Jika Pilih ”Herd Immunity”, Covid-19 Bisa Tewaskan 400.000 Jiwa di Jakarta
Herd immunity (kekebalan komunitas) diyakini akan menghilangkan Covid-19 dengan sendirinya. Namun, model matematika menunjukkan 400.000 nyawa di Jakarta akan terancam sebelum kekebalan komunitas tercapai pada 4-6 bulan.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·5 menit baca
Kompas/AGUS SUSANTO
Foto aerial lalu lintas lengang di Jalan Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (31/3/2020). Kawasan yang biasanya macet tersebut dalam seminggu terakhir sepi terkait penutupan sementara untuk pencegahan penyebaran Covid-19.
Herd immunity atau kekebalan komunitas diyakini akan menghilangkan Covid-19 dengan sendirinya. Namun, pemodelan matematis menunjukkan 400.000 nyawa di Jakarta akan terancam sebelum kekebalan komunitas tercapai pada 4-6 bulan mendatang.
Tanpa intervensi pemerintah yang jelas dan cepat, laju penyebaran virus korona jenis baru penyebab penyakit Covid-19 itu di Indonesia diprediksi akan segera meningkat drastis.
Sebanyak 81 persen populasi terinfeksi, ini artinya sekitar 8 juta orang.
Untuk itu, sebuah skema penanganan baru bernama micro-lockdown ditawarkan. Skenario ini menjanjikan jalan tengah antara social distancing yang belum ampuh dan total lockdown yang membutuhkan sumber daya masif.
Skema micro-lockdown diusulkan oleh asisten profesor bidang sosiologi bencana Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir, dan peneliti NTU Institute for Catastrophe Risk Management, Fredy Tantri.
Fredy pada Selasa (31/3/2020) mengungkapkan, simulasi ini dijalankan dengan populasi sebesar 9,6 juta jiwa; mengambil populasi Jakarta sesuai dengan sensus BPS tahun 2010.
Durasi 4-6 bulan
SULFIKAR AMIR DAN FREDY TANTRI
Hasil simulasi yang dilakukan menunjukkan kurva jumlah kasus Covid-19 di Jakarta akan melandai setelah hari ke-120 atau bulan keempat. Melandainya kurva ini karena populasi sudah mencapai ambang batas kekebalan komunitas atau herd immunity, yakni 81 persen dari total populasi. Grafik ini juga menunjukkan kekebalan imunitas baru bisa tercapai ketika lebih dari 7 juta orang di Jakarta sudah terinfeksi Covid-19.
Pemodelan ini memproyeksikan bahwa tingkat penularan baru di Jakarta akan berhenti setelah empat bulan. Hal ini dimungkinkan karena ambang batas herd immunity atau kekebalan komunitas sebesar 81 persen populasi sudah dicapai.
Artinya, ketika 81 persen populasi sudah imun—baik secara alami karena terinfeksi maupun dengan vaksin—penularan sebuah penyakit tidak bisa terjadi.
”Sebanyak 81 persen populasi terinfeksi, ini artinya sekitar 8 juta orang,” kata Fredy saat dihubungi Kompas dari Jakarta.
Setelah tidak ada penularan baru, Sulfikar mengatakan, akan butuh waktu hingga dua bulan bagi populasi untuk mengalami proses penyembuhan dan sehat kembali. Total diperkirakan enam bulan pandemi Covid-19 akan melanda Jakarta.
Berdasarkan simulasi ini, Covid-19 dapat hilang dari masyarakat dengan sendirinya. Namun, ini artinya membiarkan ratusan ribu orang terancam meninggal akibat penyakit ini.
Kalau ini terjadi, ini sangat tidak bertanggung jawab, tidak etis. Sudah punya kekuasaan, anggaran, ratusan triliun, tetapi kalau tidak digunakan, itu sangat tidak bermoral.
Apabila masyarakat dibiarkan terpapar Covid-19 hingga kekebalan komunitas terbentuk, dengan asumsi case fatality rate (CFR) atau tingkat kematian yang diambil Fredy sebesar 5 persen, kematian 400.000 orang di Jakarta akibat Covid-19 bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi.
Sulfikar mengatakan, tindakan membiarkan masyarakat menghadapi pandemi sendirian dan berharap pada herd immunity bukanlah tindakan yang bijaksana.
”Kalau ini terjadi, ini sangat tidak bertanggung jawab, tidak etis. Sudah punya kekuasaan, anggaran, ratusan triliun, tetapi kalau tidak digunakan, itu sangat tidak bermoral,” ujar Sulfikar.
Ia mengingatkan bahwa pemodelan ini dijalankan dalam sistem tertutup, artinya tidak ada akses masuk ataupun keluar.
”Harus diingat ini sebagai permodelan tertutup, artinya orang tidak bisa keluar masuk Jakarta. Kalau masih ada yang keluar dan masuk, bisa jauh lebih besar lagi,” ucap Sulfikar.
Ledakan kasus
Saat ini di Indonesia jumlah penambahan kasus tidak pernah kurang dari 100 kasus setiap hari dalam satu pekan terakhir. Selasa ini, kasus positif bertambah 114 menjadi 1.528.
