawasan ini dikelola Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, di bawah dinas pariwisata dan kebudayaan.
Pengelolaan ini merupakan interpretasi dari Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 1995 tentang Pembangunan Kawasan Medan Merdeka. Payung hukum ini memperkuat penyerahan pengelolaan Monas ke Pemprov DKI Jakarta pada 26 Agustus 1978, dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan selaku Ketua Panitia Pembina Tugu Nasional Daoed Joesoef kepada Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo. Dalam surat serah terima itu disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan berada di bawah Panitia Pembina Tugu Nasional (Kompas, 23 Januari 2020).
Penyerahan ini, menurut pengajar Universitas Pancasila, Yuke Ardhiati, berpotensi menimbulkan masalah. Sebagai ikon pemersatu bangsa, Monas tidak tepat diserahkan pengelolaannya kepada Pemprov DKI. ”Ini menjadi celah bagi Pemprov DKl memilki kewenangan penuh dalam mengelola Tugu Nasional, termasuk menata kawasannya bukan,” kata peraih gelar doktor Ilmu Sejarah di Fakultas Ilmu Budaya tahun 2004 dan Ilmu Arsitektur dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia tahun 2013.
Kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Kamis (23/1/2020). Saat ini sedang dilakukan proyek revitalisasi Plaza Selatan Monas. Proyek revitalisasi tersebut menuai polemik antara lain penebangan 190 pohon di sisi selatan Monas serta terkait izin yang belum diberikan Kementerian Sekretariat Negara selaku Komisi Pengarah Pembangunan Kawasan Medan Merdeka yang juga mencakup kawasan Monas.
Mengenai hal ini, Yuke pernah mengirim surat kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan pada 17 Agustus 2014. Ketika itu Yuke meminta agar pemerintah membentuk Badan Otorita Simbol-simbol Negara. Badan Otorita ini terdiri atas perwakilan seluruh provinsi di Indonesia. Lembaga ini berperan mengelola kawasan Monumen Nasional dan situs Rumah Proklamasi sebagai simbol-simbol kebanggaan nasional, termasuk sejumlah benda seni di Jakarta dan di daerah yang selama ini terabaikan.
Tugas utama dari Badan Otorita adalah melakukan pemutakhiran masterplan secara terpadu sebagai pemandu konservasi kedua kawasan penting itu di Ibu Kota. Namun, surat Yuke itu belum mendapat tanggapan hingga saat ini.
Yuke juga mengingatkan bahwa penyimpanan bendera pusaka sejauh ini belum dilakukan sebagaimana amanat Bung Karno. Melalui pidatonya pada 27 Juni 1960, Presiden ke-1 RI itu meminta agar bendera pusaka disimpan di Monumen Nasional. Bung Karno menginginkan agar benda itu dapat dilihat rakyat setiap hari sebagai kenangan perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya. Permintaan Yuke ini disampaikan kepada Presiden melalui Kementerian Sekretariat Negara pada 29 Desember 2014. Sama halnya suratnya ke Menteri Pendidikan, surat ke Presiden ini juga tidak berbalas.
Dilihat dari fisik bangunan, ada sejumlah bagian yang belum kelar dibangun hingga saat ini. Bangunan yang dimaksud itu seharusnya ada di empat pintu masuk ruang museum sejarah. Di dalam maket yang diperlihatkan Soekarno kepada publik, tampak jelas di setiap pintu masuk museum terdapat patung-patung yang telah disiapkan.
Rencana ini digambarkan di buku Tugu Nasional, Laporan Pembangunan1961-1978 (Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran DKI, 1978), Tugu Nasional dan Soedarsono (Solichin Salam, 1969), serta pada Naskah Akademik Badan Otorita Simbol-simbol Negara yang dibuat Yuke Ardhiati pada 2014.
Sesuai rancangan awal, seharusnya terpasang kelompok patung perjuangan di setiap empat pintu masuk ruang museum sejarah. Di sisi timur, ada patung kelompok perebutan kekuasaan dari Jepang. Di sisi tenggara seharusnya ada patung pahlawan 10 Nopember. Di sisi barat daya ada patung pembentukan TNI, dan sisi barat laut ada kelompok patung kebulatan Negara Kesatuan RI. ”Tapaknya sudah dibuat, tetapi patungnya tidak ada,” kata Nunus Supardi (76), pemerhati sejarah Monas.
Rencana mewujudkan patung itu belum sempat terwujud. Pada tapak yang sudah disediakan, pelaksana proyek sempat memasang patung berbahan kayu bekas. Namun, keberadaan patung-patung itu tidak bertahan lama, akhirnya keropos dan tidak terlihat lagi di sekitar tugu seperti disebut dalam buku Tugu Nasional dan Soedarsono (Solichin Salam, 1969) halaman 31.
Puncak Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Kamis (23/1/2020). Saat ini sedang dilakukan proyek revitalisasi Plaza Selatan Monas. Proyek revitalisasi tersebut menuai polemik antara lain penebangan 190 pohon di sisi selatan Monas serta terkait izin yang belum diberikan Kementerian Sekretariat Negara selaku Komisi Pengarah Pembangunan Kawasan Medan Merdeka yang juga mencakup kawasan Monas.
Sependapat dengan Yuke, Nunus Supardi mendukung gagasan pembentukan lembaga khusus pengelola simbol-simbol negara. Monas sebagaimana artinya adalah monumen nasional, ada kepentingan nasional di sana. Sudah selayaknya dikelola lembaga yang bernaung di bawah pemerintah pusat.
Lantaran celah pengelolan itu, tidak heran jika saat ini terjadi kegaduhan menyangkut revitalisasi kawasan Monas. Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, melihat ada proses yang dilewatkan Pemprov DKI Jakarta, yaitu tidak ada sosialisasi dan dialog publik.
Di sisi lain, seharusnya ada perencanaan, pengurusan izin-izin, amdal, dan penanggung jawab, baru muncul penganggaran. Namun yang terjadi, penganggaran dulu baru perencanaan. Sementara pembagian peran antara pemerintah pusat dan DKI Jakarta belum tuntas, Kompas, 30 Januari 2020.
Secara keseluruhan, pembangunan kawasan Tugu Nasional tidak selesai pada era Soekarno. Pembangunan pada era Bung Karno terjadi hingga tahap bentuk keseluruhan Tugu Nasional dengan lidah api dan patung Pangeran Diponegoro. Kegiatan pembangunan Tugu Nasional selanjutnya diteruskan pada era Presiden Soeharto berkuasa.
Pengunjung berada di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Kamis (13/2/2020). Rencana penyelenggaraan ajang balapan Formula E di kawasan Monas masih menuai perdebatan.
Namun, Yuke Ardhiati menyayangkan, dokumen teknis semasa pembangunan tidak diketemukan, kecuali sejumlah buku laporan pembangunan. Ketiadaan dokumen teknis itu menjadikan Tugu Nasional terkendala pada saat konservasi. Adapun payung hukum yang menjadi acuan sementara ini adalah Keppres Nomor 25 Tahun 1995 yang terbit pada era Presiden Soeharto.
Mengacu ketentuan itu, ada pemanfaatan ruang parkir kendaraan di kawasan Monas hingga belum terintegrasinya ruang publik. Penyelamatan kawasan ini memerlukan intervensi dari Dewan Perwakilan Daerah ataupun Dewan Perwakilan Rakyat dan Sekretariat Negara RI. Dari sini dapat diketahui bahwa sesungguhnya proyek Monas belum benar-benar tuntas. Pada gilirannya perlakuan terhadap kawasan ini pun jauh panggang dari api, tidak sesuai dengan maksud penggagasnya.