Beban Berat Anak Korban Kekerasan Seksual Diancam Pisau Berkarat
Jajaran Satreskrim Polresta Cirebon menangkap R (31), tersangka kasus kekerasan seksual terhadap adik ipar sendiri. Saat kejadian, korban masih berusia 10 tahun.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
Pada usia 10 tahun, DS harus menanggung beratnya beban hidup. Anak perempuan asal Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, ini diduga kuat menjadi korban kekerasan seksual oleh R (31), kakak iparnya. Meski pelaku telah tertangkap, korban terancam trauma berkepanjangan.
”Korban mengalami trauma psikis. Kalau ngomongin kejadiannya, dia nangis. Korban didampingi psikolog,” kata Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Kepolisian Resor Kota Cirebon Inspektur Satu Sujiani Dwi Hartati saat merilis kasus DS, Kamis (14/4/2022).
DS diperkosa R, kakak iparnya, pada 12 Oktober 2018 sekitar pukul 02.00 di rumah keluarganya. Kala itu usia korban masih 10 tahun. Dwi menuturkan, korban tinggal bersama kakak kandung dan tersangka setelah orangtua mereka berpisah. Ia menjadi tanggung jawab keluarga kakaknya.
Akan tetapi, bukannya melindungi, R malah diduga merampas kehormatan adik iparnya. Berdasarkan penyidikan polisi, tersangka membekap dengan bantal dan menodongkan pisau ke leher korban. Tersangka mengancam akan membunuh korban jika melaporkan tindakan bejatnya.
Menurut Dwi, R kerap melakukan kekerasan seksual saat malam hari terhadap korban hingga Maret 2020. Kasus pemerkosaan itu terungkap setelah kakak korban melapor kepada polisi akhir 2021. Setelah menyelidiki, polisi meringkus buruh serabutan itu awal Maret 2022.
Meski pelaku telah tertangkap, korban masih ”terpenjara” dalam pahitnya kekerasan seksual. DS sempat mengurung diri akibat peristiwa itu. ”Tadinya, (korban) mau berhenti sekolah. Tapi, kami bicara dengan orang (kantor) desa dan keluarga supaya dibantu. Apalagi, sudah kelas 3 SMP,” ungkapnya.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Cirebon Komisaris Anton mengatakan, korban selama ini enggan melapor karena takut terhadap ancaman kakak iparnya. Pisau dapur bergagang coklat sepanjang 15 sentimeter yang berkarat menjadi bukti ancaman tersangka terhadap korban.
Polisi menilai tersangka melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 terkait perlindungan anak dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara. Pihaknya juga melibatkan psikolog dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah Cirebon untuk mendampingi korban.
Saat diperiksa penyidik terkait motif melakukan kekerasan seksual, R yang mengenakan pakaian bertuliskan ”Security” hanya diam tertunduk. ”Bapak punya anak?” tanya penyidik. ”Ada, Bu. Dua anak. Laki-laki semua,” ucap R, menjawab dengan tangan terborgol.
Duka DS menambah daftar panjang kasus kekerasan seksual di Cirebon. Dari akhir Februari hingga April saja penyidik Unit PPA Satreskrim Polresta Cirebon menangani 20 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, seperti pencabulan dan kekerasan dalam rumah tangga.
Selama 2021 tercatat 31 kasus pencabulan dan 15 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tahun sebelumya kasus kekerasan seksual mencapai 46 kasus dan 3 KDRT. Sebagian besar korban adalah anak-anak. Hingga kini polisi masih berupaya menuntaskan semua kasus tersebut.
Catatan Women Crisis Center Mawar Balqis, lembaga pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, lebih banyak. Data itu gabungan dari Polresta Cirebon dan Pemkab Cirebon. Tahun lalu terdapat 181 kasus kekerasan, turun dibandingkan dengan 2020, yakni 240 kasus.
Kekerasan tersebut, antara lain, tersebar di Kecamatan Arjawinangun sebanyak 20 kasus, Susukan 11 kasus, Gegesik 9 kasus, dan Lemahabang 7 kasus. Sebagian daerah itu merupakan wilayah pendampingan dan dekat dengan kantor WCC Mawar Balqis.
”Ini data yang terlaporkan. Yang tidak dilaporkan bisa lebih banyak,” ucap Manajer Program Women Crisis Center Mawar Balqis, Sa’adah. Ada banyak kendala korban tidak mengadukan kasusnya. Selain khawatir mengeluarkan banyak biaya, mereka juga terkendala akses jarak ke pusat layanan.
Sebagai contoh, korban yang tinggal di Waled harus menempuh sekitar 40 kilometer untuk sampai ke pusat pemerintahan Cirebon di Sumber. Korban membutuhkan setidaknya uang transportasi untuk melapor. Padahal, sebagian besar korban adalah masyarakat menengah ke bawah.
Hambatan terbesar adalah stigma masyarakat bahwa korban kekerasan seksual itu aib dan tabu diungkapkan. Korban kerap dipersalahkan karena pakaiannya, sikapnya, hingga jalan sendirian di malam hari. ”Stigma ini hanya memperburuk kondisi korban,” ucapnya.
Sa’adah menilai, kasus pemerkosaan dalam ikatan kekerabatan, seperti DS, menunjukkan siapa pun bisa menjadi pelaku dan korban selama ada ketimpangan relasi kekuasaan. R, misalnya, lebih berkuasa secara fisik, usia, dan ekonomi terhadap adik iparnya yang menumpang di rumahnya.
”Makanya, kita harus mendengarkan korban. Jangan buru-buru bilang, ah, enggak mungkin dia melakukan (kekerasan seksual) itu. Dia itu, kan, keluarga kita,” papar Sa’adah. Pandangan tersebut justru membuat korban enggan melapor dan menanggung beban sendiri.
Padahal, sebagian besar kasus kekerasan seksual dilakukan orang dekat korban di ranah privat. Mulai dari teman, tetangga, kerabat, bahkan ayah kandung sendiri. Dalam skala nasional, Komnas Perempuan mencatat 2.945 kasus kekerasan seksual di banyak daerah pada 2020.
Lebih dari 60 persen kasus terjadi di ranah personal atau privat. Komnas Perempuan juga mendata 215 kasus inses atau hubungan seksual sedarah. Sebanyak 165 kasus inses pelakunya adalah ayah kandung. Korban tak berdaya karena berhadapan dengan keluarga sendiri.
Itu sebabnya, Sa’adah meminta keluarga agar sering mendengarkan berbagai keluhan anaknya, bukan menafikannya. Masyarakat juga harus saling mengawasi dan menghapus stigma negatif terhadap korban. Adapun pemerintah wajib menjamin kebijakan yang berpihak pada korban. ”Ingat, pelaku dan korban kekerasan seksual bisa siapa saja,” ucapnya.