Mayoritas Warga Surabaya Raya Tak Mampu Ikut Program Bayi Tabung
Mayoritas warga Surabaya Raya yang kesulitan mendapatkan keturunan belum mampu secara ekonomi untuk mengakses program bayi tabung.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Hampir 185.000 pasangan di Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik atau megapolitan Surabaya Raya kesulitan mendapatkan keturunan. Namun, cuma 20 persen atau 37.000 pasangan yang mampu secara ekonomi untuk mengikuti program bayi tabung (in vitro fertilization/IVF).
Demikian diutarakan oleh Presiden Direktur PT Morula Indonesia Ivan Rizal Sini saat menandatangani akta jual-beli pengambilalihan Rumah Sakit Ibu Anak (RSIA) Pusura Tegalsari di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (7/4/2022), menjelang buka puasa. Akta turut ditandatangani oleh Sri Harmadji, Komisaris Utama PT Medika Sejahtera Bersama sebagai pengelola Pusura Tegalsari.
Aksi bisnis dengan akuisisi itu untuk memperbesar jangkauan layanan Morula IVF di Surabaya. Layanan bayi tabung dari Morula telah ada setidaknya 9 tahun di National Hospital Surabaya (NHS) di kawasan barat.
Morula memandang, layanan perlu diperluas karena keberadaan klinik bayi tabung di NHS sulit diakses, terutama oleh suami-istri dari kawasan timur dan Sidoarjo.
”Di Surabaya diperkirakan ada 185.000 pasangan yang sulit berketurunan, tetapi cuma 20 persen yang secara ekonomi mampu mengikuti program bayi tabung,” kata Ivan.
Di Surabaya, dua tahun lalu, Morula mencatat 800 permintaan program bayi tabung. Jumlah itu setara dengan 13-14 persen dari 6.000 permintaan se-Indonesia. Namun, tahun lalu, permintaan meningkat dua kali lipat atau 1.500-1.600 program bayi tabung.
Padahal, yang kesulitan berketurunan dan mampu secara ekonomi mengikuti IVF sekitar 37.000 pasangan di Surabaya Raya. Jika kemampuan menangani 1.600 pasangan per tahun, Morula baru bisa menyelesaikan selama 23 tahun. Di sisi lain, jumlah pasangan terus bertambah di mana akan selalu ada yang bermasalah mendapatkan keturunan.
Di Surabaya diperkirakan ada 185.000 pasangan yang sulit berketurunan, tetapi cuma 20 persen yang secara ekonomi mampu mengikuti program bayi tabung. (Ivan Rizal)
Klinik atau RS khusus bayi tabung yang masih terbatas sementara permintaan program amat tinggi memicu pasangan dari ekonomi mampu berobat ke Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Menurut Direktur Morula Indonesia Ade Gustian Yuwono, setiap tahun sekitar 8.000 pasangan dari Indonesia berobat ke mancanegara dalam program bayi tabung. Diperkirakan ada potensi pendapatan yang hilang untuk sektor kesehatan dalam negeri senilai Rp 2,5 triliun karena ribuan pasangan berobat ke luar negeri.
Ade melanjutkan, permintaan program bayi tabung terus meningkat seiring penambahan pasangan yang sebagian di antaranya kesulitan berketurunan. Penguatan kehadiran Morula dengan mengambil alih RSIA Pusura Tegalsari untuk turut mengatasi peningkatan permintaan program bayi tabung.
Meyakinkan publik
”Daripada berobat ke luar negeri karena mindset masyarakat selama ini, kami berusaha meyakinkan publik, layanan bayi tabung bisa diberikan dengan kepastian biaya lebih murah dan hasil yang presisi,” katanya.
Ade memaparkan, biaya program bayi tabung di Morula rata-rata Rp 27 juta dengan klaim kesuksesan tinggi. Selama ini, banyak pasangan cenderung berpindah dokter untuk konsultasi dan pemeriksaan demi mendapatkan keturunan.
Seiring waktu dan upaya belum membuahkan hasil, pasangan kemudian beralih ke klinik khusus seperti Morula. Padahal, cara itu akan meningkatkan risiko kegagalan karena terlambat bahkan pembengkakan biaya.
Direktur Utama Pusura Tegalsari Wahyu Wibawanto mengatakan, melalui akuisisi itu, bisnis inti klinik akan berubah lebih khusus dalam program bayi tabung. Layanan pendukung juga akan dikaitkan dengan program kesuburan, permasalahan reproduksi, dan kandungan. ”Kami meyakini, dalam pengelolaan Morula, Pusura Tegalsari akan berkembang dan maju,” katanya.