Bosan, Kecewa, Sedih, Marah Saat Menghadapi Pandemi itu Wajar
Bosan, kecewa, marah, dan sedih adalah sebagian kecil yang dirasakan selama pandemi. Tak jarang hal itu memunculkan ketidaknyamanan bahkan mengganggu ritme hidup. Lantas bagaimana menghadapinya?
Oleh
Angger Putranto
·4 menit baca
Aneka perasaan muncul dalam situasi tidak mudah seperti saat ini. Bosan, kecewa, marah, dan sedih mungkin sebagian kecil yang kita rasakan. Namun wajarkah itu dirasakan?
Perasaan yang muncul secara tiba-tiba itu memunculkan ketidaknyamanan dan tak jarang mengganggu ritme hidup yang selama ini dirasa berjalan baik-baik saja. Rinny Soegiyoharto seorang psikolog, konselor sekaligus fasilitator dan penulis membahasnya dalam konseling virtual bertajuk Sahabat Hati Indonesia, (Rabu 14/7/2021) secara daring.
“Jika Anda merasa takut, cemas, kecewa, sedih, bosan bahkan marah saat menghadapi situasi pandemi seperti ini, yakinlah, Anda tidak sendirian. Kita berada dalam dunia dan keadaan yang sama. Permasalahan ini tidak Anda hadapi sendirian,” ujar Rinny.
Jika Anda merasa takut, cemas, kecewa, sedih, bosan bahkan marah saat menghadapi situasi pandemi seperti ini, yakinlah, Anda tidak sendirian. Kita berada dalam dunia dan keadaan yang sama. Permasalahan ini tidak Anda hadapi sendirian.(Rinny Soegiyoharto)
Perasaan itu muncul secara tiba-tiba saat situasi berubah karena pandemi. Rinny menyebut kemunculan perasaan itu merupakan hal yang wajar. Namun bagaimana kemudian hal itu disadari, diterima, dikelola dengan baik tentu membutuhkan upaya.
Mengapa hal itu harus disadari, diterima dan dikelola? Tentu kemunculan perasaan negatif yang tiba-tiba membuat kita merasa tidak nyaman. Tak jarang kita merasa ada sesuatu yang tidak normal dalam kehidupan kita.
“Upaya untuk mengelola perasaan ini merupakan usaha agar kita mencapai situasi atau kondisi yang lebih nyaman. Kita tidak perlu menolak perasaan yang muncul itu, yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kesehatan mental dalam kondisi yang tidak mudah ini,” tuturnya.
Rinny berpesan dalam situasi pandemi yang sulit ini, ada empat hal yang bisa dilakukan agar kesehatan mental tetap terjaga. Keempat hal itu ialah, Belajar, Bekerja, Bermain, dan Bercinta.
Belajar lanjut Rinny merupakan proses menerima pengetahuan, keterampilan baru yang membuat kita lebih paham dan lebih terampil. Sedangkan bekerja merupakan aspek perilaku yang mengubah sesuatu yang tidak ada menjadi ada.
Adapun bermain merupakan interaksi spontan dengan makhluk hidup, bisa dengan sesama manusia, dengan hewan maupun tumbuhan sehingga membuat kita rileks. Bercinta atau berbagi juga menjadi aspek penting untuk saling memberikan perhatian, kepedulian dan kasih sayang.
“Keempat aspek ini bisa kita lakukan untuk membantu meningkatkan kesehatan mental. Keempatnya perlu dikembangkan secara seimbang. Agar kesehatan mental tetap terjaga,” tutur Rinny
Terakhir, Rinny mengatakan, komunitas pendukung (support system) juga menjadi elemen penting dalam menjaga kesehatan mental saat pandemi. Komunitas yang saling mendukung dibutuhkan untuk sama-sama saling menguatkan hingga berhasil keluar dari situasi sulit.
Dalam kesempatan kemarin, sejumlah peserta juga diberikan kesempatan untuk bertanya maupun berkonsultasi secara virtual. Salah satu peserta bercerita, pengalaman melihat anaknya yang dinyatakan reaktif Covid-19 dijemput oleh ambulans beserta petugas dengan APD lengkap meninggalkan perasaan yang mendalam.
“Semenjak itu sampai detik hari ini, setiap saya mendengar suara ambulans, mendengar kabar ada kerabat yang positif Covid-19, atau mendengar orang meninggal karena covid, jantung saya langsung berdetak kencang dan nafas saya sesak. Apa yang harus saya lakukan?” tanya peserta tersebut.
Rinny mengatakan, apa yang dialami peserta tersebut merupakan pengalaman traumatik. Hal itu muncul karena orang yang dikasihi harus mengalami situasi yang mencekam.
“Saat mendengar atau berada dalam situasi yang hampir sama dengan peristiwa yang meninggalkan trauma itu, stimulus yang tertanam di bawah sadar terpanggil lagi. Stimulus itu membuat jantung berdetak kencang dan nafas sesak,” tutur Rinny.
Lantas apa yang harus dilakukan, Rinny berpesan agar peserta tersebut melakukan konseling agar bisa kembali mendapatkan kenyamanan sehingga pengalaman traumatik tersebut tidak menganggu kehidupan. Bila traumatik tersebut muncul, salah satu teknik yang bisa dilakukan ialah olah pernafasan.
Pernafasan perut disarankan untuk membantu untuk menyadari dan menerima kondisi. Saat peserta tersebut menyadari jantungnya berdebar kencang karena mendengar sirene kondisi tersebut, saat itu pula kondisi itu diterima dan disadari bahwa kondisi ini terjadi akibat pengalaman melihat anaknya dijemput ambulans.
“Terima saja kondisi itu. Sadari mengapa hal itu muncul. Dengan demikian kita bisa mengelola perasaan dan stimulus yang muncul. Harapannya kita tidak lagi terganggu dengan kondisi yang tidak nyaman itu,” tutur dia.
Pertanyaan lain dari peserta ialah, bagaimana orangtua harus mendampingi anaknya yang mulai bosan terhadap pembelajaran daring jarak jauh? Menanggapi hal ini, Rinny kembali mengingatkan pentingnya kesadaran diri. Orangtua bisa membantu anaknya dalam mengidentifikasi perasaan yang sedang dialami.
“Kita tanyakan saja, apakah dia bosan dengan sekolah daring? Apa yang membuat ia bosan? Setelah kita mendapat jawabannya, perlahan kita ajak anak tersebut untuk menerima kondisi ini. Mungkin dia bosan dengan tempatnya biasa melakukan belajar daring, atau ia bosan dengan cara belajar yang monoton. Dengan mengidentifikasi tersebut, rasa bosan anak bisa kita minimalisir,” tutur dia.
Konseling virtual bertajuk Sahabat Hati Indonesia tersebut merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh Harian Kompas bekerja sama dengan Keluarga Alumni Universitas Gajah Mada. Paparan dan konseling bersama Rinny Rabu (14/7/2021) malam itu merupakan bagian pertama dari empat seri webinar konseling virtual.
Malam ini konseling virtual kembali digelar dengan tema bertahan dalam ketidakpastian. Hadir sebagai konselor, Darjanti Kalpita, Psikolog Klinis sekaligus relawan dukungan psikososial.