Surga tidak memiliki ”e-mail”. Ia membalas dengan kejadian demi kejadian di kawah kesengsaraan itu. Saya dibuat menjadi peka bahwa jawaban itu tak selalu di dalam bentuk tulisan atau secara verbal disampaikan.
Oleh
Samuel Mulia
·4 menit baca
SETIANTO RIYADI
ilustrasi
Kalau mendengar nama kawah yang satu ini jujur terasa punya beban berat pakai banget. Yah... kawah ini memang ditujukan untuk menggembleng seseorang agar lebih segalanya. Lebih kuat, lebih sabar, lebih tidak mudah tersinggung, dan tidak memiliki telinga yang cepat panas hanya karena bisikan yang belum tentu benar, lebih rendah hati, lebih tangkas, tangkas menghadapi pergumulan diri sendiri, tangkas menghindari keinginan korupsi atau berselingkuh, dan tentunya lebih sabar dalam kesesakan karena sebuah keadaan yang mematahkan dan memorakpandakan semangat hidup.
Sakit setengah mati
Nah, kalau Anda perhatikan sudah beberapa terbitan koran, tulisan saya tidak tersedia. Saya sedang berada di dalam kawah yang satu ini. Itu mengapa saya mohon izin kepada para redaktur untuk sementara saya tak bisa mengisi kolom yang rutin setiap dua minggu sekali muncul di koran kondang ini.
Kawah saya berupa penyakit ginjal yang selama ini sehat-sehat saja dan sekarang ambruk lagi. Saya perlu melakukan cuci darah kembali seperti tujuh belas tahun yang lalu saat pertama kali dokter memvonis saya menjadi pasien gagal ginjal. Dan, sekarang dimasukkan sebagai pasien dengan gagal ginjal kronis, sama kronisnya seperti ketidakbenaran hidup saya. Sama-sama susah dihilangkan dan membutuhkan perjuangan yang sangat.
Saya tak akan menceritakan apa saja yang terjadi di dalam kawah bernama rumah sakit itu. Satu kata saja yang dapat menggambarkannya. Sengsara. Saat itulah saya tahu bahwa sengsara itu sama sekali tak ada nikmatnya. Bayangkan kencing dan buang air besar di popok dan kemudian dibersihkan dan diganti oleh suster yang sangat berdedikasi, malunya setengah mati.
Hampir sebagian besar suster di kawah itu telah melihat ukuran alat kelamin saya. Setiap hari pagi, siang, dan malam, terutama ketika popok sudah bocor karena air seni yang keluar secara berlebihan. Itu semua belum merasakan badan yang sakit dan keinginan untuk cepat pulang ke rumah. Tetapi di antara kesengsaraan itu, ada kejadian lucu saya sempat menjadi halu dan berbicara dengan dua tabung gas yang saya pikir orang.
Tentunya seperti yang telah Anda duga, saya protes ke Tuhan mengapa kejadian ini terulang lagi. Mbok sudah terjadi sekali tujuh belas tahun lalu, tidak perlu harus diulang kembali. Dioperasi kembali, ditusuk kembali, tersakiti kembali. Sudah dapat diduga tak ada jawaban yang saya baca di inbox saya.
Obat mujarab
Surga tidak memiliki e-mail. Ia membalas dengan kejadian demi kejadian di kawah kesengsaraan itu. Saya dibuat menjadi peka bahwa jawaban itu tak selalu di dalam bentuk tulisan atau secara verbal disampaikan. Namun, yang satu ini perlu kepekaan untuk mendengarkan-Nya.
Berada di kawah semacam ini saya pikir memang perlu untuk terjadi dalam hidup seseorang. Menghindari malah semakin tidak tahu apa yang akan dilakukan, tetapi menghadapinya saya jadi tahu apa kekurangan saya dan apa yang memerdekakan saya. Contoh sebagai berikut.
Saya pikir saya telah memaafkan semua orang yang telah menyakiti saya. Karena saya mau benar-benar berubah salah satunya bermaksud menjadi manusia yang hidup tidak dalam kepahitan, maka saya memaafkan semua orang dalam daftar yang menyakiti saya.
Selama saya berada di dalam kawah ini, banyak sekali teman yang mengirimkan doa dan ucapan semangat untuk bertahan hidup dan memiliki semangat tinggi di tengah kesengsaraan. Salah satunya adalah seorang manusia yang telah saya benci sejak belasan tahun lalu.
Saking terlalu lama, saya lupa dan saya pikir daftar orang yang saya maafkan dengan benar-benar sudah tuntas semua sampai pesan teman yang satu ini masuk secara tak terduga di suatu malam hari kalau saya tak keliru.
Ia menjelaskan bahwa ia tahu kalau saya sedang sakit dan mendoakan agar saya cepat sembuh. Saya baca pesannya dan tak saya balas selama tiga hari. Saya tak berterima kasih sekalipun atas pesan mulianya itu. Sampai pada hari keempat, entah datang dari mana ada suara yang terdengar di telinga. Begini suara itu. ”Kamu mau sembuh? Maafkan orang ini.”
Herannya begitu suara itu hilang, entah saya mendapat kekuatan dari mana saya langsung meneleponnya. Saya tidak membalas pesannya tetapi berbicara langsung. Tak perlu diceritakan apa saja yang saya bicarakan, tetapi cerita akhirnya yang justru paling penting.
Kebencian yang selama ini saya simpan benar-benar telah memerdekakan saya. Leganya setengah mati. Mungkin inilah gunanya kadang kawah Candradimuka tak perlu dihindari karena selalu berujung sebuah pengalaman hidup yang memerdekakan, melegakan, membahagiakan, dan menyejahterakan.
Dan anehnya lagi, sejak pengampunan yang saya lakukan terhadap diri saya dan teman saya itu, saya bisa menghadapi hari-hari dalam kawah itu dengan rasa bahagia. Keinginan untuk pulang ke rumah cepat-cepat tak ada lagi. Saya bahkan merasa kamar tempat saya berbaring seperti apartemen kecil saya.
Saya tak lagi melihat kawah ini sebagai sebuah kawah gemblengan, tetapi sebuah kawah yang penuh dengan sukacita. Mungkin, ini hanya pikiran saya sendiri saja, kalau memaafkan itu adalah obat paling mujarab untuk memperbaiki semua kondisi buruk!