Enggit, Api dari Dapur Revolusi
Inggit menyisihkan kepentingan pribadinya untuk memiliki Soekarno, karena ia tahu suaminya milik rakyat Indonesia. Berkat pengorbanan itu, Inggit telah berperan besar dalam melahirkan dinasti politik modern Indonesia.

Putu Fajar Arcana, wartawan senior Kompas
Soekarno punya panggilan kecil (sayang) kepada istri keduanya, ”Enggit”, untuk Inggit Garnasih. Inggit pun jika berbicara dengan suami yang didampinginya selama 19 tahun menyebut namanya sebagai ”Enggit”. Dalam kata enggit, selain terkandung perasaan sayang, juga ada kesan wilayah domestik, di mana tidak setiap orang bisa memasukinya. Begitu pun Inggit, akan selalu memanggil Soekarno dengan sebutan ”Koes” untuk Koesno.
Nama Koesno adalah nama yang digunakan Soekarno sampai usia 11 tahun. Ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, menggantinya menjadi Soekarno karena Koesno sering didera sakit. Inggit justru menggubah nama Koes yang telah dibuang oleh Raden Soekemi menjadi nama yang memiliki impresi kasih dan sayang. Begitulah Inggit, selalu seperti asal-muasal nama ”Hegar” (segar yang menghidupkan) dan ”Asih” (kasih sayang). Sementara kata ”Inggit” disebut berasal dari sejumlah uang seringgit. Jika seseorang mendapatkan senyuman dari Inggit, ia ibarat mendapatkan seringgit, dan karena itu diliputi kebahagiaan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F21%2F449b7687-6ab6-4f26-b522-5a7891855740_jpg.jpg)
Pementasan teater musikal monolog Inggit Garnasih di Ciputra Artpreneur, Jakarta, Kamis (19/5/2022). Monolog Happy Salma dalam teater musikal Inggit Garnasih ini terinspirasi dari roman Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan KH yang mengeksplorasi lapisan-lapisan emosi yang dirasakan oleh Inggit selama 20 tahun menjalani pernikahan dengan Soekarno.
Kukira senyuman kasih sayang dari Inggit itulah yang memberanikan hati Soekarno untuk melamarnya. Padahal, sebelum 24 Maret 1923, ketika mereka akhirnya menikah, Inggit sedang bersuami. Hebatnya, Soekarno menyatakan langsung keinginannya untuk menikahi Inggit kepada lelaki yang masih sah menjadi suaminya, H Sanusi. Kenyataan yang hampir serupa kembali terjadi ketika Soekarno menceraikan Inggit, pada tahun 1942, karena ingin menikahi Fatmah (Fatmawati).
Baca juga : 120 Menit Kegundahan Inggit
Hal yang tak diduga Soekarno, semula ia tidak ingin menceraikan Inggit, tetapi meminta izin menikahi Fatmawati, adalah ketika Inggit menolak dimadu. Inggit lebih memilih mempertahankan keagungannya sebagai perempuan yang menolak diduakan, betapapun ia mencintai dan mendukung penuh Soekarno.
Pementasan monolog musikal Inggit, Tegak Setelah Ombak, 20-21 Mei 2022, di Ciputra Artprenuer, Jakarta, yang diperankan Happy Salma dimulai ketika Inggit menenteng koper setelah kembali ke Bandung. Perceraiannya dengan Soekarno dilakukan di Jalan Peganggsaan Timur 56, Jakarta, disaksikan oleh Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan KH Mas Mansur.
Ratna Ayu Budhiarti sebagai penulis naskah memulai kisahnya dengan penuh ketegaran seseorang yang siap menjadi janda sepanjang sisa hidupnya.
”Semua milikku tersimpan di koper ini, aku yakin tak ada yang tertinggal saat aku berangkat dari Jakarta tadi. Sedangkan kenang-kenangan kukemas rapi bersama air mata yang telah kering…,” kata Inggit.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F21%2F927312dc-be98-4d57-b538-f6ed4fc75f01_jpg.jpg)
Pementasan teater musikal monolog Inggit Garnasih di Ciputra Artpreneur, Jakarta, Kamis (19/5/2022). Monolog Happy Salma dalam teater musikal Inggit Garnasih ini terinspirasi dari roman Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan KH yang mengeksplorasi lapisan-lapisan emosi yang dirasakan oleh Inggit selama 20 tahun menjalani pernikahan dengan Soekarno.
Inggit memilih berpisah daripada hidup bersama tetapi penuh onak dan duri. Ia merasa sudah cukup mengantarkan Soekarno sampai ke gerbang kemerdekaan. Pengabdiannya sebagai istri telah mencapai batas, ketika lelaki yang dicintainya menggunakan alasan ”memiliki keturunan dari darahnya sendiri” untuk menikahi perempuan lain. Ketegaran menerima segala luka inilah yang sebenarnya menjadi karakter kuat dari Inggit. Celakanya, karakter yang bisa dijadikan teladan hidup itu, kata Wawan Sofwan, yang menyutradarai pertunjukan ini, yang jarang diangkat ke permukaan.
