Banjir Kali Bekasi dan Kisah Lima Dekade Melibas Lahan
Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Bekasi membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah. DAS Kali Bekasi berpotensi menimbulkan bencana besar sebab luasnya saja lebih besar 60 kilometer persegi dibandingkan DAS Ciliwung.
Liauw Wie Tjong (58) dan Jo Elsye Nio (57) sibuk di halaman rumah yang penuh dengan tumpukan barang-barang berlumpur. Dengan tangan keriput dan kulit yang telah mengendur, pasangan lanjut usia itu memilah-milih perkakas rumah tangga yang masih bisa digunakan setelah terendam banjir hampir sebulan yang lalu.
”Sudah dibersihkan satu per satu setiap hari, tetapi belum beres juga,” kata Liauw sambil menggosok sisi-sisi akuarium yang dipenuhi lumpur kering saat ditemui di rumahnya, Senin (27/1/2020).
Akuarium itu salah satu dari perkakas rumah tangga Liauw yang terendam banjir berlumpur setinggi 6 meter pada 1 Januari 2020. Pada pekarangan rumah yang terletak di Perumahan Pondok Gede Permai (PGP), Kecamatan Jati Asih, Kota Bekasi, Jawa Barat, itu, barang kotor lain juga menumpuk. Mulai dari pakaian, lemari, televisi, hingga bangkai pendingin udara.
Selain barang-barang kotor berlumpur, daun pintu terlepas dari kusen. Gipsum yang terpasang di langit-langit rumah seluas 36 meter persegi itu pun rontok tak bersisa. Akibatnya, rumah tak bisa ditempati. Sudah hampir sebulan sepasang kakek dan nenek satu cucu itu mengontrak rumah di wilayah dataran yang lebih tinggi, tak jauh dari kompleks perumahannya.
Meski harus bolak-balik setiap hari, datang pukul 09.00 lalu pulang pukul 17.00 untuk membersihkan rumah, Elsye dan Liauw tetap bersemangat. Sebab, sekalipun baru sekali banjir mencapai 6 meter, musibah itu bukan pengalaman baru bagi mereka dan 1.364 keluarga lainnya di kompleks PGP.
”Sejak seminggu setelah kami menempati rumah baru tahun 1992, rumah ini sudah kebanjiran sekitar 50 sentimeter (cm),” kata Liauw.
Perdana menghadapi banjir, Liauw dan Elsye yang kala itu baru saja menikah tak khawatir. Mereka mengira itu merupakan pengalaman pertama dan terakhir di kawasan perumahan yang diklaim pengembangnya berjenis real estatdan bebas banjir itu. Sayang, perkiraan itu salah telak. Pada musim hujan tahun berikutnya, banjir kembali menerjang semua rumah di PGP dengan ketinggian yang terus meningkat setiap tahun.
Baca juga : Bertahun-tahun Dilanda Banjir, Warga Bekasi Minta Solusi Permanen
Menurut Liauw, peningkatan tinggi banjir itu sejalan dengan penambahan bangunan di kompleks PGP. Pada 1992, belum semua lahan terisi. Sebagian masih berupa sawah yang ramai dijadikan kubangan kerbau, termasuk jalan di depan rumah Liauw yang kini sudah dibeton.
Seiring dengan peningkatan tinggi banjir itu pula, tanggul Kali Bekasi yang berada di sisi perumahan pun selalu ditinggikan. Saat ini, tinggi tanggul mencapai 4-5 meter. ”Anehnya, setiap tanggul ditinggikan, debit air ikut bertambah, tanggul jebol, dan air meluap ke permukiman,” ujar Liauw.
Rawa jadi sawah
Cerita banjir di kompleks PGP memang bukan yang pertama. Harian Kompas setidaknya pertama kali memberitakan banjir di kawasan yang saat itu masih berbentuk Kabupaten Bekasi pada 1971. Saat itu, banjir menerjang 8.650 hektar (ha) sawah, 1.300 ha tanah palawija, dan 64 rumah (Kompas, 25/2/1971).
