Penyakit radang usus sering tak disadari, karena gejalanya mirip gangguan pencernaan biasa. Komplikasi dan kematian bisa dicegah lewat diagnosis cepat dan terapi tepat.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Penyakit radang usus atau Inflammatory Bowel Disease (IBD) kerap tak disadari. Umumnya dianggap diare atau sakit perut biasa. Padahal, keterlambatan diagnosis dan pengobatan bisa menyebabkan komplikasi berat yang berujung pada kematian.
Radang usus merupakan sekelompok penyakit autoimun ditandai dengan peradangan saluran cerna akibat serangan sistem kekebalan tubuh. Peradangan ini hilang timbul, sehingga kurang diwaspadai. Kesulitan diagnosis menyebabkan IBD keliru didiagnosis sebagai sindrom gangguan usus (Irritable Bowel Syndrome/IBS), suatu gangguan lebih ringan.
“IBD maupun IBS menyebabkan sakit perut, kram, dan diare. Namun IBS tidak menimbulkan peradangan dan merupakan gangguan fungsional. Gejala lain berupa kembung dan feses berlendir," papar Murdani Abdullah, Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), dalam seminar daring terkait IBD, Rabu (20/1/2021).
Adapun IBD diklasifikasikan sebagai gangguan organ disertai kerusakan pada saluran cerna. IBD lebih berbahaya karena peradangan merusak dan bersifat permanen. Salah satu komplikasinya adalah kanker usus besar,” ujarnya.
Tipe IBD adalah kolitis ulseratif (UC), penyakit Crohn (CD), serta kolitis yang belum ditentukan (indeterminate colitis). Pada UC terjadi peradangan dan luka di lapisan permukaan usus besar dan rektum, sehingga terasa nyeri di bagian kiri bawah perut.
Sementara pada CD bisa terjadi peradangan dari rongga mulut hingga anus. Peradangan CD terjadi pada lapisan lebih dalam. Gejalanya selain sakit perut, diare, juga demam, nafsu makan berkurang, ada darah pada feses, serta penurunan berat badan.
Belum diketahui penyebab pasti IBD. Diperkirakan faktor genetik. lingkungan, mikrobiota usus, dan sistem imun berperan. Sejauh ini pemicunya antara lain stres berlebihan, pola makan salah, infeksi, dan merokok.
Insidensi IBD di Asia 0,54-3,44 per 100.000 penduduk.Proporsi kasus di Asia Pasifik, 55,4 persen UC, 39,6 persen CD, dan 5 persen kolitis yang belum ditentukan. Prevalensi IBS tinggi. Di Asia 6,8-33,3 persen, terutama di kota maju seperti Singapura dan Tokyo, Jepang.
IBD yang dibiarkan berlarut-larut bisa menyebabkan toxic megacolon (pembengkakan usus besar yang beracun), perforated colon (lubang pada usus besar), dehidrasi berat, dan kanker usus besar yang meningkatkan risiko kematian.
Pada CD, penderita bisa mengalami usus tersumbat, malnutrisi, fistula (terbentuknya saluran kecil tidak normal pada usus dengan bagian tubuh lain), serta robekan pada jaringan anus. Komplikasi IBD antara lain penggumpalan darah, radang kulit, mata, dan sendi, serta komplikasi lain.
Menurut Murdani, IBD perlu penanganan jangka panjang serta multidisiplin. Meliputi dokter subspesialis gastroenterologi, spesialis bedah, radiologi, histopatologi, farmasi, ahli gizi, spesialis anak, psikolog, serta perawat ahli. Jika diperlukan ada spesialis kulit, mata, reumatologi, dan pekerja sosial.
Tidak mudah
Diagnosis IBD tidak mudah, demikian Rabbinu Rangga Pribadi, dokter spesialis penyakit dalam FKUI-RSCM. Gejala penyakit autoimun sulit dibedakan dengan infeksi usus biasa.
Perjalanan penyakit amat dinamis. Ada periode remisi (terkontrol), juga periode kekambuhan inflamasi (peradangan).
Maka dari itu, perlu ada kerja sama antara dokter, pasien, dan keluarga. Itu berupa komitmen minum obat dan rutin kontrol agar kekambuhan bisa diketahui secara dini; pola makan sehat, yakni rendah lemak, tinggi serat; serta berolah raga teratur untuk mencegah berkurangnya massa otot.
Ada berbagai obat untuk terapi IBD seperti golongan aminosalisilat, antibiotik, kortikosteroid, dan imunomodulator. Bagi yang kasusnya berat ada pilihan agen biologis, namun biayanya belum ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
Presiden Direktur PT Takeda Indonesia Idham Hamzah menyatakan, perusahaan farmasi itu berkomitmen meningkatkan akses masyarakat terhadap obat. Pasien yang memerlukan obat tapi mengalami kesulitan ekonomi bisa dibantu mengakses obat setelah melalui proses penilaian kemampuan membayar.
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM Marcellus Simadibrata Kolopaking menguraikan berbagai pemeriksaan untuk diagnosis IBD. Selain anamnesis (pemeriksaan lewat tanya jawab) dan pemeriksaan fisik, ada pemeriksaan patologi, radiologi, endoskopi, kolonoskopi, dan pemeriksaan laboratorium seperti tes darah samar di feses, tes darah lengkap dan infeksi.
Diagnosis secara cepat dan pengobatan tepat sangat penting untuk mencegah komplikasi.
“Diagnosis secara cepat dan pengobatan tepat sangat penting untuk mencegah komplikasi,” kata Marcellus.
Prinsip pengobatan yakni mengurangi gejala dan menyembuhkan dinding saluran cerna. Selain obat-obatan, ada vaksinasi bagi pasien IBD untuk mencegah infeksi. Pada IBD kronis perlu pembedahan untuk mengangkat bagian saluran cerna yang rusak.
Dengan kemajuan dan inovasi pengobatan, pembedahan kini jarang dilakukan. Inovasi yang dimaksud adalah penemuan agen biologis seperti vedolizumab, ustekimumab, infliximab, adalimumab yang mampu memperbaiki dinding saluran cerna.
Terkait obat herbal, saat ini sedang diteliti manfaat jamur kayu (Ganoderma lucidum) untuk mengatasi radang. Berdasarkan kajian metaanalisis, temulawak juga bermanfaat untuk peradangan.
Selain beban ekonomi dari pemeriksaan, obat dan rawat inap, gangguan fisik IBD bisa sangat berat seperti penurunan berat badan, nyeri perut dan sendi, diare kronis, mudah lelah, gangguan tidur, bahkan bisa timbul depresi. Pemahaman di kalangan dokter dan masyarakat akan meningkatkan kewaspadaan untuk mengatasi IBD secara dini dan memperbaiki kualitas hidup penderita.