”Oleh sebab itulah, saya ingin kembali mementaskan Inggit dalam bentuk yang berbeda,” kata Wawan.
Ketegaran menerima segala luka inilah yang sebenarnya menjadi karakter kuat dari Inggit.
Sebelumnya, dalam versi naskah yang berbeda, monolog Inggit telah dipentaskan sebanyak 13 kali di Jakarta dan Bandung pada periode 2011-2014. Happy dan Wawan bahkan masuk ke kampus-kampus untuk membawakan tokoh Inggit.
”Inggit memang hanya seorang ibu rumah tangga, tetapi dengan pengabdian dan ketegarannya ia mengantarkan Bung Karno sampai akhirnya menjadi proklamator dan Presiden RI pertama,” kata Happy Salma.
Peran yang dibawakan Inggit, tambah Happy, memang peran domestik, sebagaimana yang lazim dilakukan oleh seorang istri terhadap suaminya pada masa itu. Ia mengabdikan diri seutuhnya kepada Soekarno. Bahkan sejak masa kuliah di Techniche Hoogeschool te Bandoeng (sekarang Institut Teknologi Bandung), Inggit mendukungnya dengan berjualan alat-alat pertanian.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F21%2F7a071317-43da-4917-86b9-a8cd02faae97_jpg.jpg)
Pementasan teater musikal monolog Inggit Garnasih di Ciputra Artpreneur, Jakarta, Kamis (19/5/2022). Monolog Happy Salma dalam teater musikal Inggit Garnasih ini terinspirasi dari roman Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan KH yang mengeksplorasi lapisan-lapisan emosi yang dirasakan oleh Inggit selama 20 tahun menjalani pernikahan dengan Soekarno.
Ketika ditahan Belanda di penjara Sukamiskin, Bandung, Inggit mencarikan buku-buku yang dibutuhkan Soekarno untuk membuat pleidoi. Setelah mendapatkan buku-buku hukum dari Jakarta, Inggit menyelundupkan buku-buku itu ke dalam penjara dengan menyimpan di perutnya. Belum berhenti di sana. Inggit juga mendampingi Soekarno dalam masa pembuangan di Ende dan kemudian Bengkulu.
Peran itu tampak peran yang sangat domestik, tidak memiliki kaitan langsung dengan aktivitas politik Soekarno, yang bercita-cita membawa Indonesia memasuki era kemerdekaan. Tetapi, Inggit selalu menyalakan api dari dapurnya sendiri untuk mengobarkan gelora revolusi. Barangkali kau bisa mencibirkan Inggit, karena bukankah peran itu adalah yang sewajarnya dilakukan seorang istri ketika suaminya ditimpa masalah? Peran wajar juga untuk selalu mendukung suami meraih cita-cita besar, apalagi cita-cita itu adalah memerdekakan Indonesia?
Tetapi, Inggit selalu menyalakan api dari dapurnya sendiri untuk mengobarkan gelora revolusi.
Barangkali kau lupa juga bertanya kepada dirimu sendiri, apakah Soekarno bisa melahirkan pleidoi yang kini dikenal dalam buku Indonesia Menggugat tanpa peran seorang Inggit? Inggit-lah yang menjadi pemasok materi buku-buku yang dibutuhkan Soekarno. Ia mempertaruhkan nyawanya ketika membuat dirinya pura-pura hamil untuk menyelundupkan buku-buku itu. Inggit jugalah yang menopang kehidupan rumah tangga mereka selama Soekarno dibui dan hidup dalam pengasingan di Ende dan Bengkulu.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F21%2F103941b5-d43a-41d3-96f6-4fbac8847c40_jpg.jpg)
Pementasan teater musikal monolog Inggit Garnasih di Ciputra Artpreneur, Jakarta, Kamis (19/5/2022). Monolog Happy Salma dalam teater musikal Inggit Garnasih ini terinspirasi dari roman Kuantar ke Gerbang karya Ramadhan KH yang mengeksplorasi lapisan-lapisan emosi yang dirasakan oleh Inggit selama 20 tahun menjalani pernikahan dengan Soekarno.
Menurutku, pengorbanan paling hakikat dari Inggit kepada Soekarno ketika dia dengan tegar melepas suaminya sendiri, Soekarno, untuk menikahi Fatmawati. Inggit telah menyisihkan kepentingan pribadinya untuk memiliki Soekarno, karena ia tahu bahwa suaminya milik rakyat Indonesia. Berkat pengorbanan itu, Inggit telah berperan besar dalam ”melahirkan” dinasti politik modern Indonesia sampai hari ini.
Pentas monolog musikal Inggit, Tegak Setelah Ombak diramu Wawan Sofwan bersama penulis naskah Ratna Ayu Budhiarti, komposer Dian HP, dan konduktor Avip Priatna menjadi suguhan teater yang bergerak dari tragedi menuju ending yang kaya musikalitas sekaligus ketegaran seorang perempuan. Perceraian bukan untuk diratapi, tetapi justru menjadikannya awal dari sebuah perjalanan jauh. Mungkin penuh ombak dan badai.