Setahun setelahnya, meski tak disebutkan jelas tentang wilayah terdampak, Kompas ikut memberikan sumbangan ke sejumlah korban banjir di Bekasi, Ciamis, Indramayu, Cirebon, dan Karawang (Kompas, 30/3/1972). Kemudian pada 1973, banjir kembali merendam persawahan seluas 3.000 ha di barat Kali Citarum karena ada tanggul yang jebol saat hujan deras. Tanggul tak mampu menahan debit air sebesar 1.100 meter kubik per detik (Kompas, 2/5/1973).
Baca juga : Banjir Masih Akan Mengancam Warga di Sekitar Kali Bekasi
Empat tahun berikutnya, curah hujan yang tinggi kembali menyebabkan banjir pada 7.000 ha sawah dan 5.700 rumah warga di beberapa kecamatan. Bahkan, saat itu, banjir mengakibatkan satu orang meninggal di Kecamatan Cibitung (Kompas, 24/1/1977).
Banjir sebagian besar terjadi di sawah karena memang wilayah kabupaten itu juga didominasi persawahan. Sekalipun pada dekade 1970-an Bekasi sudah mulai dirancang sebagai pusat ekonomi tandingan untuk menyerap kelebihan jumlah penduduk Jakarta, pembangunan belum digencarkan.
Desa Djati Asih, Kecamatan Pondok Gede, misalnya, dalam peta sensus penduduk terbitan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 1970 tampak didominasi sawah. Ada pula lima blok perkebunan karet. Hanya ada tujuh daerah tempat tinggal yang jika digabungkan luas wilayahnya tak sampai sepersepuluh dari total luas desa.
Sawah juga memenuhi dataran Desa Djati Bening, Kecamatan Pondok Gede, pada 1970. Peta BPS pada tahun tersebut memperlihatkan, ada 17 daerah tegalan dan lima daerah permukiman yang berada di tepi-tepi sawah.
Daerah permukiman yang lebih banyak tampak di Desa Bodjong Rawalumbu, Kecamatan Tambun, yaitu sekitar 30 blok. Akan tetapi, gabungan seluruhnya juga tak lebih luas dari persawahan ditambah dua telaga yang ada di sana.
Keberadaan persawahan yang merupakan alih fungsi dari rawa itu bermasalah sejak awal. Menurut Direktur Muda Eksploitasi dan Pemeliharaan Perum Otorita Jatiluhur Sukarma Kemben, tidak semua rawa bisa dijadikan sawah begitu saja. Pada beberapa bagian yang berpermukaan tanah rendah, pengubahan semestinya didahului dengan reklamasi.
Tanpa reklamasi, air hujan yang tertampung tak bisa segera dibuang ke laut mengingat sistem drainase belum ada kala itu. Oleh karena itu, Sukarma menduga, banjir yang terjadi di bagian utara Bekasi, Karawang, dan Subang merupakan dampak dari alih fungsi lahan yang tak tepat (Kompas, 3/2/1977).
Rezim perumahan
Belum tuntas urusan banjir di persawahan, pembangunan mengubah lanskap Bekasi dan turut membawa bencana itu bersamanya. Pada akhir dekade 1980-an, perusahaan pengembang perumahan, antara lain PT Kemang Pratama dan Perum Perumnas, mulai merespons rencana pemerintah mentransformasikan Bekasi menjadi penyangga Ibu Kota.
Sebermula, mereka membangun perumahan di atas persawahan di wilayah selatan atau mengikuti aliran Kali Bekasi. Selain menjual eksotisme sungai yang titik nolnya berada di wilayah Jati Asih dan berbatasan dengan Kabupaten Bogor itu, lokasi dipilih karena berdampingan dengan Jalan Tol Jakarta-Cikampek yang diresmikan pada 1988. Beberapa di antaranya adalah PGP, Perumahan Angkatan Laut, Kemang IFI Graha, Pondok Mitra Lestari, Perumahan Depnaker, Kemang Pratama, dan Perumnas Bumi Bekasi Baru Rawalumbu.
