Manchester City, ”Tetangga Berisik” MU yang Kini Juara
Puluhan tahun lamanya Manchester City jadi olok-olokan klub rival sekota, Manchester United. Kini City merebut enam gelar juara Liga Inggris sejak 2012, termasuk yang terakhir 2021-2022. Adapun MU paceklik gelar.
Hinaan, celaan, cibiran, ejekan dan segala macam olok-olokan itu kenyang diterima pelatih, pemain, dan pendukung Manchester City pada era 1990-an hingga menjelang 2010-an. Ketika itu,
”
Setan Merah
”, julukan Manchester United, berada di salah satu era keemasan saat dilatih Sir Alex Ferguson, manajer kenamaan asal Skotlandia.
Bahkan, dekade 1990 kerap disebut sebagai dekade paling sukses MU. Masa itu tercatat lima gelar juara Liga Inggris diraih, selain empat trofi Piala FA, serta masing-masing satu trofi dari Piala Liga, Liga Champions, Cup Winner’s Cup, Piala Super Eropa, dan Piala Interkontinental.
Banyak fans MU menyebut City sebagai ”tetangga berisik”, kebanyakan koar-koar, tetapi minim prestasi. Kala itu, faktanya memang demikian. Setelah terakhir kali menjuarai Liga Inggris musim 1967-1968, tim ”Biru Langit” belum juga menjamah trofi liga domestiknya hingga akhir dekade 2000-an. Padahal, sejumlah pelatih top juga direkrut, mulai dari Kevin Keegan (2001-2005), Stuart Pearce (2005-2007), dan Sven-Goran Eriksson (2007-2008).
Ferguson, dalam bukunya yang berjudul ”Memimpin”, sedikit menyinggung soal City, dan perang urat syaraf sepanjang hayat dengan MU. ”Selama bertahun-tahun, Manchester City, klub satu lagi di Manchester, mencoba mendefinisikan diri berdasarkan apa yang kami lakukan. Chairman City Peter Swales biasa menyebut kami sebagai ’Mereka yang di seberang jalan’. Dia tak dapat mengeluarkan Manchester United dari kepalanya”.
Ferguson melanjutkan, ”Bukannya berusaha memperbaiki Manchester City dan memusatkan perhatian kepada apa yang bisa dia kendalikan, dia malah mengkhawatirkan kami. Itu tidak masuk akal”.
Baca juga: ”Deja Vu” Terindah Manchester City
Titik awal perubahan
Jika kemudian City menjadi lebih berjaya, itu melalui proses yang cukup panjang. Semua itu berawal dari beralihnya kepemilikan tim Biru Langit ke Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan, petinggi pemerintahan sekaligus pebisnis asal Uni Emirat Arab, pada 2008. Dalam proses berikutnya, kepemilikan klub berada di tangan Abu Dhabi United Group, imperium bisnis Uni Emirat Arab milik Sheikh Mansour.
Berselang empat tahun kemudian, City merebut trofi Liga Inggris musim 2011-2012, saat ditangani Roberto Mancini. Perubahan lebih mendasar makin nyata seiring kehadiran Txiki Begiristain sebagai Direktur Sepak Bola Manchester City sejak 2012.
Tim kecil representasi manajemen Manchester City pernah berkunjung ke Kompas sekitar 2013 dan sempat mengungkapkan perubahan prinsipil dalam kepelatihan di Stadion Etihad. Ketika itu disampaikan bahwa City akan memainkan sepak bola menyerang, dengan mengutamakan penguasaan bola, dan sebagian menggunakan umpan dari kaki ke kaki. Prinsip itu pula yang membuat City memilih pelatih yang sesuai dengan karakter bermain itu. Bukan sebaliknya, karakter bermain City menyesuaikan pola si pelatih.
Baca juga: Parade Kemenangan Manchester City
Filosofi yang mirip Barcelona itu wajar adanya karena Begiristain termasuk pelatih yang sempat dibesarkan Barca, kurun 1988-1995. Pada masa itu, Begiristain merasakan polesan maestro ”total football” asal Belanda, Johan Cruyff. Bersama sejumlah bintang seangkatannya kala itu, di antaranya Andoni Zubizarreta, Jose Maria Bakero, dan Julio Salinas, Cruyff membawa tim asuhannya meraih empat trofi juara La Liga dan satu trofi juara Cup Winner’s Cup.
