Pendekatan Personal dalam Terapi Kanker Kolorektal Miliki Peluang
Terapi pada kanker kolorektal tidak hanya bisa ditangani dengan kemoterapi dan imunoterapi, tetapi juga dengan terapi berbasis pendekatan personal. Terapi ini diharapkan bisa memperpanjang ketahanan hidup pasien.
Oleh
Deonisia Arlinta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengobatan pada kanker mengalami perkembangan yang pesat. Kini, terapi pada kanker kolorektal tidak hanya bisa ditangani dengan kemoterapi dan imunoterapi, tetapi juga dengan terapi berbasis pendekatan personal. Terapi ini diharapkan dapat memperpanjang ketahanan hidup dari pasien.
Dokter spesialis penyakit dalam konsultan hematologi onkologi medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM), Ikhwan Rinaldi, di Jakarta, Selasa (26/1/2021), mengatakan, pendekatan personal atau personalized medicine dalam terapi kanker kolorektal dilakukan dengan mempelajari gen dari setiap pasien. Dengan begitu, setiap pasien bisa mendapatkan terapi atau obat yang berbeda sesuai dengan kondisinya masing-masing.
Harga dari obat-obatan ini masih mahal dan belum bisa dijangkau oleh sebagian besar pasien kanker kolorektal.
”Dalam personalized medicine, dokter akan melakukan uji genetik terlebih dahulu sebelum memberikan obat pada pasien. Setelah itu, dokter bisa menentukan pengobatan yang cocok untuk setiap pasien sehingga respons terhadap obat pun lebih baik. Setiap pasien akan memiliki obat sendiri sesuai dengan genetiknya,” tuturnya.
Menurut dia, terapi dengan pendekatan personal ini bisa membantu pasien untuk mendapatkan pengobatan yang lebih tepat. Risiko toksisitas atau kerusakan pada organ tubuh lainnya juga dapat dikurangi. Dengan begitu, potensi pengobatan ataupun terapi yang diberikan bisa lebih optimal. Risiko terjadinya penyakit lain pun bisa dideteksi lebih dini dengan pendekatan ini.
Melalui pendekatan personal berbasis genetik, Ikhwan menambahkan, ketahanan hidup bagi pasien kanker kolorektal juga lebih panjang pada pasien dengan kanker yang bermetastasis. Itu karena terapi yang diberikan lebih tepat dengan dosis dan waktu yang lebih tepat pula. Namun, harga dari obat-obatan ini masih mahal dan belum bisa dijangkau oleh sebagian besar pasien kanker kolorektal.
Kanker kolorektal merupakan jenis kanker yang tumbuh pada usus besar dan rektum (sebelum anus). Pada kanker kolorektal biasanya menimbulkan gejala, antara lain, diare, buang air besar yang sering terasa tidak tuntas, darah pada tinja, mual dan muntah, perut terasa nyeri, serta berat badan turun tanpa sebab yang jelas.
Berdasarkan data Globocan 2018, jumlah kasus baru kanker kolorektal di dunia menempati urutan ketiga dari semua jenis kanker dengan 1,8 juta kasus. Di Indonesia diperkirakan 12,8 per 100.000 penduduk usia dewasa mengalami kanker kolorektal dengan mortalitas 9,5 persen dari seluruh kasus kanker.
Adapun beberapa faktor risiko yang dapat memicu terjadinya kanker kolorektal meliputi adanya riwayat penyakit, keturunan, adanya penyakit genetik, radang usus, diabetes, serta gaya hidup seperti kurang olahraga, kurang asupan serat dari buah dan sayur, mengonsumsi alkohol, merokok, dan obesitas. Kanker ini juga dapat dipicu oleh faktor usia. Lebih dari 90 persen kasus yang diketahui dialami oleh orang dengan usia lebih dari 50 tahun.
Meski begitu, Ketua Yayasan Kanker Indonesia (YKI) Aru Wisaksono Sudoyo dalam siaran pers terkait ”Melawan Stigma Kantong Stoma: Penanganan Kanker Kolorektal pada Pasien Usia Muda” menyatakan, tren pasien kanker kolorektal pada usia muda semakin tinggi. Dari penelitian yang dilakukan di Amerika, kasus kanker pada usia di bawah 50 tahun cenderung terus meningkat dari 1975 sampai 2015. Kasus yang ditemukan pun sudah pada stadium 3 dan 4.
”Semakin tingginya kasus kanker kolorektal pada usia muda harus disikapi dengan meningkatkan kewaspadaan pada penyakit ini. Kenali gaya hidup yang dijalankan dan upayakan gaya hidup yang lebih sehat. Jika mengalami perubahan dalam tubuh, seperti perubahan pada pola buang air besar, segera cek ke dokter,” katanya.