Kebutuhan perumahan di Bekasi memang tinggi karena pertumbuhan jumlah penduduk pada 1990-an mencapai 6,29 persen per tahun. Bekasi juga menampung warga pindahan dari Ibu Kota, tercatat tingkat migrasi dari DKI Jakarta sebesar 4,4 persen (Kompas, 9/6/1995).
Oleh karena itu, pembangunan perumahan semakin masif, bahkan melupakan kelestarian lingkungan. Konstruksi Perumnas tahap III di Rawalumbu, Kota Administratif (Kotif) Bekasi, misalnya, dibangun di atas urukan Rawa Roko yang semula merupakan tempat parkir air alami (Kompas, 25/11/1994).
Pengurukan rawa berdampak langsung pada warga Perumnas Bumi Bekasi Baru yang kompleksnya sudah dibangun lebih dulu pada tahap I dan II. Setelah hujan deras selama 1,5 jam, ratusan rumah di kompleks itu terendam banjir setinggi 60 cm. Padahal, sebelumnya wilayah tersebut bebas dari banjir.
Setelah diuruk, air dari Rawa Roko mengalir ke Bumi Bekasi Baru, bergabung dengan air hujan sehingga satu-satunya drainase yang ada tak mampu menampung. Warga mengajukan protes, baik kepada perusahaan pengembang maupun pemerintah. Namun, tidak ada jawaban, apalagi solusi. Pembangunan tetap digencarkan.
Dampak pengurukan Rawa Roko semakin parah tiga tahun setelahnya. Pada 1997, ketika Kotif Bekasi sudah dimekarkan menjadi Kotamadya Bekasi, banjir di Bumi Bekasi Baru sudah meningkat pada kisaran 50 cm-1,5 meter atau yang terparah dibandingkan perumahan yang ada di kecamatan lain.
”Kami sudah mengadu ke pemerintah daerah (pemda), tetapi tidak pernah ada tanggapan. Banjir ini, kan, karena ada enam perumahan lain di sebelah selatan yang semuanya menggunakan saluran pembuang ke Perumahan Bumi Bekasi Baru,” kata Imron Nasution, warga setempat (Kompas, 17/12/1997).
Restu pemerintah
Hasil dari gencarnya pelibasan lahan baik sawah maupun rawa terlihat pula dalam Peta Rupa Bumi Bekasi yang dikeluarkan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) tahun 1999. Pada akhir dekade 1990-an, wilayah Kotamadya Bekasi sudah didominasi wilayah permukiman. Berbanding terbalik dengan Kabupaten Bekasi yang sebagian masih merupakan sawah irigasi.
Pembangunan memang sangat agresif. Selain perumahan, pemerintah kota (pemkot) yang baru dimekarkan juga melebarkan jalan serta membangun jembatan, bahkan underpass, untuk mendukung konsep baru Kotamadya Bekasi sebagai kota jasa dan perdagangan.
Pemkot pun merestui segala bentuk pembangunan yang diajukan baik warga maupun pengusaha di 12 kecamatan, sebagaimana tampak dari penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) yang menunjukkan tren peningkatan. BPS mencatat, pada tahun 2000 ada 7.471 IMB diterbitkan, kemudian 4.927 IMB pada 2001, 5.737 IMB pada 2002, 8.564 IMB pada 2003, 8.838 IMB pada 2004, dan 10.269 IMB pada 2005.
Terakhir pada 2018, pemkot menerbitkan 8.012 IMB. Dari ribuan izin itu, paling banyak diajukan untuk membangun rumah tinggal, disusul toko atau toko swalayan dan pasar.
Oleh karena itu, pada 2009 saja, ruang terbuka hijau di Kota Bekasi hanya tersisa seluas 24 ha atau 0,1 persen dari total luas wilayah 21.049 ha, sedangkan sawah bersisa 662 ha. Kemudian pada 2018, luas lahan sawah merosot ke angka 434 ha. Selebihnya merupakan lahan terbangun.