”Telah tunai tugasku mengantarkan ia sampai ke gerbang, menjadikan lelaki kebanggaan pemimpin negeri. Biarlah kumulai lagi hidupku seperti dulu…,” ujar Inggit. Perlahan lampu padam. Inggit kembali dengan koper kenangannya sebagai perempuan yang dilahirkan di Desa Kamasan, Banjaran, Bandung. Perempuan desa yang biasa saja.
”Jarak yang semakin menjauhkan aku darinya sekaligus meneguhkan prinsipku yang takkan pernah bisa dibeli dengan kemewahan istana,” kata Inggit.
Simak video : Inggit Garnasih, Suri Teladan yang Tak Lekang Waktu
Tiga tahun setelah perceraian itu dan Inggit telah menjadi perempuan biasa kembali, yang hanya menumpang tinggal kepada sanak saudaranya, Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia bersama Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Itulah rumah yang pernah ditempati Inggit bersama Soekarno, sebelum hidup terlunta-lunta dalam pengasingan.

Suasana di halaman rumah kediaman Bung Karno saat dalam pengasingan di Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, Kamis (30/9/2021). Selama masa pandemi Covid-19, kunjungan wisatawan ke rumah yang pernah didiami Soekarno dan istrinya, Inggit Garnasih, ini berkurang hingga 90 persen.
Rupanya revolusi tak harus dimulai dari pergerakan politik dan narasi-narasi besar. Kau masih ingat Ismail Marzuki, kan? Ismail tak pernah turut serta dalam rapat-rapat politik, apalagi menenteng bedil untuk berjuang. Ia hanya berkutat dengan alat musik dan Eulis Zuraidah, istri tercintanya. Sebagian besar lagu yang ia ciptakan dan menjadi lagu ”wajib” nasional sampai hari ini diinspirasi oleh kecantikan dan kekuatan Eulis. Pasangan ini juga memiliki panggilan ”domestik” yakni, ”Aa” untuk Ismail dan ”Uu” untuk Eulis.
Pasti banyak yang hafal lagu ”Sepasang Mata Bola”, kan? Lagu itu diciptakan Ismail ketika dalam perjalanan Jakarta–Solo untuk menghadiri Hari Radio. Ketika tiba di Yogyakarta, ia menyaksikan para pejuang menenteng bedil dan bersiap menuju garis pertempuran. Beberapa di antara para pejuang itu adalah perempuan yang seolah memandangnya dari balik jendela kereta. Anehnya, Ismail ingat sepasang mata Eulis Zuraidah, yang memang memiliki sorot tajam bak cahaya dari langit.
Terciptalah lirik ini:
Hampir malan di Jogja, ketika keretaku tiba
Remang-remang cuaca, terkejut aku tiba-tiba
Dua mata memandang
Seakan-akan dia berkata
Lindungi aku pahlawan
Dari pada sang angkara murka
Sepasang mata bola, dari balik jendela
Datang dari Jakarta, menuju medan perwira
Kagum kumelihatnya
Sinar sang perwira rela
Hati telah terpikat
Semoga kelak berjumpa pula
Ismail membuktikan betapa wilayah domestik telah begitu jauh memengaruhi kekuatannya dalam menciptakan lagu untuk menggerakkan revolusi. Lagu ini kemudian selalu dinyanyikan oleh para pejuang di garis depan pertempuran. Bahkan kini ketika kita mendengar liriknya, seolah-olah segala sesuatunya sedang hidup, berkelebat-kelebat lalu membakar semangat perjuangan untuk membela bangsa.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F07%2F05%2F91e9c86b-25f1-49b0-baa1-7939fa934095_jpg.jpg)
Presiden Soeharto, Senin (10/11/1997), berturut-turut menganugerahkan gelar pahlawan nasional disertai piagam dan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana kepada almarhum Raja Haji Fisabilillah, tanda kehormatan Bintang Mahaputra Utama kepada almarhumah Ny Inggit Garnasih, dan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Nararya kepada almarhum Dr Zainuddin Harahap, di Istana Merdeka, Jakarta. Pada acara itu, Menteri Penerangan Harmoko menjadi wartawan foto mengabadikan peristiwa tersebut.
Mungkin Inggit tak sefenomenal Ismail. Ia ”hanya” menjalani peran sebagai seorang istri yang mendampingi suaminya yang sedang berjuang untuk bangsanya. Tetapi, energinya adalah api yang menyulut kobaran dapur revolusi bangsa ini. Tanpa Inggit, barangkali perjalanan Soekarno dan bangsa Indonesia bisa berbeda sama sekali. Kini kita semua sedang merindukan Ibu Inggit Garnasih diberi kehormatan sebagai pahlawan nasional. Walau sudah pasti ia tidak pernah menghendakinya.