City lantas merekrut Manuel Pellegrini sebagai penggganti Mancini pada 2013. Meski bukan alumnus Barca, Pellegrini terbiasa memainkan sepak bola menyerang dari kaki ke kaki. Melalui tangan dinginnya, Malaga yang klub medioker Liga Spanyol dipandunya hingga perempat final Liga Champions 2013. Pada musim keduanya di Malaga, dia juga mengantar klub asuhannya ke tangga keempat klasemen akhir Liga Spanyol 2011-2012, prestasi bersejarah karena sebelumnya tak pernah tergapai.
Di City, Pellegrini yang dibekali gelandang-gelandang tangguh, seperti David Silva dan Yaya Toure, mengantar tim ”Biru Langit” juara Liga Inggris musim 2013-2014. Ini gelar juara liga domestik yang kedua bagi City setelah era sebelum 1970.
Era Guardiola
MU makin tertinggal dalam perburuan gelar juara Liga Inggris seiring kehadiran pelatih Pep Guardiola di City. Pelatih bertangan dingin yang jelas-jelas sealiran dengan Begiristain ini sudah mengantar City meraih empat gelar juara Liga Inggris: yakni musim 2017-2018, 2018-2019, 2020-2021, dan 2021-2022 yang baru saja berakhir.
Baca juga: Ramuan Manchester City Menjaga Hegemoni
Adapun MU? Setelah terakhir kali meraih trofi liga domestik pada 2012-2013, yang juga musim terakhir ditangani Ferguson, MU terpuruk. Malang tak kuasa ditolak setelah ditinggal Fergie, MU belum bisa menemukan pelatih yang bisa mengantar ”Setan Merah” merajai kompetisi domestik mereka. Padahal, ada beberapa pelatih dengan nama besar yang sempat memoles MU. Sebut saja Louis van Gaal (2014-2016) dan Jose Mourinho (2016-2018).
Sebaliknya, kebersamaan City dengan Guardiola diprediksi masih akan berlangsung hingga beberapa musim ke depan. Setidaknya ada dua faktor signifikan yang berpengaruh. Pertama, kecocokan manajemen City dengan gaya bermain yang diusung Guardiola. Sang pelatih menekankan dominasi penguasaan bola, didasari teori bahwa tim yang lebih banyak menguasai bola akan lebih berpeluang menang, serta satu lagi yang tak boleh dilupakan: umpan-umpan bernuansa menyerang.
Ketangguhan City diakui Juergen Klopp, Pelatih Liverpool, yang membawa tim asuhannya juara Liga Champions 2019, dan di musim terakhir menjadikan ”The Reds” pesaing terberat City dalam perebutan trofi Liga Inggris. ”Saya bisa bilang City lawan terberat yang pernah saya hadapi meski tim Bayern (Muenchen) saat dilatih Pep (Guardiola) juga bukan jauh lebih ringan,” ujar Klopp, seperti dituturkannya kepada James Pearce, jurnalis ”The Athletic UK” yang kerap meliput Liverpool.
Faktor kedua yang juga berpengaruh, tak lain belum teraihnya trofi Liga Champions Eropa. Ini trofi prestisius yang belum pernah sekalipun direngkuh City, dan manajemen klub masih berharap piala itu bisa tergapai pada periode kepelatihan Guardiola. Terakhir, City melangkah hingga final Liga Champions 2020-2021. Hanya saja, City tunduk 0-1 dari Chelsea yang dilatih Thomas Tuchel berkat gol Kai Havertz.
Dengan City di puncak klasemen Liga Inggris 2021-2022, diikuti Liverpool di tangga kedua, sementara MU mengakhiri klasemen di peringkat keenam, masih sulit memprediksi MU bisa bersaing lebih kompetitif musim depan. Masih tanda tanya besar, apakah pelatih baru MU, Eric Ten Hag, yang sebelumnya memandu Ajax Amsterdam merebut tiga gelar juara Liga Belanda, bisa beradaptasi dengan cepat sehingga menghadirkan tim MU yang sedemikian tangguh....