Terlambat 20 tahun
Peneliti di Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), M Fakhrudin, mengatakan, perubahan penggunaan lahan berpengaruh kuat terhadap banjir yang langganan terjadi di Kota Bekasi. Di wilayah yang didominasi lahan terbangun, air hujan dan limpasan dari hulu sungai tidak bisa diserap atau diperlambat alirannya. Oleh karena itu, banjir akan selalu terjadi baik saat curah hujan setempat tinggi maupun ada kiriman dari hulu.
Berdasarkan kajian LIPI, sebagian besar tanah di Kota Bekasi mengandung lempung sehingga sulit menyerap air. Untuk mengatasi banjir sebenarnya dibutuhkan banyak embung atau polder sebagai tempat parkir air sementara.
Akan tetapi, itu juga harus didukung dengan sistem drainase dengan pompa yang bisa mendorong air ke laut secara cepat. Sebab, Kota Bekasi merupakan wilayah landai yang ketinggian permukaan tanahnya berkisar 11-81 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan kemiringan 0-2 derajat. Artinya, tanpa dukungan pompa yang optimal, genangan air cenderung bertahan lama.
Selain itu, penambahan luas ruang terbuka hijau di daerah hulu Kali Bekasi jelas dibutuhkan. Saat ini, hulu Kali Bekasi yang berada di Jati Asih lalu ke Kabupaten Bogor disesaki banyak perumahan.
Fakhrudin mengingatkan, Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Bekasi membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah. DAS Kali Bekasi berpotensi menimbulkan bencana besar sebab luasnya saja lebih besar 60 kilometer persegi dibandingkan DAS Kali Ciliwung.
”Mungkin memang terlambat, seharusnya ini sudah diantisipasi sejak 20 tahun lalu. Kami pun sudah mengkaji dan mengingatkan pemerintah dari awal tahun 2000-an,” ujarnya.
Sementara itu, penanganan banjir selama ini masih jauh dari harapan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Bekasi periode 2018-2023, disebutkan bahwa soal banjir masih jadi pekerjaan rumah karena pada periode 2013-2018, ketercapaian pengurangan titik banjir baru 33,27 persen.
Baca juga : Sepuluh Kecamatan di Kota Bekasi Terendam Banjir
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi sejak awal menjabat periode kedua pada 2018 menekankan, penanganan banjir merupakan salah satu prioritas kerjanya. Strategi yang berulang kali dikemukakan adalah menambah embung atau polder di wilayah rawan banjir. Penampungan air itu dibuat secara bertahap menyesuaikan dengan ketersediaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Namun, belum ada ketegasan terkait pengendalian pembangunan dan perluasan RTH. Rahmat berdalih, pembangunan terutama perumahan adalah kebutuhan mutlak karena Kota Bekasi saat ini merupakan magnet berdaya tarik tinggi bagi masyarakat. Buktinya, ada ribuan IMB yang diterbitkan setiap tahun. ”Dengan IMB saja kita sudah setengah mati mengendalikan, apalagi kalau tidak ada,” kata Rahmat.
Meski demikian, ia mengakui, banjir Januari 2020 yang menerpa 10 dari 12 kecamatan, dengan 39 lokasi banjir atau paling banyak se-Jabodetabek, serta mengorbankan 9 jiwa ini membuatnya tersentak. ”Sebanyak 75 persen (perumahan) yang ada di sekitar Kali Bekasi itu terdampak. Mau tidak mau kita harus evaluasi itu,” katanya.
Salah satunya adalah dengan mewacanakan relokasi warga di titik banjir terparah, yaitu kompleks PGP. Entah bakal terwujud atau tidak, wacana itu sudah disampaikan saat Rahmat menemui Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan pada 9 Januari 2020.
Bagi Liauw, rencana itu menambah mimpi buruk setelah 28 tahun tinggal di tepi Kali Bekasi. Sejak awal teperdaya iklan perumahan yang mengklaim bebas banjir, menjadi korban keganasan alih fungsi lahan, kini terancam pula dipindah di hari tua. ”Lagi pula, kalau dipindah, belum tentu nanti bisa dapat rumah di tempat lain,” katanya sambil mencuci tangan yang penuh kerak lumpur.