Meski demikian, kondisi ini menurut Fredy tidak akan bertahan lama. Menurut dia, ada kemungkinan akan terjadinya ledakan jumlah kasus dalam waktu dekat.
Pemodelannya menunjukkan bahwa peningkatan akan terjadi drastis mulai hari ke-30 Covid-19 terdeteksi di Indonesia atau awal April 2020. Pada hari ke-50, jumlah orang yang terinfeksi dapat mencapai 20 persen dari total populasi.
”Critical point-nya adalah hari ke-30. Jadi kita sedang mendekati titik ini dan mungkin 1-2 pekan lagi akan drastis peningkatannya,” kata Fredy.
SULFIKAR AMIR DAN FREDY TANTRI
Hasil simulasi yang dilakukan menunjukkan kurva jumlah kasus Covid-19 di Jakarta akan melandai setelah hari ke-120 atau bulan keempat. Grafik ini juga menunjukkan adanya lonjakan jumlah orang yang terinfeksi selepas hari ke-30 (ditandai dengan garis putus-putus).
Tidak efektif dan mahal
Sejauh ini, menurut Sulfikar, kebijakan social distancing yang sedang berjalan tidak begitu efektif. Kebijakan ini dinilai kurang ”galak” untuk memperlambat penyebaran Covid-19 di Indonesia yang telanjur meluas.
Selain itu, kebijakan ini bergantung pada kemauan dan kesadaran masyarakat. Hal ini juga diperkompleks dengan kondisi masyarakat yang multikultural dan beragam tingkat pendidikan.
”Masyarakat kita, kan, multikelas dengan tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Sementara itu, pemerintah juga tidak disiplin, jadi susah,” kata Sulfikar.
Ia menyebutkan, totallockdown ala Wuhan memang terbukti efektif dalam memperlambat penyebaran virus. Namun, tidak dimungkiri, skema ini juga menimbulkan banyak dampak negatif, tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga sosio-psikologis dari warganya.
Menurut dia, lockdown merupakan solusi yang terlalu mahal karena ini menghentikan aktivitas sosial-ekonomi. Kedua, solusi ini bisa tidak cocok untuk diterapkan di negara demokratis.
Ketiga, lockdown juga menyebabkan luka pada kondisi sosial-psikologis masyarakat. Sulfikar mengatakan, sejumlah studi awal mengenai lockdown di Wuhan menunjukkan kemunculan depresi dan hilangnya rasa pecaya antara satu sama lain.
”Micro-lockdown”
Untuk itu, Sulfikar mengusulkan skema yang disebutnya sebagai micro-lockdown. Micro-lockdown disebutnya sesuai dengan kondisi sosial dan ekonomi Indonesia.
Dalam skema micro-lockdown, upaya lockdown diterapkan pada tingkat kelurahan atau desa. Kegiatan sosial-ekonomi masih bisa berjalan di dalam cakupan ini.
”Masyarakat di tingkat desa atau kelurahan itu bisa saling menjaga. Warga yang memiliki usaha warung makan juga akan masih memiliki pembeli,” ujar Sulfikar.
Selain itu, karena skopnya kecil, kepala daerah bisa melakukan hal ini tanpa harus meminta persetujuan dari pemerintah pusat; lebih cepat bergerak.
Selain itu, status desa dan kelurahan yang memiliki hubungan langsung dengan pemerintah akan memungkinkan distribusi informasi dan sumber daya yang lebih baik dibandingkan dilakukan di tingkat RT atau RW.
Pengawasan terhadap mereka yang harus melakukan isolasi mandiri juga akan lebih mudah dilakukan di cakupan yang lebih kecil seperti di kelurahan atau desa dibandingkan secara nasional atau bahkan provinsi.
”Selain itu, karena skopnya kecil, kepala daerah bisa melakukan hal ini tanpa harus meminta persetujuan dari pemerintah pusat; lebih cepat bergerak,” kata Sulfikar.
SULFIKAR AMIR DAN FREDY TANTRI
Grafik ini menunjukkan perbandingan hasil simulasi sejumlah seknario intervensi penyebaran Covid-19. Micro-lockdown (garis ungu) diyakini dapat menahan jumlah kasus positif Covid-19 di angka 38 persen dari total populasi.
Perbandingan
Dari hasil simulasi, skenario micro-lockdown juga dinilai cukup efektif. Fredy mengatakan, dari hasil simulasi diperoleh bahwa apabila micro-lockdown diterapkan sekitar dua pekan dari sekarang, kasus total menjadi hanya 38 persen dari total populasi.
Hal ini jauh lebih sedikit dibandingkan apabila pemerintah hanya menerapkan social distancing atau pembatasan sosial. Berdasarkan simulasi, kasus total dalam skenario social distancing mencapai lebih dari setengah (55 persen) populasi.
Namun, memang, totallockdown sebagai metode yang paling ekstrem dapat menahan jumlah kasus menjadi 27 persen populasi saja.